RADHIA FITMA

Call me, Dee. I'm a simple woman, a mom, a teacher and a wife. I'll do my best. In sha Allah...

Selengkapnya
Navigasi Web

Kakak si Upik

Kakak Si Upik

Oleh: Radhia Fitma

Malam itu rumah Upik ramai. Suara canda tawa anak dan keponakannya riuh rendah memenuhi ruang keluarga. Sore tadi Upik disuruh emak menelpon kakak laki-lakinya untuk makan bersama di rumah. Hari ini Upik dan emak masak spesial kesukaan bapak dan kakaknya “Asam Padeh Daging Sapi” Menu khas keluarga Upik ini merupakan daging sapi yang dimasak dengan banyak cabe dan asam, disertai berbagai bumbu eksotis, spesifik masakan Padang. Emak sangat senang kalau Ujang dan keluarga makan malam di rumah.

Bersama istri dan dua anaknya, Ujang datang setelah Magrib. Hanya 1 km jarak rumah Ujang dengan rumah Upik. Makan bersama bersama orang tua dan adiknya merupakan berkah bagi Ujang. Menu selau variatif, rasa juga nendang. Makan di rumah orang tua bagaikan jelajah kuliner bagi Ujang dan istri. Kebetulan juga malam ini malam Minggu.

Ujang tidak menyesalkan kalau istrinya kurang mahir di bidang masak-memasak. Istrinya lebih cocok menjadi wanita karir, karena lulusan fakultas hukum dan suka berorganisasi. Namun sejak melahirkan anak pertama, ia berhenti bekerja. Saban hari Ujang disuguhi menu praktis. Istrinya mantan “anak manja”. Sedangkan Ujang sendiri juga tidak jauh berbeda. Ia agak manja dibandingkan Upik atau adik bungsunya Tholib. Upik dan Tholib anak emak yang paling mandiri. Tholib sekarang merantau jauh ke negeri yang masakannya didominasi kecap. Ia juga maniak Asam Padeh Daging Sapi.

“Hm…nambah lagi ah, Ujang “tambuah” untuk kedua kalinya.

“Abang, tambah lagi? Sadarlah umur hampir 40 tahun, kurangi makan karbohidrat” Istri Ujang menasehati suaminya.

“Don’t worry, besok Abang diet.” Ujang menjawab sambil mencomot petai rebus.

Upik tersenyum simpul melihat kakaknya makan lahap. Emak dan bapak tidak ikut makan. Mereka makan malam sebelum magrib, sesuai anjuran dokter. Kakaknya itu tetap langsing walaupun banyak makan. Upik memang suka memasak. Siapa yang makan banyak di rumahnya, ia merasa bangga. Suaminya pun semakin lama semakin subur karena selalu mengeapresiasi hasil karya Upik berjuang di dapur. Upik menyempatkan memasak setiap hari di sela-sela aktivitasnya sebagai guru dan juga membesarkan tiga anak.

Acara makan selesai. Upik yang rajin lalu membereskan meja makan dan mencuci piring. Ujang dan anak-anaknya duduk di kasur santai sambil menonton acara debat nasional. Anak-anak bosan dan kemudian bermain di ruang tamu. Tak lama kemudian Upik bergabung. Malam itu, suami Upik sedang ada acara rapat paripurna pemilihan ketua jorong (dusun).

“Bingung ambo, Pik. Ramadhan tidak lama lagi. Lalu Lebaran butuh biaya banyak. Abang sedang kere.” Istri Ujang memulai percakapan sambil melirik suaminya.

“Uni kan punya kedai. Apakah hasil penjualan tidak mencukupi? Upik bertanya hati-hati.

“Yah, tidak seberapalah…kedai punya orang tua, Uni cuma bantu mengelola.

“Memang sekarang lagi panceklik Ni, panen gagal, harga palawija turun drastis, sebaliknya harga pupuk meroket”

“Upik lai senang, tiap bulan dapat gaji. Sementara aset sawah dan ladang juga ada buat jaminan buat sekolah anak. Uni tidak punya apa-apa. Abang sudah coba kontrak tanah untuk tanam jagung, tetapi harga jagung juga turun terus.”

Upik diam. Ia juga dirundung masalah. Usaha suaminya gagal. Panen gagal. Gajinya tinggal sedikit setelah dipotong angsuran hutangnya di bank. Ia harus mengurus kedua orang tuanya yang sakit-sakitan. Biaya berobat tidak pernah murah. Salah satu anaknya juga mengalami gangguan makan, sehingga Upik harus membeli susu impor yang harganya selangit.

