Ramita Zurnia

Seorang perempuan biasa, yang memilih takdir sebagai seorang pendidik. Beberapa tahun sudah mengabdikan diri di dunia pendidikan. Memilih lebur di dalamnya, dan...

Selengkapnya
Navigasi Web

Karena Sayap itu Pernah Patah

"Jadi, kamu ingin meninggalkan mama?"

Pertanyaan mama pagi ini membuat perutku mulas. Semalaman aku sudah memberi penjelasan pada mama, nyatanya pagi ini pertanyaan itu masih saja meluncur dari bibir mama.

"Iyaa, Mama. Nadine harus pergi."

"Kamu tetap memilih untuk meninggalkan mama, Nad?" Suara mama terdengar bergetar, kutinggalkan koper yang masih belum kuisi penuh. Kupegang kedua tangan mama, dan menatap wajah mama yang mulai memerah karena menyembunyikan tangisan.

"Ma, bukankah Nadine pergi hanya sebentar, ini hanya urusan pekerjaan, Ma." Aku yakin ada yang bergemuruh di dadaku, bertahun - tahun aku hanya tinggal berdua dengan mama setelah papa memilih meninggalkan kami saat usiaku masih kanak - kanak. Dan sekarang, aku juga harus meninggalkan mama meski pun untuk sementara waktu.

Mama menarikku ke dalam pelukannya, merengkuhku dan terisak. "Mama hanya cemas, Nad. Bagaimana pun juga kamu adalah harta satu - satunya yang mama miliki."

Ohhh, kupeluk mama semakin erat. Hatiku juga semakin bergejolak, namun aku tak bisa mengikuti kemauan mama kali ini. Aku harus pergi, mencari lelaki pengecut yang memilih lari dan menghindari tanggung jawab.

"Nadine percaya, mama pasti paham. Kali ini Nadine harus pergi Ma. Nadine janji, Nadine akan menghubungi mama setiap waktu. Jadi mama tidak perlu cemas lagi." Kukecup pipi mama lembut, kuseka lelehan air mata di dua pipi mama, dan sebelum pergi, kupastikan aku memeluk tubuh mama lebih lama lagi.

***

Aku memilih duduk di salah satu bangku paling pojok. Ini adalah kafe ketiga yang kudatangi. Bukan tidak beralasan mengapa aku sampai nongkrong hingga kafe ketiga. Aku masih dalam misiku, mengikuti si pengecut yang sengaja menghindar beberapa bulan terakhir.

Sosoknya masih berada di dalam pengawasanku. Dia tengah asyik menikmati secangkir kopi di sebuah meja yang juga berada di pinggiran kafe. Beberapa meter saja dariku. Ekor mataku tak henti menatapnya, memperhatikannya, mengamati caranya meraih cangkir kopi dan menyesapnya lagi. Ooh Tuhan, dadaku bergemuruh hebat. Ingin sekali aku mendatangi mejanya dan duduk di sebelahnya, atau sekedar menatap lekat wajahnya dan kutagih ribuan hari yang terbuang untuk merindukannya.

Aku segera menepis segala kekonyolanku, aku hanya ingin misiku beres, dan bisa kembali ke rumah, bertemu mama, dan melepas penat di otakku. Jika saja Bu Malika tidak memintaku melakukan tugas di luar kewajibanku sebagai karyawan biasa, mungkin aku tidak akan terdampar di kota terpencil ini, tidak akan menjadi seorang mata - mata dadakan seperti ini.

Zzttt.. Zztttt..

Ponsel di sakuku bergetar. Aku harus mengalihkan pandanganku dari sosok yang kuintai semenjak pagi.

ONE MESSAGE FROM BU BOSS MALIKA :

"Nadine, sudah seminggu kamu dalam pengintaian. Kabari saya setiap waktu mengenai kondisi Daniel."

ONE MESSAGE FROM MAMA :

"Sayang, jangan lupa telpon mama nanti saat kamu sedang free. Ingat, selalu siaga dan berhati - hati."

Aku menghela napas, dan lekas kusimpan ponselku kembali. Aku memfokuskan pandanganku ke depan, Ohhh, di mana dia? aku langsung panik tujuh keliling, meja yang sedari tadi kuawasi sekarang sudah kosong, dan aku harus bagaimana, Aarrggghhhh..

"Hei, Nadine. Sedang apa di sini?"

