Raodah.M.Nuh

Seoarang guru TK di TKN Pembina di Lombok Tengah, berkenalan dengan Media Guru bulan April 2017 lalu, perkenalan yang menghadirkan sejuta rasa, rasa semanis mad...

Selengkapnya
Navigasi Web
Lelaki itu (Part of Inaq)

Lelaki itu (Part of Inaq)

Menemuimu duhai surgaku, lalu kita berpelukan dengan perantara ayat demi ayat surah Yasin. Melepas rindu di pangkuanmu, dengan perantara zikir-zikir yang mengalun pelan dan timbul tenggelam dalam genangan air mata.

Gundukan tanah ini masih basah, sebasah gundukan rindu yang takkan pernah mengering. Inaq ... Jika protes atas pergimu boleh kulakukan, sudah tentu takkan diam mulut ini mengigau tak hendak melepasmu pergi. Inaq ... Kenapa tak kau tunggu sejenak, sampai simpul-simpul rumit hidupku berhasil kuurai satu persatu. Kenapa tak kau temani aku mengurainya hingga melapangnya sesak yang ada di dada ini. Belum sempat kuurai tentang keberadaan ayah yang sudah saatnya kubutuhkan. Belum sempat kuurai tentang perubahan sikap Aida sejak Ustaz Zayyad mengabarkan mau datang bertamu menemui Inaq, belum sempat kuurai tentang perhatian Ustaz Salman di hari-hari terakhir kepergianmu, juga tentang tangisnya yang pecah saat beliau ikut menggotong keranda mayatmu menuju pusara. Aahhh ... Kenapa begitu banyak tanya yang tak tahu harus kularungkan kemana.

Begitu tenggelamnya aku dalam kubangan rasa yang entah, hingga tak menyadari ada sepasang mata sembab yang sedari tadi tak mengalihkan pandangan padaku.

Laki-laki itu, ini bukan kali yang pertama kulihat dia di area pemakaman ini. Kemarin aku berpapasan dengannya di sekitar sini, sepertinya baru saja selesai ziarah makam dan secara kebetulan, kudapati kuburan Inaq dalam kondisi basah, seperti baru saja dituangkan air di atas gundukan tanahnya. Itu artinya ada orang yang baru saja ada yang datang berziarah ke kuburan Inaq. Mungkin tadi wa' Nur yang kesini, begitu pikirku saat itu. Di waktu yang berbeda kulihat laki-laki itu berada di jarak sekitar dua langkah dari gundukan yang melingkupi raga Inaq itu. Apakah ini sebuah kebetulan, kalau laki-laki itu sudah mengunjungi kuburan sanak saudaranya yang ada di dekat kuburan Inaq? Bukan mengunjungi kuburan Inaq seperti dugaanku? Tapi lagi-lagi kulihat gundukan tanah itu seperti baru saja disirami air dan kulihat laki-laki yang berjalannya buru-buru menjauh dari kuburan inaq itu, menenteng botol air mineral di tangannya. Aahhh ... Bisa saja semua ini kebetulan, aku sedang tidak ada keinginan untuk memikirkan apapun, pikiranku kini dipenuhi oleh kenangan demi kenangan bersama orang terkasih yang kini raganya sudah berada di bawah tanah.

"Assalamualaikum, Zatunnitaqain."

Aku terkejut dengan ucapan salam yang juga menyertai menyebut namaku dengan panggilan tak biasa. Zatunnitaqain, jarang sekali ada orang yang memanggilku dengan sebutan itu. Mila adalah panggilan sehari-hariku, Inaq biasanya memanggil namaku dengan nama lengkap pada saat-saat tertentu, misalnya saat beliau akan berbicara tentang hal penting, yang beliau khawatirkan aku tidak akan menyimaknya dengan serius.

Aku sangat hafal suara itu, makanya sebelum menengok aku sudah pastikan itu adalah beliau, karena hanya beliau dan Inaq yang sering memanggilku dengan menyebut akhiran namaku atau nama lengkapku.

