Raodah.M.Nuh

Seoarang guru TK di TKN Pembina di Lombok Tengah, berkenalan dengan Media Guru bulan April 2017 lalu, perkenalan yang menghadirkan sejuta rasa, rasa semanis mad...

Selengkapnya
Navigasi Web
Dunia ini Sempit (Inaq Part 8)

Dunia ini Sempit (Inaq Part 8)

Ada keinginan yang sudah lama terpendam. Keinginan yang tak pernah berani kuungkapkan kepada siapapun, kepada Papuk juga, lebih-lebih Inaq. Aku tak ingin melihat ada mendung menggantung di sudut wajah indah itu. Aku tak kuat melihat sudut netra nan teduh bak telaga nirwana itu basah. Sungguh ... aku tak ingin mengusik ketenangan jiwa dari orang-orang terkasihku.

Beberapa kali dalam gaungan do'a di ujung tasbih. Aku mengadu pada Tuhan. Sebagaimana yang Inaq pernah ajarkan. Tempat curhat teraman adalah di atas sajadah.

Aku mengadu pada Tuhan. Kenapa hidupku begini rumit. Teman-temanku sering bertanya tentang orang tuaku. Kenapa aku sejak kecil hanya mempunyai Inaq dan Papuq saja, tidak memiliki Amaq seperti mereka semua.

"Amaq tinggal di tempat yang jauh, hingga tak pernah menjengukku." Begitu selalu jawabanku. Jawaban yang sebenarnya akupun tak yakin juga.

"Bapakku juga bekerja di luar negeri, kan jauh juga, tapi sudah beberapa kali pulang. Bahkan bulan Ramadhan besok mau pulang lagi dan mau lebaran di rumah." Begitu selalu sanggahan bermacam-macam dari teman-temanku saat aku menjawab pertanyaan mereka tentang Amaq.

Aku juga pernah curhat begini pada Allah. "Ya Allah, kenapa hidupku begini rumit? Bukannya aku tidak bersyukur mempunyai Inaq dan Papuq dalam hidupku, tapi aku bingung. Sebenarnya Amaq ada dimana? Apakah dia sama sekali tidak menyayangiku, hingga tidak pernah menemui ku? Kenapa begitu ya Allah? Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk bersungguh-sungguh dalam menghafal Al-Qur'an. Aku ingin kelak memberikan hadiah mahkota kebesaran kepada kedua orang tuaku, termasuk Amaq juga. Ya Allah ... Inaq sangat menyayangiku, Papuq juga, tapi apakah aku salah jika aku juga ingin punya Amaq seperti teman-temanku. Teman-teman yang berfoto bersama Ayah Ibunya pada saat acara Uji Publik hafalan Al-Qur'an. Waktu kelas satu aku ikut Uji Publik satu juz, saat itu aku hanya foto dengan Papuq saja. Waktu kelas empat, aku ikut lagi di kelompok tiga juz, tapi lagi-lagi hanya Papuq yang mendampingiku, karena saat itu Inaq masih di luar negeri. Begitu juga saat aku ikut lagi Uji Publik untuk lima juz, Inaq belum juga pulang. Ah ... aku sedih sekali waktu itu ya Allah. Ayah yang namanya selalu tersemat di belakang namaku saat acara Uji Publik dan juga di piagam penghargaan yang sudah tiga kali ku terima, tak juga ku ketahui dimana keberadaannya. Jadi aku harus bagaimana ya Allah, apa yang harus kuperbuat. Tolong aku ya Allah. Berikan kesabaran dan kekuatan padaku dan juga mohon berikan kesehatan untuk Inaq dan Papuq juga, aamiin."

---------------------------------------

"Setelah tamat SD besok, kamu mau sekolah di mana sayang? Suatu malam Inaq mengajakku ngobrol di tempat tidur.

"Kalau Inaq maunya aku sekolah dimana?"

"Loh ... kok malah balik tanya Inaq. Tapi kalau urusan ini Mila serahkan ke Inaq, Inaq mau ngomong begini aja, Inaq ingin putri kesayangan Inaq yang cantik dan Sholehah ini kelak setelah dewasa akan menjadi perhiasan dunia. Kecantikan akhlaknya akan menjadi perbincangan penduduk bumi dan juga penduduk langit."

