Ramita Zurnia

Seorang perempuan biasa, yang memilih takdir sebagai seorang pendidik. Beberapa tahun sudah mengabdikan diri di dunia pendidikan. Memilih lebur di dalamnya, dan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Senandung Rindu: Antara Banjarmasin dan Pekanbaru

Senandung Rindu: Antara Banjarmasin dan Pekanbaru

Aku masih saja uring-uringan. Sementara uda terlihat mulai mengemasi beberapa pakaian dan barang-barang yang akan dibawanya. Aku merengut, demi Tuhan rasanya nyeri di hati. Perutku seperti mulas, dan dadaku tiba-tiba sesak seperti dihantam oleh benda keras.

"Banjarmasin, lagi, yaa?" Aku kembali ingin memastikan. Padahal belahan hatiku sudah menjelaskan sebelumnya via pesan WhatsApp selang beberapa menit setelah berbicara dengan manajernya. Dan cuaca di hatiku langsung mendung tiba-tiba.

Dia menoleh sebentar. "Iyaaa, bagaimana lagi, Yank. Pekerjaan di sana sudah menunggu. Cuma seminggu kalau tidak ada halangan."

Aku menunduk sambil mendengarkan ucapan lelaki yang sangat kusayangi, yang tentu saja juga sangat mencintaiku.

Mataku mulai berkaca-kaca. Rasanya sejak semalam aku sudah berupaya menyembunyikan air mata ini. Aku tidak ingin kembali menjadi si cengeng–dan rapuh.

Aku hanya memperhatikannya menyusun rapi pakaian dan semua benda yang dirasa dibutuhkannya. Aku memang keterlaluan. Jika jarak akan membawanya seperti ini, maka aku terlalu lemah untuk bisa ikut mempersiapkan segalanya. Demi Tuhan, aku sangat tidak sanggup jika harus melipat, dan membantu packing pakaiannya sementara air mataku pasti akan terus bercucuran. Dan tentu saja suamiku sangat mengerti. Dia hanya tersenyum dan sesekali menggodaku.

"Seharusnya adik yang menyiapkan semua ini," Ujarnya sambil tertawa kecil. Aku tidak menggubris seperti biasa. Pikiranku kacau sekali.

Aku sebenarnya enggan sekali untuk menjawab. Namun aku tak mungkin cemberut terus kan. Karena dalam hitungan kurang dari 24 jam lelakiku itu akan terbang ke Banjarmasin. Menuju salah satu kota kecilnya lagi. Yang aku sendiri tidak tahu itu dimana.

"Adik sebenarnya gak bisa membiarkan uda ke Kalimantan lagi. Kalimantan itu jauh sekali, Yank. Tapi, ya adik gak ada pilihan. Karena tugas uda juga kan?" Aku mencoba menjawab. Sebenarnya aku punya pemikiran sendiri, namun tidak akan kuucapkan padanya. Karena aku tidak ingin suamiku menjadi lepas tanggung jawab atas pekerjaannya. Jadi, aku harus bisa tegar–tentu saja juga kuat dan sanggup untuk LDR-an lagi.

"Uda janji cuma sebentar, Yank." Dia menghampiriku dan menarikku ke dadanya. "Nanti mau uda belikan oleh-oleh apa? Mau kaos bertuliskan Kalimantan lagi? Atau tas tangan yang unik dan lucu? Hmmm?" Kurasakan bibirnya mengecup lembut puncak kepalaku. Kutenggelamkan wajahku di dadanya. Seakan aku tak ingin jarak membawanya.

Jika boleh jujur, aku bahkan tidak memikirkan mengenai oleh-oleh sama sekali. Kenapa? Karena sebenarnya hatiku sangat bimbang. Sumatera dan Kalimantan menurutku sangat jauh. Ribuan kilometer, terpisah oleh laut Jawa dan itu memang jauh banget–Kenapa suamiku tidak menyelesaikan tugas yang di sini saja. Meski ini kali kedua suamiku ke tanah Borneo, setelah tahun lalu dia pernah bertugas di sana–namun tetap saja aku akan merasakan rindu yang membuat sesak oleh terentangnya jarak.

"Untuk oleh-olehnya terserah aja, Yank. Yang penting kerjaan uda di sana lancar, dan cepat balik ke Pekanbaru. Adik selalu menunggu uda di rumah. Adik gak mau terlalu lama merindu."

"InsyaAllah, istri uda sayang. Kerjaan selesai, uda segera balik. Uda juga gak akan betah berlama-lama di sana. Tempat uda di sini, di sisimu. Please, support uda dalam tugas ini. Doakan semuanya lancar yaaa..." Suamiku menjawab sambil mencubit pucuk hidungku.

"Aamiin. Adik akan menunggu, sayang."

"Dan adik janji, jangan cengeng lagi."

Yaa, aku sangat tahu. Bertahun-tahun suamiku berkerja di salah satu perusahaan kontruksi sebagai supervisor, tentu saja tanggung jawabnya tidak selalu di dalam kota. Beberapa kali sudah di dua tahun terakhir, suamiku ditugaskan di daerah-daerah lain di pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Bahkan bisa kukatakan sepanjang 2017 suamiku selalu di luar kota. Dan inilah nikmat ujianku. Allah SWT memberikan ruang bagi kami untuk menikmati rasa rindu.

Kami memang pejuang LDR. Dan cinta kasih kami tidak terkalahkan oleh jarak dan waktu. Karena apa? Bukan karena kami saling tegar, melainkan karena kami saling teguh dalam kesetiaan. Saling berjanji untuk selalu ada di manapun kami berada. Meski aku di sini, dan dia di sana. Raga kami boleh terpisah, sementara hati, kami percayakan semuanya pada sangat Maha pemberi cinta.

Besok pagi suamiku akan berangkat kembali dalam tugasnya. Aku berjanji akan menunggu dalam rinduku. Dengan harapan pekerjaannya tetap lancar dan diberi kemudahan.

Aku tidak ingin menjadi pengeluh. Aku tahu Allah SWT akan menjaganya untukku.

"Sungguh, aku akan taat dalam rindu ini, Yank. Aku mencintaimu. Dan aku akan menunggu..."

***

-RZ; Pekanbaru, 281218-

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post