Rachmawati

Lahir di Medan 5 Agustus 1973, menjalani karier sebagai guru sejak tahun 1999 selepas S1 dari Universitas Bengkulu. Sekarang bertugas di SMP Negeri 22 Kota Beng...

Selengkapnya
Navigasi Web

WARISAN

Bagian 6

"Vania! Abang nggak bisa jual tanah itu kalo cuma pakai surat hibah!" Teriak bang Varo.

"Kenapa begitu, Bang?" Tanyaku.

"Kamu harus datang ke sini, kamu yang harus transaksi baru orang yang beli mau, Van!"

"Mana mungkin Vania datang, Bang! Vania harus kerja, lagipula Vania kan sudah kasih surat kuasa sama abang." Aku mencari cara untuk menolak.

"Tidak bisa, Vania!'

"Trus, sekarang abang maunya apa?" Tanyaku.

"Abang mau kamu ambil sertifikaf itu dari om Sarno, setelah itu kamu kesini dan kita sama-sama ke Bank. Nanti kamu pinjam seratus juta. Lalu kita bagi, 25 juta jatah abang, 25 juta jatah bang Alek. Kamu 25 dan ibu 25 juta. Tapi, jatah kita bertiga biar dipakai bang Alek dulu." Bang Varo bicara panjang lebar. Tapi isinya pembicaraan membuat aku berpikir bahwa aku dan ibu hanya dijadikan umpan oleh mereka berdua.

"Vania mau bayar pakai apa, Bang? Kalau pinjam pakai nama Vania, kan otomatis Vania yang bakal bayarnya." Kataku.

"Iya, bener. Gaji kamu kan ada, Vania. Beda sama bang Alek yang kerjanya serabutan. Kamu nggak kasihan lihat dia."

Bang Varo sepertinya sudah kalap. Ocehannya membuat aku benar-benar ilfiil. Bagaimana mungkin seorang kakak menyuruh adiknya untuk meminjam uang di Bank, sekaligus ai adik disuruh membayarnya.

"Gaji Vania masih kecil, Bang. Gimana Vania mau bayar per bulannya?" Jawabku masih dengan nada pelan.

"Hmm.. oh ya, abang ingat, waktu abang ke sana, kamu kan berencana beli mobil, tuh! Gimana kalau beli mobilnya kamu tunda dulu, Van. Dan duitnya kamu kasih sama Alek."

Kepalaku mendadak munyeng mendengar kata-kata bang Varo yang seolah tidak mengerti kondisiku. "Bang, uang Vania cuma ada 45 juta. Itu hanya bisa untuk beli mobil bekas, Bang. Kenapa bang Alek nggak pinjam saja sama ipar-iparnya sih, Bang?"

"Mana bisa, Vania! Yang ada ipar-ipar Alek minta uangnya sama Alek. Pokoknya, abang mau kamu pikirkan lagi hidup abang kamu itu." Pungkas bang Varo sebelum dia menutup teleponnya.

Kupejamkan mataku dengan kepala menatap langit langit. Seharusnya aku bahagia mempunyai dua kakak laki-laki yang bisa menjaga dan melindungiku. Tapi apa lacur, aku malah merasa hidupku menjadi tidak tenang. Aku merasa abang-abangku telah menerorku. Setiap ponselku berdering aku cemas, takut bang Varo atau bang Alek yang menelpon. Aku benar-benar tidak ada hasrat membicarakan masalah tanah warisan itu.

#TerusMenulis

#HariKe-371

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post