Gleg. Kutahan napasku sebentar. Suara itu, suara itu tentu sudah sangat aku kenal. Ohhh, sulit kugambarkan bagaimana kepanikan menguasai diriku saat ini. Mungkin saja jika ada yang memperhatikanku, pasti dia akan mendapati wajahku yang merah merona antara malu, dan kesal.

"Heii, Nadine. Kamu kenapa?" Pertanyaan kedua dan itu seperti menohok tepat ke ulu hati.

Aku mencoba mengatur napas, meredam kepanikanku, dan bersikap lebih santai kembali. "Eeh, Tuan Daniel... Maaf, aku - aku di sini untuk.."

Penjelasanku terpotong oleh gelak tawanya. Wajahku terasa memanas. Aku tak ubahnya seperti anak kecil yang ketahuan sedang mencuri permen lolipop.

"Aku tahu, ini hari ketigamu mengikutiku. Bukankah begitu, mata - mata?"

Aku tak bisa mengatur emosi, juga perasaanku. Kurasakan kedua kakiku mulai lemas, disusul juga dengan perutku yang tiba - tiba mulas.

***

"Seharusnya mamaku tidak berlebihan begini, Nadine."

Suasana telah kembali santai. Daniel duduk tepat di hadapanku. Memberi keleluasaan bagiku untuk menjelajahi ketampanan dan kebeningan dua mata tajamnya.

"Tapi, jika aku boleh berpendapat, Tuan juga berlebihan. Tuan seperti lari dari tanggung jawab sebagai,"

"Jangan panggil aku dengan sebutan, tuan, Nadine. Berhentilah membuat tingkatan kasta seperti itu. Panggil aku Daniel, panggil aku sesuai namaku."

"Ohh, maafkan aku Tuan - eeh Daniel." Aku meneguk tetes jus terakhir dari gelasku.

"Aku bukan pengecut seperti dugaanmu, Nadine. Aku hanya tidak ingin dikekang oleh peraturan - peraturan sepihak mamaku. Pertunangan itu, semua mimpi - mimpi pesta pernikahan itu, semua hanyalah ambisi mamaku, bukan keinginan dari hatiku yang sebenarnya. Kumohon agar kau jangan menyalahkan aku kali ini, aku tidak ingin menjalin hubungan yang sama sekali tidak didasari oleh cinta."

Cinta?

Deg, jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya. Cinta? Terlintas di benakku ketika suatu hari saat aku yang asisten boss mendapati anak boss datang berkunjung ke kantor, dengan wajah tampan yang begitu sempurna, juga ditunjang dengan kulit putih, tubuh tinggi atletis, yang kuperkirakan sudah pasti rajin berolahraga.

"Nadine, Nadine, heiiii. Kamu tidak mendengarkanku? Ya Tuhan, kamu melamun???"

Mendengarnya, tentu membuatku merengut, dan memanyunkan bibirku. "Iyaa, Daniel."

Lagi, kudengar Daniel terkekeh. Entahlah, mungkin aku sebegitu lucu di matanya. Atau memang aku terlalu konyol hari ini, yang kutahu setelah aku tertangkap basah telah memata - matai dia, sepertinya aku harus mengubah rencana, seperti sedikit lebih menikmati waktu bersama Daniel, misalnya.

"Nadine, ayo ikut aku."

***

Udara malam sedikit lebih dingin dari biasanya. Angin menerpa sela - sela ranting pohon akasia di pinggir taman, dekat penginapan.

"Maafkan aku yang telah salah menilaimu, Daniel." Nada penyesalan yang terdengar begitu kental keluar dari bibirku. Kurapatkan posisi jaket yang kupakai. Menjauhkan kulitku dari sentuhan angin - angin nakal.

"Andai mamaku bisa sedikit - lebih memahamiku, Nadine. Mungkin aku tidak akan seperti ini."

Kurasakan getaran kesedihan begitu mendalam terlontar dari ucapan Daniel. Kuberanikan memandang wajahnya, dan menemukan ekspresi kecewa tergambar jelas di sana. "Kalau boleh aku memberi saran, cobalah cari momen yang pas, lalu jelaskan semua pada Bu Malika."

"Mamaku seseorang yang berwatak keras, Nadine. Semenjak papa meninggal dunia, mama mengambil alih semua hal yang ada. Termasuk hidupku."

"Nasib kita hampir sama, maksudku aku juga kehilangan papaku semenjak usiaku empat tahun." Kuberanikan menceritakan sedikit tentang diriku.

"Ohh, papamu meninggal dunia juga?"

