rachman firdaus

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Internalisasi Nilai-Nilai Budaya Lamaholot sebagai wujud penguatan pendidikan karakter

INTERNALISASI NILAI-NILAI BUDAYA LAMAHOLOT SEBAGAI WUJUD PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER

Rachman Firdaus

SMPN 1 Nagawutung - Lembata- NTT

Abstrak Pendidikan pada era globalisasi saat ini menuai beragam masalah. Kurikulum pendidikan saat ini telah disesuaikan dengan arus globalisasi. Pendidikan karakter menjadi hal penting dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Usaha untuk memperbaiki karakter peserta didik di Indonesia adalah bagian dari tujuan perubahan kurikulum untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Namun sayang, implementasi undang-undang tersebut belum sepenuhnya mencapai harapan yang dinginkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji nilai-nilai budaya Lamaholot sebagai wujud penguatan pendidikan karakter. Pemahaman tentang nilai-nilai budaya lokal sangat penting dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya masyarakat tradisional yang dikembangkan berdasarkan konteks kekinian sangat penting untuk diinternalisasikan dalam pendidikan. Budaya Lamaholot banyak mengandung nilai-nilai sosial yang seharusnya dapat diinternalisasikan dalam dunia pendidikan sebagai wujud penguatan pendidikan karakter. Melalui internaliasi budaya Lamaholot tersebut, diharapkan dapat melahirkan generasi yang berbudaya dan berkarakter positif di era globalisasi saat ini. Beberapa nilai-nilai sosial budaya Lamaholot di antaranya, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (religius), kerja keras, kreatif, mandiri, gotong royong, demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, peduli lingkungan, peduli sosial, serta bertanggung jawab.

Pendahuluan

Manusia adalah individu yang mampu menghasilkan pola pikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan. Dengan demikian, maka manusia dihadapkan pada kondisi interaksi sosial dengan sesama dan lingkungan hidupnya. Ketika kehidupan manusia semakin berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.

Beragam fenomena sosial yang terjadi di kalangan masyarakat saat ini, adalah bentuk modernisasi dari pola pikir, nilai,norma dan keyakinan generasi globalisasi. Merosotnya nilai karakter seakan mencerminkan generasi tersebut adalah generasi tanpa pendidikan. Publikasi media massa tentang fenomena sosial tersebut, telah jauh dari nilai-nilai karakter bangsa Indonesia. Korupsi, narkoba, tawuran antar pelajar, penipuan, pembunuhan, dan sebagainya adalah bentuk fenomena sosial yang jelas terlihat di kehidupan kita. Nilai karakter yang melekat dalam tatanan budaya Indonesia, seakan pudar dan berganti dengan budaya kekinian sehingga generasi saat ini mulai terasing dengan budaya dan tercabut dari akar etniknya. Hal ini menjadi tantangan terbesar bagi dunia pendidikan di era globalisasi saat ini.

Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh ilmu sebagai dasar untuk bersikap dan bertingkah laku. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pembentukan karakter manusia atau dapat dikatakan sebagai proses memanusiakan manusia. Secara keseluruhan proses pendidikan akan menghasilkan sikap dan perilaku yang akhirnya menjadi watak, kepribadian, dan karakternya.

Pendidikan merupakan upaya masyarakat dalam mempersiapkan keberlangsungan hidup generasinya dalam menghadapi tantangan kehidupannya pada masa yang akan datang. Pewarisan budaya dan karakter bangsa adalah salah satu wujud mempersiapkan generasi yang berkarakter positif di era globalisasi. Proses pendidikan harus dapat dikembangkan dengan menginternalisasikan budaya ke dalam proses pembelajaran sebagai wujud penguatan pendidikan karakter.

Seiring laju perkembangan pola pikir masyarakat saat ini, pendidikan menjadi sangat dinamis dan menyesuaikan perkembangan kehidupan masyarakat. Kurikulum pendidikan bukan menjadi patokan yang baku dan statis, tetapi harus dapat disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat yang ada.

Lamaholot merupakan salah satu etnik dan budaya yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat yang termasuk dalam rumpun budaya Lamaholot meliputi empat daratan yakni Larantuka (Flores Timur daratan/wilayah paling timur dari Pulau Flores), Pulau Adonara, Pulau Solor, dan Pulau Lembata. Secara geografis, wilayah Lamaholot berada diantara laut Flores, Selat Ombai dan Laut Sawu yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Letak kepulauan dalam wilayah Lamaholot tersebut berdekatan atau berderet-deret, serta mempunyai pertalian darah, sehingga wilayah Lamaholot memiliki kesamaan budaya yang dalam bahasa etniknya disebut budaya Lamaholot.