Begitu selalu, Inaq tidak pernah langsung jawab jika aku tanya apapun. Inaq selalu muter-muter dulu dan ujung-ujungnya aku yang harus jawab. Tapi itu adalah hal yang sangat kurindukan dari Inaq. Seperti saat aku menginap di rumah Bu Indah, ustazah kesayanganku. Saat itu kami privat untuk persiapan uji publik. Ustaz Salman memang pintar mencari sponsor untuk acara kami itu, sehingga acara uji publik hafalan Al-Qur'an murid-muridnya bisa terlaksana dengan meriah di masjid besar tak jauh dari rumah.

"Mila tahu tidak, dulu saat kamu lahir, Inaq sempat bingung mau memberi nama apa. Tiba-tiba muncul di benak Inaq kata mutiara, mungkin karena saat itu Inaq merasa sangat beruntung memiliki kamu, seakan-akan Inaq menemukan sebuah mutiara indah dan sangat berharga. Mutiara yang Inaq dapatkan di tengah terjangan ombak yang hampir menewaskan itu." Aku tertegun mendengar perkataan panjang Inaq. Saat itu aku belum sepenuhnya mengerti, tapi melihat binar indah di mata perempuan terkasih itu, aku seperti merasakan kebahagiaan yang berlimpah.

"Lalu kenapa Inaq tidak memberiku nama Mutiara saja?" Inaq tersenyum manis sekali mendengar pertanyaanku. Lalu dengan penuh kasih ia mengusap kepalaku.

"Dalam pikiran Inaq waktu itu, mutiara yang Inaq miliki itu, kelak akan menjadi perempuan tangguh dan membanggakan, tak ubahnya perempuan-perempuan zaman Rasulullah yang ketangguhannya membuat penduduk langit terkagum-kagum."

Kembali kata-kata Inaq tak sepenuhnya kupahami.

"Sayang ... kamu mau kalau Inaq kisahkan tentang seorang perempuan sahabat Rasul yang Sholehah dan memiliki banyak keutamaan?" Tentu saja aku mengangguk cepat dan bersiap-siap mendengarkan cerita Inaq yang selalu menarik.

Kisah yang sangat menarik itu kunikmati dengan rebahan di pangkuan Inaq. Kali ini Inaq bercerita tentang seorang perempuan sahabat Rasul. Perempuan tangguh itu terkenal dengan gelar Dzatun Nithaqaini, gelar yang juga diberikan Inaq sebagai nama belakangku, Milatri Dzatun Nithaqaini. Perempuan itu adalah Asma' binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, khulafa'urrasyidin yang pertama dan termasuk dalam golongan orang-orang yang pertama masuk Islam.

Asma' binti Abu Bakar merupakan putri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, salah satu Khulafaur Rasyidin juga mertua Nabi Muhammad. Adik Asma' yaitu Aisyah merupakan istri Nabi Muhammad.

Suatu saat, Asma mengunjungi Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, di rumahku tidak terdapat apa pun kecuali sesuatu yang diberikan oleh Zubair. Bolehkah aku menyedekahkan sesuatu yang sedikit itu kepada orang yang mengunjungi rumahku?"

Nabi SAW menjawab, "Berikanlah sesuai kemampuanmu dan jangan menahannya agar tidak ditahan pula suatu pemberian terhadapmu."

Tentang kedermawanan Asma' ini, Abdullah bin Zubair (putranya) berkata, "Tidaklah kulihat dua orang wanita yang lebih dermawan daripada Aisyah dan Asma'. Kedermawanan mereka berbeda. Adapun Aisyah, sesungguhnya dia suka mengumpulkan sesuatu, hingga setelah terkumpul semua, dia pun membagikannya. Sedangkan Asma', dia tidak menyimpan sesuatu untuk besoknya."

Asma' juga turut serta dalam Perang Yarmuk bersama suaminya, Zubair bin Awwam, dan menunjukkan keberaniannya. Dia membawa sebilah belati dalam pasukan Said bin Ash lalu meletakkannya di balik lengan bajunya.

Orang bertanya kepadanya, "Apa yang kau lakukan dengan membawa pisau ini?"

Asma' menjawab, "Jika ada pencuri masuk, maka akan kutusuk perutnya."