"Bukan, dia pergi meninggalkan mama dan aku. Meninggalkan kami dan pergi sebagai pengecut." Aku mulai menata gemuruh di dadaku. Aku sebenarnya tidak ingin memunculkan kisah sedih ini, tetapi biarlah kali ini kukenang sedikit rasa pahit yang masih membekas di hatiku.

"Maafkan aku, Nadine."

"Aah, tidak apa - apa, Daniel. Bukankah kejadiannya juga sudah sangat lama. Bahkan bulan depan aku sudah akan memasuki usia keduapuluh tahun. So, its okay."

Daniel kontan menyentuh tanganku. "Nasib kita sama, andai sepasang sayap itu tetap utuh. Andai saja salah satu dari sayap itu tidak patah, mungkin tidak akan pernah ada kenangan pahit, sesakit ini, bukan?"

Aku mengangguk cepat, tentu aku sangat sepakat dengan hal ini. Jika kenangan yang ada selalu manis, tentu gemuruh rasa sakit ini tidak akan pernah ada. Aaah, aku ingin memeluk mama. Tiba - tiba aku merasa sangat rindu pada mama.

"Takdir Tuhan tidak bisa diubah kembali, kita hanya perlu menata kehidupan yang lebih baik untuk ke depannya. Dan begitulah cara yang kupilih, Nadine. Hingga aku memilih menyendiri di kota ini."

"Daniel, bisakah kita kembali ke kota esok hari? Aku tidak bisa meninggalkan mama lebih lama lagi. Bolehkah aku menumpang dengan mobilmu?"

***

"Andai sepasang sayap itu tetap utuh. Andai saja salah satu dari sayap itu tidak patah..."

Kata - kata Daniel masih memenuhi rongga otakku. Sudah lama sekali waktu berlalu semenjak kejadian mata - mata tempo hari. Mengingat tentang sosok Daniel hanya akan membuat kedua pipiku memanas. Harus kuakui perjumpaan pertama seorang assisten Boss dengan putera Boss, waktu itu telah memunculkan rasa kagum dan mungkinkah juga getaran - getaran cinta.

Aaah, kutepis segala rasa yang kupikir sangat mengganggu. Aku tidak ingin mengharapkan hal yang sangat tidak mungkin kuraih.

"Nadine, Sayang, ada tamu untukmu Nak."

Seruan mama dari ruang depan membuyarkan segala hal yang terangkum di pikiranku. Aku mengacak - acak rambutku dengan kesal, entah mengapa segala hal tentang Daniel menjadi sesuatu yang menarik untuk kupikirkan.

"Siapa, Maaaa?"

"Seorang anak lelaki."

Duuh, siapa yaaa. Sudah sangat lama aku tidak pernah berhubungan dengan cowok manapun. Meski hari ini aku sudah genap berumur duapuluh tahun.

"Nadine, lekaslah. Jangan biarkan tamunya menunggu lebih lama begitu."

Seruan mama memaksaku menghambur membuka pintu kamar. Aku tergopoh menuju ruang tamu, "Siapa sih, Maaa?" aku masih berceloteh.

"Haii, Nadine. Selamat ulang tahun..."

Aku terperanjat, kudapati sosok cowok tinggi telah berdiri tepat di depanku. Dia memegangi sebuket bunga lili, dan menyodorkannya padaku.

"Lhooo, Daniel... Kamu kena - pa bisa ada di sini?"

"Selamat ulang tahun, gadis mata - mata." Daniel malah tersenyum dan mengabaikan pertanyaanku.

Aku menepuk bahunya gemas. "Apa kabar, Daniel. Oww, terima kasih untuk bunganya. Juga, huuuft.. Ini serupa kejutan, dan - "

"Sssttt... Nadine, maukah kamu melengkapi salah satu sayap yang pernah hilang dariku? Bersediakah kamu menyempurnakan kisah ini dengan menerima cintaku?"

Ooh, aku tahu ada yang tiba - tiba mekar dari hatiku. Memunculkan bunga berwarna - warni. Memunculkan lengkungan pelangi di sudut langit. Sepertinya, ada kisah cinta baru yang bertepuk dua tangan. (rz)

***

2016

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Andai sepasang sayap itu utuh, andai sepadang sayap itu tak ada yang patah. Tapi Daniel dan Nadine, yang merupakan korban dari sayap patah telah berhasil kepakan sayap mereka sendiri untuk merenda asa cinta di kemudian hari. Cerpen indah Bunda.

10 Dec
Balas

Alhamdulillah mba.

10 Dec



search

New Post