Keanekaragaman budaya masyarakat Lamaholot dapat diintegrasikan dalam pembelajaran. Hal ini dikarenakan, kebudayaan-kebudayaan tersebut mengandung banyak nilai-nilai sosial. Nilai-nilai kebudayaan tersebut dapat dipahami lebih dalam melalui pembelajaran di sekolah. Melalui pembelajaran di lembaga pendidikan, siswa diharapkan mewarisi dan mendalami nilai-nilai luhur budaya tersebut dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan.

Pemahaman tentang nilai-nilai budaya lokal sangat penting dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya masyarakat tradisional yang dikembangkan berdasarkan konteks kekinian sangat penting untuk diinternalisasikan dalam pendidikan. Nilai-nilai budaya Lamaholot yang dikaji sangat berkaitan dengan pendidikan karakter di sekolah ataupun di lembaga pendidikan lainnya, sehingga diharapkan dapat diinternalisasikan sebagai wujud penguatan pendidikan karakter.

Kajian ini membahas internalisasi nilai-nilai budaya Lamaholot dalam perwujudan kurikulum berbasis pendidikan karakter. Menyukseskan rencana baru dari pemerintah tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sebagai poros utama perbaikan pendidikan nasional adalah keniscayaan strategi itu dengan menghargai kearifan lokal dan memberdayakan keunggulan lokal dalam membentuk generasi yang memiliki karakter baik dalam berkehidupan, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun di masyarakat.

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengkaji nilai-nilai budaya Lamaholot sebagai wujud penguatan pendidikan karakter, melalui analisis pustaka (library research) dengan mengumpulkan berbagai kajian dari berbagai sumber. Pengkajian dilakukan pada kebijakan pemerintah tentang kurikulum berbasis pendidikan karakter dan penguatan pendidikan karakter, buku, jurnal dan penelitian terdahulu yang berhubungan objek kajian.

Pembahasan

Nilai - Nilai Budaya Lamaholot

Masyarakat Lamaholot saat ini menghayati sistem religi yang dibangun dalam seluruh sejarah pengembaraannya yang panjang. Mereka meyakini bahwa sebelum ada kontak dengan bangsa barat yang datang menyebarkan agama di bumi Lamaholot, mereka sudah percaya akan wujud tertinggi serta bagaimana menjalin kontak dengan kekuatan tertinggi yaitu Lera Wulan.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini masyarakat Lamaholot masih meyakini adanya Lera Wulan dan Nuba nara sebagai penguasa tertinggi yang diwujudkan dalam setiap ritual adat istiadat yang dijalankannya.

Lera Wulan

Lera Wulan berarti matahari dan bulan. Tetapi itu bukan pengakuan adanya dualitas. Lera Wulan merupakan satu kesatuan, satu makluk atau kekuatan. Pandangan tentang Lera-Wulan di Kepulauan Solor berbeda-beda, tetapi kesamaan pada semua pandangan itu ialah bahwa Lera-Wulan bukan “matahari bulan” dalam arti konkrit. Lera Wulan adalah “kekuasaan atas segala-galanya”. Di Lembata, Flores Timur dan Solor wujud tertinggi itu dinamakan Lera-Wulan. Di Adonara disebut Rera-Wulan. Di Pantar namanya Wed-Ura dan War-Wur (matahari bulan). Di Kedang dinamakan Wula-Loijo (bulan-matahari). Di Alor dinamakan Ul-Wed, Ul-Wir, atau Ia-Fari semuanya berarti bulan-matahari. Masyarakat Lamaholot mempercayai dan menujunjung tinggi akan hal tersebut sehingga dalam setiap upacara ritual adat selalu menjadikan Lera Wulan sebagai wujud tertinggi dalam ritus tersebut atau dalam Bahasa Lamaholotnya “Hunge Ba’at, Tonga Blola, Lera Wulan Tana Ekan” (hormati dan pandang tinggi wujud tertinggi).

