Priya Santosa

Priya Santosa MPdI

Selengkapnya
Navigasi Web
“SERAT SASTRA GENDHING” :   BELAJAR KEPEMIMPINAN YANG MEMBUMI   UNTUK   GENERASI MILENIAL

“SERAT SASTRA GENDHING” : BELAJAR KEPEMIMPINAN YANG MEMBUMI UNTUK GENERASI MILENIAL

Sang Kala Lambang Keabadian

Waktu berada di luar kekuasaan manusia. Dihadapan waktu yang panjangnya tak terbatas manusia hanyalah setitik umur. Manusia sirna dari sejarah ke sejarahnya, sementara waktu terus hidup mengatasi sejarah. Waktu adalah keabadian, sementara manusia hanyalah kesementaraaan. Keabadian tak bisa diukur, maka sesungguhnya sia-sialah bila manusia mau mengukur kepanjangan nya. Toh manusia harus mengukur waktu. Sebagaimana sang kala, seorang pemimpin yang hadir di dunia ini pun silih berganti. Ada pemimpin yang tercatat sejarah dalam kebaikan, ada juga yang dianggap pemimpin yang kianat., Pemimpin ada yang dilahirkan dari proses pemilu ada pula yang dari dinasti turun temurun. Ada pesta demokrasi lima tahunan di negeri jamrut khatulistiwa melalui waktu yang sudah ditentukan. Ketika kita mendengar kata Pemilihan Umum (Pemilu) segera terbayangkan bilik suara, kotak suara, surat suara dan ratusan bahkan ribuan, ataupun jutaan orang yang membentuk antrian dan menunggu giliran dipanggil ke dalam bilik suara untuk menentukan pilihan politiknya di atas kertas suara yang tersedia. Namun dalam pemilihan umum tahun ini ada perbedaan dibandingkan penyelenggaraan pemilu tahun tahun sebelumnya. Terlepas dari persoalan tentang system yang digunakan pemilu selalu melibatkan serangkaian perilaku kultural dan social, saat orang orang dari berbagai kelas social dan profesi bersama-sama melakukan”ritual” demokrasi tersebut. Dan di ujung rantai dari pesta demokrasi itu adalah lahirnya seorang pemimpin yang kharismatik serta dicintai dan diakui de facto oleh masyarakat di negeri ini. Pemimpin yang lahir dari proses demokrasi tersebut diharapkan berinteraksi dinamis antara atasan dan bawahan di dalam kelompok untuk merealisasikan tujuan yang sama.

Falsafah Kepemimpinan dalam Literatur Jawa

Seorang pemimpin yang ideal baik ditingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi maupun Negara sangat didambakan oleh seluruh masyarakat. Namun untuk menjadi pemimpin yang ideal tidaklah mudah. Terlebih dahulu seseorang yang mencalonkan menjadi pemimpin hanya bermotivasi untuk mendapatkan gaji besar, jabatan terhormat, dan sebagainya. Bagi seseorang yang ingin menjadi pemimpin ideal tersebut tidak mudah. Karena mereka harus menerapkan falsafah kepimpimpinan yang bersumber dari berbagai literature atau panutan dari berbagai tokoh(filsuf). Sebagaimana yang diterapkan oleh para pemimpin terdahulu. Seperti halnya Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, HOS Cokroaminoto, dr Ciptomangunkusomo, ataupun Ki Hajar Dewantara, Jendral Sudirman, Ir Soekarno, M Soeharto, Sri Sultan Hamengkubuwo no IX dan lain lain. Menurut Swansburg (1995) kepemimpinan merupakan proses untuk memengaruhi aktivitas suatu kelompok yang terorganisasi dalam usahanya mencapai penetapan dan pencapaian tujuan. Sedangkan menurut Goerge Terry (1986), kepemimpinan adalah kegiatan untuk memengaruhi orang lain agar mau bekerja dengan sukarela dalam mencapai tujuan kelompok, sedangkan menurut Sullivan dan Decker (1989) menyebutkan kepemimpinan meurpakan penggunaan ketrampilan seseorang dalam memengaruhi orang lain untuk melaksanakan suatu tindakan dengan sebaik-baiknya selaras dengan kemampuannya.