Asma’ meriwayatkan sekitar 58 hadits dari Rasulullah SAW, riwayat lain mengatakan 56 hadits. Bukhari dan Muslim sepakat terhadap 14 hadits. Sedangkan 4 hadits lainnya diriwayatkan oleh Bukhari sendirian, sedangkan Muslim juga meriwayatkan sejumlah yang diriwayatkan Bukhari. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa hadits-hadist Asma yang sudah ditakhrij mencapai 22 hadits. Di antara yang telah disepakati Bukhari dan Muslim sebanyak 13 hadits. Selain itu, Bukhari meriwayatkan 5 hadits dan Muslim meriwayatkan 4 hadits.

Asma' juga dikenal sebagai penyair dan pengarang prosa, mempunyai logika berpikir yang baik dan jelas. Ketika suaminya, Zubair bin Awwam, dibunuh oleh Amru bin Jarmuz Al-Mujasyi'i di Wadi As-Siba', sebuah tempat yang berada 5 mil dari Basrah, ketika kembali dari Perang Jamal, Asma' melantunkan sebait syair:

Esok datang Ibnu Jarmuz dengan seekor kuda penuh semangat

Di hari kegembiraan meski tanpa nyanyian

Wahai Amru, bila kau perhatikan, tentu kau dapatkan

Jangan sembrono, hingga menggetarkan hati

Jangan kau biarkan tanganmu sembarangan

Karena ibumu akan kehilanganmu

Bila kau terbunuh, jadilah seorang yang muslim

Semoga terbebas dari siksaan yang telah dijanjikan

Dan ketika putranya, Abdullah bin Zubair, terbunuh ia berujar:

Tiada bagi kekuasaan Allah yang tidak mungkin terjadi

Setelah suatu kaum membunuh

antara zam-zam dan maqam Ibrahim

Mereka terbunuh oleh kekeringan yang mencekik

Membusuk, dengan berbagai penyakit dan kusta

Asma' mempunyai jiwa yang dermawan dan mulia tidak pernah menunda sesuatu hingga esok hari. Pernah suatu ketika dia jatuh sakit, kemudian dia segera membebaskan (memberikan) seluruh harta yang dipunyainya. Dulu dia pernah berkata pada anak-anak dan keluarganya, "Berinfaklah kalian, dan bersedekahlah, dan jangan kau menunda keutamaan. Jika kalian menunda keutamaan, kalian tidak akan pernah mendapatkan keutamaan. Dan jika kalian memberi sedekah, kalian tidak akan kehilangan."

Kata-kata Asma' kepada putranya menunjukkan kepada kita tentang makna-makna yang luhur. Suatu saat putranya, Abdullah, datang menemuinya. Saat itu Asma' dalam keaadan buta dan sudah berusia 100 tahun.

Abdullah berkata kepada ibunya, "Wahai Ibu, bagaimana pendapatmu mengenai orang yang telah meninggalkanku, begitu juga keluargaku."

Asma' berkata, "Jangan biarkan anak-anak kecil Bani Umayyah mempermainkanmu. Hiduplah secara mulia dan matilah secara mulia. Demi Allah, sungguh aku berharap akan terhibur mengenaimu dengan baik."

Kemudian Abdullah keluar dan bertempur hingga ia mati terbunuh. Konon, Al-Hajjaj berkata kepada Asma' setelah Abdullah terbunuh, "Bagaimanakah engkau lihat perbuatanku terhadap putramu?"

Asma' menjawab, "Engkau telah merusak dunianya, namun dia telah merusak akhiratmu." Kalimat yang menggambarkan betapa ridho ia dengan kematian putranya karena yakin akan kehidupan akherat yang jauh lebih baik baginya.

Asma' wafat di Makkah dalam usia 100 tahun, sedang giginya tetap utuh, tidak ada yang tanggal. Ia juga tidak pikun.

Sungguh aku tertegun mendengar cerita dari awal hingga akhir. Saat itu akhirnya aku mengerti, betapa besar harapan Inaq padaku. Harapan untuk melihatku menjadi perempuan Sholehah nan tangguh.

"Terus apa artinya Dzatun Nithaqaini itu Inaq. Bukankah itu gelarnya Asma binti Abu Bakar Ash-shiddiq?"

Itu adalah pertanyaanku saat dengan panjang lebar Inaq menceritakan kisah Asma binti Abu Bakar Ash-shiddiq. Sahabat Rasul yang merupakan khulafa'urrasyidin yang pertama.