Nuba Nara

Terkait dengan kultus Lera Wulan Tana Ekan, orang Lamaholot juga menghormati Nuba nara, yakni batu pemali. Batu pemali bisa merupakan satu batu, bisa juga beberapa batu. Menurut kepercayaan, Lera Wulan turun dan duduk di atas batu-batu itu. Sebab itu nuba nara dianggap keramat. Di samping itu, masyarakat Lamaholot juga meyakini bahwa nuba nara mampu melindungi dan menjaga masyarakat Lamaholot dalam setiap aktivitas kehidupannya yang diwujudkan dengan adanya berbagai ritual seperti, ritual turun hujan, ritual masa panen, ritual melaut, dan lain sebagainya. Nuba nara biasanya berada di kawasan hutan adat yang dipercayai oleh masyarakat Lamaholot sebagai hutan lindung tempat bersemayamnya lera wulan. Masyarakat Lamaholot hanya bisa memasuki Kawasan hutan tersebut ketika ada ritual adat tertentu. Keberadaan Nuba Nara adalah salah satu wujud dari kecintaan masyarakat Lamaholot terhadap alam dan isinya. Di samping itu, Nuba Nara memberi makna tersendiri bagi masyarakat Lamaholot tentang bagaimana manusia berkarya dan saling melayani antar sesama di atas bumi, atau dalam bahasa Lamaholotnya Lugu Rere Ae Lodo, Gelekat Gewayan Tana Ekan ( Tunduklah rendah dengan muka ke bawah, layanilah sang bumi).

Lewo

Bagi masyarakat Lamaholot, Lewo lebih di identikkan dengan kampung halaman. Di dalam setiap Lewo, masyarakat terikat pada suku-suku sebagai wujud generasi dari keturunannya. Hal tersebut dibuktikan dengan nama yang melekat pada sebagian besar Masyarakat Lamaholot sehingga memudahkan masyarakat lainnya mengenal dan mengetahui dari mana asal usulnya, bahkan sejauh manapun dia pergi tentu nama suku yang melekat pada dirinya memberikan identitas tersendiri tentang Lewo dan suku orang tersebut.

Pada setiap Lewo, terdapat beberapa simbol utama seperti Koke Bale (tempat pertemuan dan ritual keagamaan), Nuba Nara (tempat persembahan), dan Korke (rumah Adat) dan lain sebagainya. Pada tempat tersebut juga tersimpan barang-barang adat, seperti alat–alat perang, gong, gendang, gading, maupun warisan leluhur lainnya yang selalu dihormati dan dibuat ritual adat secara berkala yang memberikan makna bahwa kebersamaan dan tali persaudaraan Masyarakat Lamaholot terbentuk secara turun temurun oleh tradisi, adat, dan kebiasaan atau dalam Bahasa Lamaholotnya mei wutun , worak wakon ( kemanapun kita pergi, disanapun kita sampai, kita semua adalah saudara sedarah-se-asal).

Dalam setiap kehidupan sosialnya, lewo di jadikan sebagai pusat pertemuan suku dari lewo tersebut, baik yang berada di luar wilayah Lamaholot, maupun yang berada di sekitar wilayah Lamaholot. Masyarakat Lamaholot biasa mengatakan dengan Lein Lau Weran Rae, Hikut Teti, Wanan Lali, Uak Tukan Wai Matan

Selain itu, kebudayaan Lamaholot umumnya memandang sebuah kesenian tradisi sebagai sesuatu yang sakral, sehingga dijunjung tinggi oleh seluruh masyarakat. Kesenian tradisi bahkan menjadi awal rasa religiositas yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta. Patut diutarakan masyarakat tradisi Lamaholot sudah mengenal Tuhan sebelum agama masuk dan memperkenalkan adanya konsep Sang Pencipta yang disebut. Lera Wulan Tanah Ekan yang artinya penguasa langit dan bumi. Budaya tersebut di antaranya oreng, sole, dan gemohing.

Oreng

Banyak kesenian tradisional yang merupakan warisan kebudayaan orang Lamaholot. Dari beberapa kesenian tradisional berupa tarian-tarian rakyat, dongeng atau cerita rakyat, nyanyian rakyat dan bentuk-bentuk kesenian tradisional orang Lamaholot, salah satunya yang khas adalah nyanyian Oreng. Oreng merupakan nyanyian naratif masyarakat Lamaholot yang dipertunjukan dengan cara dinyanyikan atau dilagukan oleh seorang solois yang oleh orang Lamaholot disebut Oreng Alape (Penyanyi Oreng). Oreng bisa dinyanyikan dalam tarian saat upacara pesta-pesta adat dan hari-hari besar lainnya. Dalam tarian , Oreng berperan sebagai pemandu tarian Sole Oha/Lili. Cepat atau lambatnya tarian Sole sangat tergantung pada Oreng.

