Rahayu Widayanti

Guru SMP di pinggiran Kabupaten Wonogiri. Masih 'sangat baru' dalam hal menulis, membutuhkan banyak motivasi dan arahan......

Selengkapnya
Navigasi Web
Resensi Buku : Hujan, dan Mereka yang tak Keliru
Latihan menulis Resensi Buku

Resensi Buku : Hujan, dan Mereka yang tak Keliru

Jakarta. Sebuah kota yang gemerlap nan memikat, dengan kehidupan serba mudah, uang melimpah dan hidup bersenang-senang. Sekaligus, kota yang kejam dan bengis, bagi mereka kaum perantauan yang kere.

Soma dan Sarti, perantau dari Wonogiri, Jawa Tengah, yang bertubi-tubi mendapat nasib pilu tak berujung, dan seolah tanpa jalan keluar. Tinggal lama di jakarta, namun bahkan tak sanggup memenuhi keinginan sang anak untuk sekedar melihat monas, hingga ajal merenggutnya secara naas.

Adalah Agus Subakir, sang penulis novel yang terampil mengungkap dua sisi berlawanan Jakarta, dengan apik dan cerdas. Kepiawaian sarjana jurusan Sastra Indonesia ini dalam mengolah tulisan, sungguh tak diragukan. Agus, Guru SMA ini adalah pendiri dan pegiat Teater Janggleng wonogiri, sebuah komunitas sandiwara berbahasa jawa. Selain aktif sebagai penulis naskah dan aktor, Agus juga telah menulis beberapa buku puisi, novel dan cerpen bermutu, yang kental dengan gaya khasnya sendiri

Membaca novel “Hujan dan Mereka yang tak Keliru”, benar-benar memuaskan selera akan sebuah bacaan yang nikmat. Kisah yang dari awal sampai akhir sukses mengaduk-aduk emosi jiwa. Lengkap dengan bumbu romantisme unik atas cinta yang agung namun sederhana. Ya, cinta memang terkadang membuat kita bertingkah konyol dan kekanakan.

Realita kaum pinggiran yang ngenes, adalah kenyataan pahit yang tidak bisa dipungkiri. Agus berhasil memotret kehidupan mereka secara akurat. Memberikan gambaran kepada kita betapa kejam kota Jakarta, hingga hidup adalah hidup saat ini. Entah bagaimana nanti apalagi esok, entah makan atau tidak, entah hidup atau mati.

Kisah getir ini secara tiba-tiba disandingkan dengan kehidupan pejabat kaya, yang punya segala materi namun miskin nurani. Sikap arogan dan semena-mena pada babu menimbulkan dendam dan amarah yang memuncak. Cacat nurani membuat mereka tega berbuat keji pada keluarga sendiri. Ironis dengan nasib Soma, yang meraung dalam kesendirian diujung deritanya. Pun Subarjan, yang akhirnya ditangkap polisi, tanpa pernah bisa membelikan sepeda roda dua putri kecilnya dikampung, yang selalu menunggunya pulang.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post