Kisah hijrahnya Rasulullah bersama Abu Bakr tak lepas dari bantuan Asma’ binti Abi Bakr Ash Shiddiq, pengemban misi sebagai pembawa bekal dalam hijrah rahasia tersebut. Karena jasanya itu, Rasulullah memberikannya julukan spesial, yakni Dzatun Nithaqain atau pemilik dua ikat pinggang. Berikut kisah beliau hingga menorehkan jasa di kehidupan Rasulullah dan dalam perkembangan Islam.

Di tengah kejaran Kafir Quraisy, Rasulullah pergi berhijrah bersama Abu Bakr Ash Shiddiq. Hijrah ini tentu sudah melalui rencana matang. Bersama sang shahabat, Rasulullah diam-diam meninggalkan Kota Makkah, tepat di malam sekumpulan kafir Quraisy hendak membunuh beliau.

Dua hamba Allah pergi berhijrah tanpa bekal. Bersembunyi di persinggahan di tengah pengejaran kaum kafir Makkah. Abu Bakr telah memberikan tugas spesial kepada salah satu putrinya, Asma’. Saat itu usia Asma sekitar 27 tahun. Asma’ mengemban tugas penting dengan mengirimkan bekal ke tempat rahasia Rasulullah dan Abu Bakr.

Diam-diam, di tengah suasana yang sangat mencekam, Asma menyiapkan bekal yang cukup untuk ayahnya dan Rasulullah hingga keduanya tiba di Madinah. Memupuk keberanian, Asma’ bertekad mengirimkan bekal tersebut hingga tangan ayahanda. Pengintaian kaum kafir tak sedikit pun menggoyahkannya, sebaliknya, ia menjadi lebih waspada dan berhati-hati.

Dengan berani, Asma’ menyelinap keluar dari rumahnya. Namun bawaan bekal yang dibawanya begitu sulit dibawa karena tak terikat. Dengan tangkas, Asma’ segera melepas ikat pinggangnya lalu membelahnya menjadi dua. Satu bagian digunakannya kembali, dan satu bagian lain digunakan untuk mengikat bekal. Itulah sebabnya Rasulullah menggelarinya dengan sebutan Dzatun Nithaqaini yakni Perempuan pemilik dua ikat pinggang.

Ia kemudian pergi dan berusaha tak meninggalkan jejak sedikit pun. Asma’ tahu nyawanya terancam jika kafirin memergokinya. Namun dibanding memikirkan itu, kekhawatiran terhadap Rasulullah dan Abu Bakr lebih besar hingga menghancurkan segala ketakutan. Setelah berjalan cukup jauh, ia pun tiba di tempat yang telah direncanakan.

Asma’ berhasil ke tempat persembunyian Rasulullah dan Abu Bakr. Bekal itu telah tiba dengan selamat. Tak satu pun kaum kafir Quraisy yang mengetahuinya. Bekal dari Asma’ kemudian dibawa Rasulullah dan Abu Bakr untuk melanjutkan perjalanan ke Madinah.

PoV: Aisya

Memasuki gerbang pesantren ini, mengingatkanku akan kenangan puluhan tahun silam.

"Mungkin tidak ya kita bakal ketemu lagi di tempat ini kelak?".

"Bisa saja, Din. Misalnya saat kita jenguk anak-anak kita yang mondok di sini juga." Tawa kami pecah saat Dina Wardiah, teman kami yang paling centil itu menjawab dengan menggambarkan masa depan setelah menikah yang menurut kami saat itu, terlalu dini untuk membicarakannya.

#######

"Ais, Aisya ... ." Ada yang memanggil namaku. Perempuan dengan busana warna gelap itu tersenyum lebar ke arahku.

"Kamu Aisya kan ...?" Aku hanya diam sembari berusaha menerka. Sepertinya aku kenal perempuan berparas cantik ini, tapi siapa?. Memoriku memang sedikit bermasalah sejak operasi Cesar beberapa tahun silam. Namun dalam ragu, akupun berhasil menyibak ingatan yang masih buram.

"Dina ...." Aku memeluknya erat. Ia menyeka sudut matanya. Akupun sangat terharu. Setelah belasan tahun,

kami akhirnya bertemu di tempat ini.

Kebersamaan kami selama enam tahun, menumpuk banyak kisah. Baru kemarin rasanya, saat kami bercengkrama di tempat ini, meski kini tempat ini telah banyak berubah.