Bahasa yang digunakan dalam Oreng bukanlah bahasa yang selalu digunakan masyarakat sehari-hari melainkan bahasa dengan pilihan kata khusus dan mengandung makna kiasan sehingga tidak bisa dipahami secara harafia namun membutuhkan interpretasi dari pendengarnya. Pilihan kata-katanya pun disesuaikan dengan motif saat Oreng dilagukan. Pilihan kata-kata khusus Oreng ini bertujuan untuk memengaruhi perasaan pendengarnya. Jika Oreng dilagukan saat suasana sedih maka seorang Oreng alape akan menggunakan nua snusa/snuse (kata- kata sedih) yang mampu membuat pendengarnya menangis. Sebaliknya apabila oreng dilagukan saat suasana senang (dalam keramaian pesta), seorang Oreng alape biasanya menggunakan nua senaren/aluse (kata-kata bahagia ) sehingga terkadang membuat pendengarnya tertawa senang. Hal ini berhubungan dengan Oreng sebagai salah satu karya seni yang harus memiliki cita rasa seni tinggi untuk dinikmati dan akan lebih mudah dipahami isinya.

Bagi Masyarakat Lamaholot, nyanyian rakyat tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata melainkan juga memiliki fungsi sosio-kultural dalam masyarakatnya. Demikian pula dengan Oreng. Sebagai salah satu nyanyian rakyat, Oreng mengandung ide-ide, gagasan, berbagai pengetahuan tentang alam semesta menurut persepsi budaya masyarakat Lamaholot, juga ajaran moral keagamaan dan unsur-unsur lain yang mendukung nilai-nilai luhur. Hal ini menandakan, Oreng sebagai bagian dari warisan budaya perlu dikaji, guna meningkatkan apresiasi masyarakat tehadap tradisi sastra lisan khas orang Lamaholot ini. Dengan demikian nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat dihayati dengan baik dan mendalam.

Sole

Berbagai ungkapan yang berhubungan dengan rasa religiositas, rasa persaudaraan sesama manusia, serta manusia dengan alam, dapat terungkap dalam berbagai kesenian tradisi Lamaholot terutama dalam kesenian sole. Lamaholot memiliki beberapa jenis sole sebagai tarian etnik masyarakat setempat. Beberapa jenis sole tersebut di antaranya: sole oha, sole menolune, sole temudhun, namang, sole labalolon, sole belah’an, lili, sole karololon dan sebagainya. Hampir semua jenis sole terikat pada gerak tubuh karena nyanyian diikuti dengan irama kaki dalam pola tertentu. Pola yang dimaksud adalah sebuah gerakan yang diatur sebagaimana dalam tarian, seperti maju dua langkah dan mundur satu langkah. Setiap jenis sole memiliki pola berbeda satu sama yang lain.

Sole pada umumnya dinyanyikan bersama-sama oleh penari dan pada bagian tertentu dinyanyikan secara bersahutan (berbalas pantun) satu dengan yang lain, serta ada bagian kor yang dinyanyikan oleh semua penari. Sole mengutamakan isi pesan dari setiap langkah tarian tersebut. Hal ini dilakukan dengan cara penataan secara serasi antara unsur musikal dan seni kata sastra Lamaholot yang disebut koda, Koda dalam masyarakat Lamaholot dianggap sebagai bahasa tingkat tinggi dan makna mendalam, sehingga apa yang disajikan benar-benar memberi kesan indah, dan sedapat mungkin pendengar dapat merasa terhibur serta menangkap isi pesan dari nyanyian tersebut.

Tarian sole dimaknai sebagai proses aktif yang senantiasa dilakukan manusia yang berakal sehat dalam menjalani kehidupan, yakni sebagai upaya membangun kesadaran diri akan eksistensi dirinya di dunia. Dalam hal ini tidak hanya satu aktivitas tunggal, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan sebuah respon dari apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Proses memahami atau berpikir adalah serangkaian kegiatan dari budi rohani seseorang yang menciptakan pengertian, melakukan penalaran, dan mengolah ingatan berdasarkan pengalaman terdahulu sebagai tanggapan terhadap keadaan sekeliling