Adapun falsafah jawa dalam kepemimpinan, seseorang dianggap sebagai orang jawa apabila menerapkan prinsip-prinsip ke Jawa-an dalam kehidupan keseharaiannya. Adapun prinsip prinsip ke Jawa-an tersebut dapat ditunjukkan ke dalam beberapa ciri: Sangat Permisif, Mengagungkan Seni Adiluhung, Menyukai Olah Batin, Menyeimbangkan Hubungan Kosmis, Menerapkan Etika, dan Menyukai Musik gamelan.

Sastra Gendhing Membangun Hubungan Kosmis Dinamis

Pemimpin yang dicintai rakyat di negeri ini ke depan diharapkan untuk membangun dan menyeimbangkan hubungan kosmis. Bawahan dan atasan “nyawiji” (menyatu) dalam tutur dan tingkah laku. Memang hal ini tidak mudah. Kadang dalam “nyawiji”, atasan dan bawahan ada domba domba hitam yang membelenggu. Mereka bisa menjadi aktor protagonist ataupun antagonis. Maka banyak pemimpin di negeri ini yang jatuh bangun akibat ulah dan peran aktif dari actor actor protagonist maupun antagonis tersebut. Semisal sedikit mau berbenah, ada tawaran falsafah ke-Jawa-an yang klasik dan bisa menyeimbangkan hubungan kosmis. Tengoklah, sebentuk manuskrip peninggalan masa lampau tentang kepemimipinan yang bertutur. Namanya Serat Sastra Gendhing. Manuskrip ini dikembangkan seorang Raja di tanah Jawa. Dijuluki Raden Mas Jatmika atau Raden Mas Rangsang. Beliau menjadi Raja keempat di Mataram. Bergelar Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo atau Senopati Ing Ngalaga Sayyidin Panatagama (1613-1645).

Manuskrip Serat Sastra Gendhing ini bermuatan falsafah kepemipinan Jawa. Diterapkan Sultan Agung selama melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai raja di Kasultanan Mataram. Adapun secara komprehensif manuskrip ini berisi tujuh amanah utama.

Swadana Maharjeng Tursita

Seorang pemimpin harus memiliki intelektualitas tinggi, berilmu, jujur, pandai menjaga nama, serta mampu menjalin komunikasi dengan bijak baik kepada bawahan maupun rakyat berdasarkan prinsip-prinsip kemandirian. Dengan demikian komunikasi pemimpin tidak akan mendapatkan intervensi dari pihak manapun baik dari keluarga, kelompok maupun golongannya.

Bahni Bahna Amurbeng Jurit

Seorang pemimpin hendaklah senantiasa berada di depan untuk memberikan suri tauladan baik kepada bawahan maupun rakyat dalam membela keadilan dan kebenaran. Hal ini sesuai dengan ungkapan tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara yang menyatakan, seorang pemimpin harus di depan untuk memberi teladan yang baik. Seorang pemimpin yang sekadar pintar berkata-kata dan berertorika tidak bertindak konkret bukanlah peminpin sejati.

Rukti Setya Garba Rukmi

Seorang pemimpin harus memiliki tekad bulat di dalam menghimpun segala potensi demi kemakmuran serta keluhuran martabat bangsa. Tidak mudah ragu-ragu serta tidak mudah terpengaruh pihak lain di dalam memghimpun suatu potensi.

Sripandayasih Krani

Seorang pemimpin harus memiliki tekad menjaga simbol –simbol kesucian agama. Hidup saling toleransi antar umat. Karena agama merupakan media membentuk karakter dan moral masyarakat yang ideal. Jika tidak mampu menjaganya, maka akan hancurlah sendi sendi moral , martabat, dan tidak beradab.

Gaugana Hasta

Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan mengembangkan seni sastra untuk mengisi peradaban bangsa. Sebagaimana agama, jika tidak mampu mengembangkan maka sama dengan menghancurkan peradaban bangsa akan mengalami kehancuran secara perlahan-lahan.