"Aku ke sini daftarkan anakku untuk mondok di sini Ais." Tanpa kutanya ia menjelaskan tujuannya ada di sini. Obrolan kamipun bertambah seru, saat kami sadar bahwa untuk beberapa tahun kedepan, tentu kami akan sering bertemu saat sama-sama menjenguk buah hati kami di sini.

Ada hal yang sebenarnya ingin kutanyakan pada Dina. Kulihat ia datang hanya bersama putrinya, kemana ayah dari anaknya. Biasanya untuk hal sepenting ini, kulihat anak-anak lain datang bersama kedua orang tuanya. Ah ... kenapa aku harus memikirkan hal itu, bukankah aku juga datang sendiri dari sejak mendaftar sampai saat orientasi pondok seperti sekarang ini. Bukankah aku memang sengaja menghindari percakapan yang menjurus ke arah sana. Aku tak ingin menanyakan apapun kaitannya dengan rumah tangga teman karibku itu, sperti halnya akupun tak ingin orang lain tahu perihal masa laluku.

"Aida, ini Mila. Dia anak temannya ibu, kami dulu juga pernah mondok di sini." Dina mengenalkan mereka berdua. Lalu tak perlu menunggu waktu lama, mereka berdua sudah akrab dan meninggalkan kami berdua menuju aula depan, dimana calon santri baru diminta untuk kumpul.

Aku senang melihat Mila langsung punya teman baru. Dan akupun juga lebih senang karena setiap kesini, aku bisa janjian sama Dina untuk ketemuan di sini.

Dari jauh kulihat Mila kembali menemuiku yang masih duduk-duduk bersama Dina. Ia meminta sebagian berkasnya yang kemarin masih kurang, untuk diserahkan ke panitia penerimaan santri baru. Aida anaknya juga demikian, lalu merekapun kembali ke Aula untuk mengikuti acara selanjutnya.

&&&&&&

"Tiga hari lagi, kami sudah harus mondok. Berarti Mila harus meninggalkan Inaq."

"Anak kuat tak boleh ragu. Kita kan bisa ketemu dua kali sebulan, saat Inaq jenguk side ke pondok." Kukuatkan hati gadis kecilku, bahwa mondok itu memang berat. Tapi demi sebuah impian, semuanya akan menjadi mudah untuk di lalui.

"Mila janji, kelak akan menghadiahkan mahkota kebanggaan para huffaz untuk Inaq. Untuk itu, biar bisa konsentrasi dengan baik, Mila masuk pondok aja." Begitu katamu waktu Inaq sedikit ragu untuk melepasmu terlalu dini masuk pondok.

"Iya ya, kemarin Inaq yang ragu, Mila yang yakin. Sekarang giliran Inaq sudah yakin untuk mewujudkan impian Mila untuk mondok, kok justru Mila yang ragu ya." Ku usap dengan segenap cinta kepalanya yang ada di pangkuanku. Aku berdo'a semoga Allah memberikan keteguhan hati yang sama pada kami untuk meraih sebuah impian yang sama.

"Oh ya Inaq, ternyata Aida itu sama seperti Mila, ia juga tidak ...." Dengan sedikit gugup, Mila menutup mulutnya dengan tangan. Hal itu memancing rasa penasaranku. Sebenarnya ia mau bicara apa?.

"Sama seperti Mila dalam hal apa nak? Kok ngomongnya setengah-setengah begitu?"

"Aida itu juga tidak punya ayah di rumahnya." Dengan ragu ia melanjutkan kalimatnya. Entah mengapa, pembicaraan soal ayah, selalu dianggap sensitif olehnya. Padahal aku mau lebih terbuka dalam hal ini, mengingat umurnya yang cukup untuk menerima kenyataan yang sebenarnya.

"Inaq tahu tidak?, ternyata ayah Mila sama ayahnya Aida mempunyai nama yang sama persis."

Kalimat terakhir dari mulutnya, seperti membungkam ku. Apa arti semua ini, mungkinkah ... ataukah ini hanya kebetulan saja.

"Inaq, kenapa semua Ayah yang memiliki nama Abdul Ahad itu selalu meninggalkan anaknya tanpa kabar?"

Pertanyaannya kembali mengejutkanku.

Bersambung ...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

06 Apr
Balas

Alhamdulillah, terimakasih sudah mampir pak. Salam literasi

06 Apr



search

New Post