Gemohing

Hampir sebagian masyarakat Lamaholot bermata pencaharian sebagai petani. Ada juga yang bekerja sebagai nelayan, pedagang, dan bekerja pada instansi pemerintah. Masyarakat Lamaholot memiliki suatu budaya gotong royong dalam kehidupan mereka yang dikenal dengan sebutan gemohing. Gemohing lebih sering dipraktikan dalam bidang pertanian, tetapi uniknya gemohing tidak terbatas pada penggarapan lahan melainkan juga dalam hal lain seperti membangun rumah, atau pun pendidikan. Prinsipnya adalah bahwa mereka harus mengerjakan pekerjaan mereka secara bersama-sama agar pekerjaaan-pekerjaan tersebut menjadi lebih mudah karena sudah seharusnya manusia bekerja sama antara satu dengan yang lainnya.

Pada dasarnya gemohing atau istilah lainnya kenol’eng atau ma’ong tersebut berbentuk sebuah kelompok kerja yang terdiri atas utusan-utusan keluarga-keluarga yang bersepakat membentuk gemohing. Gemohing berangkat dari kebutuhan akan tenaga kerja yang lebih banyak untuk mengolah lahan pertanian. Jumlah anggota berkisa antara 10-50 orang. Satu keluarga bisa mengirim lebih dari satu orang untuk menjadi anggota gemohing. Para anggota gemohing akan bersama-sama mengerjakan lahan setiap anggota secara bergilir mulai dari pembersihan sampai dengan panen.

Uniknya, ketika dalam suasana bekerja, mereka bernyanyi, bersyair, berbalas pantun ataupun bermain tebak-tebakan dalam bahasa daerah mereka sendiri. Mereka yang tua lebih memilih menyanyikan syair yang bernuansa mistis atau yang bercerita tentang kehidupan sosial, sedangkan mereka yang muda akan berbalas pantun yang berhubungan dengan cinta. Gemohing mengajarkan tiga nilai penting dalam kehidupan yaitu, nilai kemanusiaan, sosial, dan gotong royong.

Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter merupakan upaya untuk menanamkan nilai-nilai positif bagi seseorang dalam aktivitas hidup dan kehidupannya, baik sebagai individu maupun hubungan antara dirinya dengan orang lain. Mansur (2014: 5), menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah upaya pendidik untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara hal yang baik dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Lebih lanjut Suyitno (2012: 6), menyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pengertian ini dapat dimaknai bahwa pendidikan karakter adalah upaya penanaman nilai-nilai baik bagi peserta didik, sehingga mereka dapat membedakan hal yang baik dengan hal yang buruk, serta mampu menerapkan dalam kehidupannya.

Lickona (1991) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu usaha yang dilakukan untuk membantu seseorang supaya sebagai seorang individu daia dapat memahami, memperhatikan, dan melaksanakan nilai-nilai etika pokok serta bertujuan untuk pembentukan karakternya. Usaha pendidikan dan pembentukan karakter yang dimaksud diatas tidak terlepas dari pendidikan dan penanaman nilai-nilai moral kepada peserta didik. Tujuannya adalah agar peserta didik menjadi manusia sejati yang bermartabat, berkarakter, dan bukan hanya sebagai pebelajar yang hanya berkemampuan secara kognitif saja, melainkan memiliki keseimbangan antara hardskill dan softskill nya. Selanjutnya, Lickona menyatakan alasan pentingnya pendidikan karakter diberikan sebagaimana terpilah sebagai berikut:

Metode tepat yang digunakan sebagai cara untuk menjamin peserta didik memiliki kepribadian yang terpuji dalam kehidupannya.

Metode yang digunakan untuk peningkatan prestasi peserta didik secara akademik.

Tidak seluruh siswa dapat membentuk karakternya di tempat lain, oleh karena itu diperlukan wadah yang tepat dalam pembentukannya.

Menyiapkan peserta didik untuk dapat bersikap menghormati orang lain dan bersosialisasi dalam kehidupan masyarakat yang beragam.

Berangkat dari akar permasalahan yang memiliki keterkaitan dengan problem moral-sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Cara terbaik untuk menyiapkan peserta didik agar berperilaku terpuji di dunia kerja ke depannya.

Sebagai cara pembelajaran terhadap nilai-nilai budaya yang merupakan bagian dari kerja peradaban.

Pendidikan karakter pada intinya bertujuan untuk membentuk bangsa yang mendasarkan perilaku dan sikapnya pada keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Pancasila dengan menjadi individu yang kokoh, bersaing, bermoral, berakhlak mulia, toleran, memiliki sikap kegotong royongan, patriotik, dinamis, dan berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan Tujuan Pendidikan Nasional. Nilai-nilai karakter tersebut yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab (Kemdiknas, 2011:8).

