Rahma Tanjung

Guru di SMKN 1 Sitolu Ori, Nias Utara, Sumatera Utara....

Selengkapnya
Navigasi Web
Seni Mencintai 1

Seni Mencintai 1

"Kak, nanti sore jadi ya kita ketemuan." Pesan singkat masuk ke gawaiku. Melirik sejenak, enggan membalasnya. Kantuk masih merajai pelupuk mata. "Ditempat biasa, Kak." Kubuka perlahan mata yang sempat terpejam kembali. Membaca pop-up pesan yang muncul di layar. "Kak, bisa?" Segera saja kupencet kontak si pengirim pesan. Tak butuh waktu lama, suara manja segera menyambut. "Kakak nggak sibukkan? Nanti sih, jam pulang kantor." "Baiklah. Jemput ya?" pintaku sembari bangun dari ranjang. "Boleh. Tapi jangan jauh kalilah dari kantor. Agar tak terlalu sore kali pulangnya," jelasnya. "Oke deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu." "Iya, Kak. Makasih ya, Kak," ucapnya manis. "Nggak gratis lho," jebakku. "Hahaha, iyalah. Ngerti kok sampai di situ." tutupnya. Segera saja aku beranjak dan melirik jam dinding. Astaga, tiga puluh menit lagi jam kantor berakhir. Kuraih handuk dan bergegas membersihkan tubuh, mandi. **** Dan setelah drama jam kantor yang aku hafal di luar kepala, apalagi kalau bukan absensi pulang yang mengular. Karyawan di gedung ini hampir menginjak angka ratusan, dan itu artinya mesti mengantri di depan mesin pencatat kehadiran, faceprint. Setahun lalu aku masih menjadi salah satu pengantri, sebelum resign dan mencoba peruntungan di tempat lain. Kan jadi kangen suasana ini. Molornya waktu janjian hampir saja membuat pantat ini kebas sangking duduk lama. Untung adik penjaga warung yang kusinggahi mau saja diajak ngobrol gosip para artis ibukota, pengusir jenuh menunggu. Sebuah mobil berhenti di depan warung, ketika kaca penumpang diturunkan. Segera saja aku mengenalinya. Sambil mengundurkan diri pada si adik penjaga warung, bergegas langkah ini menuju pintu depan. Sedikit kaget karena ternyata ada penumpang lain yang ikut serta. Sembari menghela nafas, kubuka pintunya dan duduk di kursi depan. Ternyata geng kami kembali bersatu, tapi minus satu. Syukurlah, tanpa dia. Wajah-wajah kuyu tampak jelas di kursi penumpang. Aku berceloteh riang, sebuah usaha menghibur mereka yang dirundung penat seharian di ruangan ber-AC. Alhamdulillah, kelesuan di kursi penumpang tidak berlangsung lama. Kami mulai menikmati perjalanan yang padat kendaraan khas jam pulang kerja. Saling melempar canda, bertanya dan menceritakan hal-hal yang sempat terlewati. Mengenang masa-masa bekerja bersama dalam satu tim, kekompakan, solidaritas, dan semua momen indah. Terselip canda dan rasa bangga. Namun ketika pembahasan mulai mengorek masa lalu, perlahan hening menyapa. Aku yang menyadari kecanggungan mereka reflek memutar badan, menghadap mereka menyamping. Kulempar senyum tulus. Perlahan dibalas mereka. "Itu masa lalu. Tak apa diingat kembali. Asal jangan egois memaksakan kembali. Santai saja," ujarku mencairkan suasana. Seperti oase di padang pasir, kalimatku disambut cengiran paling lebar. Lalu kami kembali melanjutkan pembicaraan yang sempat terjeda kekikukan. *** "Mencintai berarti bertanggung jawab," celetuk salah satu di antara kami. Reflek aku menoleh ke samping, pada kursi kemudi sang penyeletuk nampak serius memainkan setir. Penumpang di kursi belakang nampaknya kurang menyimak, sehingga kalimat itu kembali diucapkan. "Mencintai berarti bertanggung jawab. Bukankah begitu, Kak?" Kulemparkan tatapan ingin tahu, dibalas senyum manisnya. "Setuju nggak?" pintanya pada yang lain. "Maksudnya gimana?" salah seorang di kursi belakang mendekatkan diri. "Iya nih, masa kalau mencintai mesti bertanggung jawab. Contohnya gimana?" celetuk salah seorang lainnya. "Coba jelaskan ke mereka maksud kalimatku barusan, Kak." Ucapnya sembari membunyikkan klakson mobil. "Teett!" Tampak dua sepeda motor bersisian jalan sehingga menghalangi laju mobil yang kami kendarai. Seketika aku menemukan ide menjelaskannya. "Iya, mencintai berarti bertanggung jawab. Lihat nggak tadi pengendara yang kita lewati barusan?" mulaiku. "Iya, lihat!" jawab mereka kompak. "Itukan sepasang cowok-cewek. Mereka bersisian berkendara. Sangking asyiknya mereka ngobrol, serasa pengguna jalan hanya mereka berdua. Padahal banyak kendaraan berlalu lalang." Kulihat mereka menganggukkan kepala, semoga saja paham. "Cinta sih cinta, tapi kalau egois dalam berkendara dan mengakibatkan kerugian pada pengendara lain, bukankah sama artinya cari mati?" sambungku, sembari melempar senyum. Tampak wajah-wajah menyimak serius. "Kalau kita mencintai pasangan kita, maka kita akan menjaganya. Kita bisa mengikuti di belakang kendaraannya, bukan dengan bersisian seperti tadi. Karena kita sayang dia maka kita nggak mau kalau dia sampai terluka. Kita akan berusaha memberikan yang terbaik dan bersedia menganggung segala risiko akan perasaan itu. Kalau kita tidak bisa menjaganya, tidak bisa bertanggung jawab, misalny tersenggol kendaraan lain karena keegoisan kita, bisa bikin repot. Kan akhirnya kena tegur klakson kita." Sontak kami tertawa. **** Jadi, kapan nih dihalalinnya. Eh 😂

Tulisan ini merupakan hasil perbincangan dengan teman-teman tentang tema "menikah".

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post