Mungkin sekarang orang menilai hidup Upik senang. Ia bersyukur, anggap saja itu sebuah doa. Ia telah berjuang sejak tamat SD sampai selesai kuliah. Kalau akhirnya ia menjadi pegawai negeri, itu melalui perjuangan yang penuh lika-liku.

Ya…Upik juga galau. Untuk sementara. Apa yang dilakukannnya?

Ia reject kekhawatirannya dengan sholat tahajud. Berzikir. Ia memandang orang yang “di bawah.” Upik telah “naik kelas” sejak ia mampu bersabar saat orang tuanya sakit. Ketika anaknya sakit. Ketika suaminya kecelakaan. Sewaktu ia berjalan setiap hari karena tidak punya uang untuk naik ojek atau angkot menuju tempatnya mengajar.

“Uni pinjam uang untuk tambah modal ya, Pik.”

Pertanyaan kakak iparnya membuyarkan kelana pikiran Upik.

“Modal apa Ni?”

“Kami mau kontrak tanah lagi.”

“Berapa Ni? Upik bertanya.

“Dua juta saja.”

“Bulan depan ya, Uni. Kalau sekarang belum ada.”

“Tidak apa-apa. Bulan depan tinggal empat hari lagi.”

“Sabar ya, Ni. Tetap berusaha.”

“Terima kasih, Pik.”

Upik memahami kakak iparnya yang sedang cemas memikirkan baju, sepatu dan biaya untuk Lebaran. Istri kakaknya itu dibesarkan dalam keluarga Hedonis. Yang mementingkan penampilan, pencitraan dan gaya hidup zaman now.

Besar pasak dari pada tiang. Pepatah lama yang tetap eksis menemani perkembangan gaya hidup sebagian masyarakat saat ini. Demi gaya hidup yang keren, sebagian orang rela meminjam ke sana-sini asalkan tampak elit, berkelas atau pun berkecukupan. Berbagai macam kredit pun dilakoni, mulai dari peralatan makan/dapur, pakaian, elektronik, dan tentu saja tunggangan setiap hari. Iklan sepeda motor dan mobil dengan rayuan mautnya mengejar para konsumen yang tidak pernah puas.

“Aku bukanlah sosialita, dan tidak ingin menjadi sosialita” Upik mengaku pada dirinya. Upik yang sederhana. Simplify Your Life” merupakan sebuah buku yang dibacanya di perpustakaan kampus saat kuliah dulu. Ia lupa siapa pengarangnya. Namun, isi amanat buku tersebut menjadi prasasti dalam hatinya.

Jika penghujung bulan Ramadhan hampir datang, ia tidak memusingkan model baju untuk seragam pada Hari Raya Idul Fitri. Tidak peduli kue atau pun stoples apa untuk menghiasi meja ruang tamu. Tidak bermimpi membeli gorden mewah untuk rumahnya.

****

Ponsel Upik berdering. Tholib menelpon dari tempat kerjanya. Sebagai seorang karyawan senior sebuah bank besar, ia sering lembur. Upik menceritakan acara makan bersama. Tholib mereguk air ludahnya mendengar menu kesayangannya digasak si Bang Ujang. Upik tertawa membayangkan ekspresi adik semata wayangnya. Kemudian Upik memberikan ponsel kepada orang tuanya. Terdengar suara tawa Tholib dari ponsel yang dipasang loudspeaker. Bergantian emak dan bapak berbicara dengan anak bungsunya. Saat itu, Ujang dan istri beserta anak telah pulang.

Upik menuju kamar. Mengambil buku Dale Carnegie yang belum selesai dibacanya. Upik termenung. Ia menatap langit-langit kamar. Upik masih bermimpi. Impian membuat mushola kecil dan pustaka mini dalam rumahnya. Memberi orang tuanya uang untuk biaya Umrah. Menabung lebih banyak lagi untuk persiapan kuliah ketiga anaknya 10 tahun ke depan. Dan, membantu kakaknya. Kakak sekaligus best friend dan bodyguard masa remaja. Kakak yang dulu paling sering menendangnya, menjitak kepalanya, menjahilinya waktu SD. Kakak yang lebih tua darinya 14 bulan.

Taram, 2 Maret 2019

Pocahontas

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisan yang mengalir... keren... bahagia dengan menulis. Salam literasi.

06 Apr
Balas

Terima kasih Bu Noerhayati. Salam literasi

09 Apr

keren Dhia.....ditunggu cerpen berikutnya. Barakallah

06 Apr
Balas

Thnks Uni.... Barakallah

09 Apr



search

New Post