Rachmawati

Lahir di Medan 5 Agustus 1973, menjalani karier sebagai guru sejak tahun 1999 selepas S1 dari Universitas Bengkulu. Sekarang bertugas di SMP Negeri 22 Kota Beng...

Selengkapnya
Navigasi Web

WARISAN

Bagian 5

Setelah kepulangan bang Varo dan bang Alek, aku merasa sedikit tenang. Tentang surat hibah yang dibawa pun aku tidak pernah memikirkannya lagi. Sampai ketika aku menerima telepon dari Om Sarno.

"Van! Ini kenapa abang-abangmu datang bawa pasukan?" Teriak om Sarno dari seberang.

"Pasukan apa, om?" Aku bingung, tidak mengerti maksud om Sarno.

"Itu si Varo sama Alek datang bawa banyak orang ke rumah om. Seperti mau nyerang gitu. Katanya dia mau jual tanah kamu. Jadi dia sudah bawa pembelinya." Jelas om Sarno.

"Masa sih, Om?" Kataku yang belum juga bisa berpikir apa yang terjadi.

"Itu si Varo bawa surat hibah kamu. Lalu, petantang petenteng serombongan liatin tanah itu. Orang sini kira ada penyerbuan."

"Maafkan Vania, Om. Vania belum sempat bilang sama om kalau bang Varo dan bang Alek datang menemui Vania, mereka berencana mau menjual tanah itu, Om!" Kataku setelah kabel dalam otakku tersambung.

"Ya nggak bisa seperti itu, Van! Tanah ini meskipun sudah namamu, tapi tetap tanah gantungan. Tanah yang ibumu beli dari nenek. Jadi, tidak boleh dijual sama orang di luar dari keluarga kita. Tapi, kalau kamu atau anak kamu nantinya mau membangun rumah, silahkan saja."

Aku tambah bingung, kok tanahku tapi dibilang tanah gantungan yang tidak boleh dijual. Kepala berdenyut, kenapa persoalan semakin melebar.

"Jadi gimana, Om?" Tanyaku.

"Ya dia urusan sama perangkat desa, Van. Lagi pula abang-abang kamu itu tidak punya tata krama. Harusnya mereka itu datang ke rumah dulu, silaturahim, berembuk. nggak main bawa orang segala." Suara om Sarno masih terdengar penuh emosi.

"Vania bingung, Om. Terserah om ajalah."

"Trus kenapa kamu kasihkan surat hibah dan surat kuasa sama si Varo?"

"Mereka mendesak Vania, Om. Ibu juga berhasil mereka bujuk. Jadi Vania bingung." Kataku hampir menangis. "Trus gimana akhirnya, Om?"

"Ya mereka pulang dengan tangan hampa, mana bisa jual menjual seenak udelnya!" Kuhela nafas dalam-dalam setelah mendengarkan kata kata om Sarno dan telepon ditutup.

Untuk beberapa hari aku tenang. Tetapi, ketenanganku tidak berlangsung lama. Karena dipagi buta, bang Varo menelponku dan lagi-lagi masalah tanah warisan itu.

#TerusMenulis

#HariKe-370

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Varo bagi-bagi dong warisannya. Keren ulasannya

29 Jan
Balas

Terimakasih Bu Fitri.

30 Jan



search

New Post