Penanaman dan pengembangan pendidikan karakter di sekolah menjadi tanggung jawab bersama. Pendidikan karakter dapat dintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Setiap mata pelajaran yang berkaitan dengan nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Pembelajaran nilai-nilai karakter ini tidak berhenti pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada tataran internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan anak didik sehari-hari di masyarakat (Wardani, 2010: 237).

Internalisasi Nilai-Nilai Budaya Lamaholot sebagai Wujud Penguatan Pendidikan Karakter

Internalisasi diartikan sebagai proses penanaman nilai kedalam jiwa seseorang sehingga nilai tersebut tercermin pada sikap dan prilaku yang ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari (menyatu dengan pribadi). Kearifan lokal yang terdapat pada beberapa kelompok/masyarakat minoritas di Indonesia banyak mengandung nilai luhur budaya bangsa, yang masih kuat menjadi identitas karakter warga masyarakatnya. Namun di sisi lain, nilai kearifan lokal sering kali dinegasikan atau diabaikan, karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zamannya. Padahal dari kearifan lokal tersebut dapat dipromosikan nilai-nilai luhur yang bisa dijadikan model dalam pengembangan budaya bangsa Indonesia (Hasanah: 2012: 212).

Penerapan pendidikan karakter tidak hanya berlandaskan pemahaman tentang pembentukan sikap atau watak dalam bertindak, tetapi juga harus menampung kearifan lokal dalam budaya bangsa yang majemuk. Kearifan budaya bangsa bisa ditanamkan sejak dini dalam setiap lembaga pendidikan di Indonesia sehingga memberikan kesadaran dan wawasan kebangsaan secara integral dalam bingkai kebhinnekaan. Gencarnya penanaman pendidikan karakter bagi anak didik, keluhuran budaya bangsa harus tetap menjadi pertimbangan utama dalam merekontruksi kesadaran berbangsa dan bernegara yang berwawasan prualistik dan multikultural (Ilahi, 2014: 83).

Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan karakter peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik (Wiyono, 2012: 2-3).

Kekayaan budaya Lamaholot yang sarat dengan nilai-nilai sosial dapat diinternalisasikan dalam pendidikan sebagai upaya pembentuk karakter peserta didik. Budaya-budaya tersebut berada di sekitar lingkungan kehidupan peserta didik, namun nilai-nilai sosial budaya tersebut belum tentu melekat pada kehidupan peserta didik. Nilai-nilai sosial dalam budaya Lamaholot, dapat diterapkan dalam bidang pendidikan sebagai perwujudan pengembangan pendidikan karakter. Pendalaman nilai-nilai sosial tersebut dalam pendidikan, diharapkan dapat mencapai tujuan pendidikan nasional dengan melahirkan generasi bangsa yang memiliki karakter baik.

Penutup

Pendidikan berkaitan erat dengan kebudayaan. Perkembangan budaya melalui proses pendidikan, sedangkan proses pendidikan merupakan transformasi sistem pola pikir, nilai, norma dan keyakinan dari kehidupan sosial budaya generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat. Budaya memiliki peranan penting bagi perkembangan karakter generasi di era globalisasi saat ini. Penguatan pendidikan karakter bertujuan untuk melahirkan generasi bangsa yang berbudaya dan berkarakter positif.

Budaya Lamaholot banyak mengandung nilai-nilai sosial yang seharusnya dapat diinternalisasikan dalam dunia pendidikan sebagai wujud penguatan pendidikan karakter. Melalui internaliasi budaya Lamaholot tersebut, diharapkan dapat melahirkan generasi yang berbudaya dan berkarakter positif pada era globalisasi saat ini. Beberapa nilai sosial budaya Lamaholot diantaranya, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (religius), kerja keras, kreatif, mandiri, gotong royong, demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, peduli lingkungan, peduli sosial, serta bertanggung jawab.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Saya usul dibuat pendek-pendek saja pak. Sayang cerita sebagus ini kalau di skip membacanya.

22 Aug
Balas

Iya, Terima kasih atas masukannya pak Yudha Kurniawan...

22 Aug
Balas

Iya, Terima kasih atas masukannya pak Yudha Kurniawan...

23 Aug
Balas



search

New Post