Stiranggana Cita

Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan mengembangkan budaya, pelopor ilmu pengetahuan dan membawa suar kedamaian pada masyarakat. Budaya dan ilmu merupakan rumah untuk membangun karakter, inteletualitas serta pandangan hidup masyarakat.

Smara Bhumi Adi Manggala

Seorang pemimpin harus memiliki tekad memertahankan dan pelopor pemersatu berbagai kepentingan yang berbeda –beda secara istiqomah, kontinyu, serta berperan dalam menciptakan ketenangan, perdamaian, di dunia. Maka seorang yang memiliki jiwa provokatif memecah belah dan bertendensi merusak persatuan demi kepentingan politik tidak ideal menjadi pemimpin.

Generasi Milenial Melawan Pembelajaran Abad 21

Pembelajaran abad 21 sebagai garda terdepan peciptaan pemimpin di sekolah-sekolah Hari ini, di ruang ruang kelas pembelajaran menjadi seorang pemimpin telah tergantikan materi lain muatan kurikulum tigabelas yang berlebihan. Kecakapan spiritual, emosional seolah nomor berapa di level bawah. Rasanya menjadi siswa milenial hari ini selaksa tugas pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di rumah. Inilah ongkos yang harus dikeluarkan para orang tua jika anaknya ingin sukses. Alangkah asingnya, jika seorang guru di ruang kelas memberi nasehat pada siswa, janganlah kamu mengotori langit dengan ludahmu!, sebab ludah akan jatuh dan mengotori wajahmu. Jika di luar sana ada orang marah –marah kepadamu.. biarkan saja karena mereka sedang membuang sampah hati mereka. Jika engkau diam saja, maka sampah itu akan kembali kepada diri mereka sendiri, tetapi kalao engkau tanggapi, berarti engkau menerima sampah itu. Maka bagiamanakah menanamkan pada siswa milenial ini untuk menerima sebuah perbedaan!.

Pembelajaran abad 21 diikuti dengan revolusi industry 4.0 lomptana ilmu yang sangat luar biasa. Kedua hal tersebut sebagai garda terdepan peciptaan pemimpin di sekolah-sekolah. Meta konsep dikembangkan pada siswa. Tahapannya melalui tawaran proses berpikir kritis, berkarakter dan berliterasi. Namun, hal ini sangat berbeda dengan proses pembelajaran masa lalu sangat kontras. Ada elemen yang belum terakomodasi, Bagaimanakah generasi milenial di negeri ini bisa menjadi pemimpin yang hamoni dan menerima perbedaan kepentingan?. Ini yang belum dimasukkan. Bukanlah seorang pemimpin tidur dalam kebijakan sunyi?. Rasululullah SAW, , Ibnu Taimiyah, Confosius, dan Tao telah dengan perjuangan mereka. Menggambrakan adegan seorang pemimpin ini begitu indah dan mashur. Ibarat roots of wisdom. Kala lidah api berkelip bak kunang-kunang, dan music berhenti, untuk pertama kalinya, seorang memimpin memasuki kesunyian. Dan tak kala ia terbangun dari mimpi mimpi dini hari dan orang belum hiruk pikuk, untuk pertama kalinya meninggalkan kekacauan. Pada saat suasana seperti itu, seorang pemimpin berpikir dan merenung. Biarkan kebijkan bersinar dan memancarkan terang. Maka, dalam tafsir Alqur’an dikisahkan Summun, Bu’mun, Umyun. Kemampuan untuk emosi, keinginan, selera dan kegemaran hanya suatu taktik. Maka pada saat sebelum pergi tidur dan seudah bangun tidur pikiran sangat jernih. Saat itulah seorang pemimpin merenung mengambil keputusan. Pada hasil akhir dari pembelajaran abada 21 dengan meta konsep berpikir diikuti revolu industri 4.0 akan terlahir seorang pemimpin digital milenial. Pemimpin yang digambarkan memiliki kecepatan berpikir secepat cahaya. Berpikir peluang dan kesempatan. Kecepatan negoisasi dan rekomendasi. Generasi milenial ini belum teruji. Secara intelegensi dan kuantitatif sangatlah cerdas (Swadana Maharjeng Tursita). Namun, dalam konteks Stiranggana Cita, maupun Smara Bhumi Adi Manggala ada hambatan.

Maka untuk mengikis hambatan ini, langkah awal perlunya generasi milenial pengalaman dalam konteks toleransi social-spiritual. Generasi dengan tingkat berpikir melebihi generasi abad 20, perlunya diberikan dorongan kesempatan berkaya dengan kerja nyata melalui kecerdasan social-spiritual (Bahni Bahna Amurbeng Jurit). Yang awal ini akan menjadikan semangat saling gotong-royong, asah-asih-asuh. Memang, Perlu proses panjang. Akan tetapi, ketrampilan social-spiritual ini dimasa akan datang memberikan nuansa spirit de corp, generasi pemimpin untuk membela kebenaran dan keadilan (Rukti Setya Garba).

Pembelajaran abad 21 didukung revolusi industry digital 4.0 sebentuk proses pembelajaran tahapan yang dinamis. Kini di ruang-ruang kelas setiap sekolah sudah berbasis internet. Berkembang media media pembelajaran dengan super canggih. Maka hal ini melebihi target untuk pengembangan sifat pemimpin dalam diri generasi milenial. Para siswa lebih mudah dibawa ke dalam tahapan Sripandayasih Krani, Stiranggana Cita, Smara Bhumi Adi Manggala. Generasi milenial ini memiliki kemampuan mengembangkan budaya serta pelopor ilmu pengetahuan. Tidak bisa dipungkiri sebuah fakta, kemajuan Negara Korea Selatan hingga saat ini, adanya perguruan perguran tinggi riset yang dibiayai Negara. Mereka bisa leluasa mengembangkan ilmu ilmu terapan serta pengembangan budaya berbasis digital. Maka, suatu ketika generasi milenial di negeri zamrut kahutilistiwa ini bisa mengikuti jejak kemajuan Negara Korea Selatan tersebut. Kita optimis, beberapa tahun even-even kejuaran yang mendunia mulai dari Lomba Olympiade Sains, Young Scientis Invention, banyak para siswa siswi dari negeri ini menyabet juara dan pulang membawa medali emas, perak maupun perunggu.

Kesimpulan

Pemimpin memasuki relung waktu datang dan pergi dalam kesunyian dan tercatat dalam sejarah peradaban. Falsafah kepemimpinan Jawa tumbuh dari hati nurani dan toleransi. Serat Sastra Gendhing sebentuk pranatan kepemimpinan yang telah teruji dalam perjalanan sejarah peradaban di Negeri Katulistiwa ini. Generasi Milenial dalam Swadana Maharjeng Tursita (Seorang pemimpin itu harus memiliki intelektualitas yang tinggi, berilmu, jujur, pandai menjaga nama, serta mampu menjalin kemunikasi dengan bijak kepada bawahan maupun rakyat).

Saran

Generasi Milenial yang mengalami transisi Pembelajaran Abad 21 dengan Revolusi Digital 4..0, akan menjadi pemimpin yang membumi dan harmoni apabila memperoleh kesempatan pengalaman kerja nyata. Langkah awal dengan memiliki ketrampilan sosial-spiritual sebagai seorang pemimpin, dengan berpegang pada tujuh amanah seperti yang ada di manuskrip Serat Sastra Gendhing yang sudah teruji pada masa pemerinthan Sri Sultan Agung.

Dolopo, Oktober 2019

Priya Santosa

Pejuang Literasi Alumni Padepokan SAGASABU Ngawi, 2017

Sekolah Jurnalistik UNESA 2019

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Jos,Bah

12 Oct
Balas

Masih belajar. Lama tidak menggireskan pena. Miss corat coret mengjilangkan tenat pikir. Trims supportnya.

12 Oct



search

New Post