Ustaz Salman, beliau meminta ijin duduk di sampingku dengan memberi isyarat. Aku mengangguk dengan takzim, tapi tak meraih tangannya untuk kucium bolak balik seperti dulu lagi. Dulu, setelah tangannya kucium bolak balik, aku menerima usapan di kepalaku. Kunikmati dengan syukur, usapan dari tangan yang sangat sering tengadah memohonkan do'a kebaikan untuk kami murid-muridnya. Tapi tangan itu tak lagi leluasa kucium, aku perempuan yang sudah baligh dan beliau seorang laki-laki yg taat.

Tanpa menoleh lagi ke arahku, beliau memulai zikir panjangnya. Do'a-do'a panjang untuk mayit, lirih kudengar dari lisan fasihnya. Laki-laki empat puluh tahunan yang masih melajang itu, masih belum juga beranjak dari tempatnya, meski sudah hampir sejam ia duduk bersamaku disamping gundukan tanah lembab yang sudah beberapa hari, memeluk raga perempuan kekasih hatiku.

Beliau menangis? Aahhh ... mungkin saja aku salah lihat, tapi pemandangan ini bukan yang pertamakali kulihat. Mata teduh itu selalu murung beberapa hari terakhir ini. Basah ... iya, kulihat mata itu basah untuk yang kedua kalinya. Kemarin dihari kepergian Inaq, dan kini di samping gundukan tanah lembab ini. Pemandangan ini semakin menambah jumlah simpul rumit yang ingin kuurai. Namun, perlukah kuurai simpul itu? Jika yang kutahu pemiliknya saja tak pernah ingin mengurainya, bahkan hingga raganya berpindah ke bawah tanah. Simpul rumit biarlah menjadi motif-motif yang mengindahi selembar kain kehidupan ini. Biar saja, biar kubelajar menatanya, meski kini masih tak beraturan, kuyakin suatu saat akan menjadi indah, jika tangan ini tak bosan tengadah memohon pertolongan dari Sang Maha Penolong.

&&&&&&&&&&

"Tolong jangan memintaku pergi lagi, Milatri Zatunnitaqain. Izinkan, jika namamu yang kerap menjadi bait-bait pinta yang kulangitkan di sela-sela gerimis." Kudengarkan dengan hati yang remuk redam, voice note yang berada di antara barisan chat yang ada di aplikasi hijau bergambar telefon itu. Aku terduduk, menjatuhkan pantat di atas kursi kayu. Kursi kayu yang sejak lama membersamai perempuan-perempuan tangguh penopang lemahku, Inaq dan papuk.

Ustaz Zayyad, dia belum menyerah rupanya, setelah aku mengabaikan pesannya selama puluhan hari. Aku juga tak menemuinya saat ia datang bertamu dan hanya ditemui papuk di teras depan. Lalu iapun beberapa kali ikut di acara tahlilan atas kepergian Inaq. Aaaahhh ... kepalaku terasa masih berat.

"Aku belum tahu keberadaan ayah, ustaz." Begitu kilahku saat ustaz Zayyad memintaku menjawab beberapa pertanyaannya saat ia mengutarakan maksud hatinya.

"Itu bukan jawaban yang kuinginkan," lemah suaranya sambil memainkan jemarinya.

"Tapi aku tidak ingin orang-orang berpikiran negatif tentangku dan juga Inaq, jangan sampai mereka beranggapan bahwa dugaan mereka benar. Aku adalah anak yang lahir dari perkawinan sah orang tuaku. Jelas-jelas bahwa antara tanggal pernikahan orang tuaku dan tanggal lahirku berjarak hampir setahun. Itu artinya aku berhak dinikahkan oleh ayah kandungku sendiri." Serak dan hampir menumpahkan tangis. Aku benar-benar tak kuasa menahan diri untuk berlapang dada saat membicarakan hal itu.

Bangun, masuk ke dalam, membenamkan wajah di atas bantal. Tak sopan, mungkin saja, itu tak sopan. Ustaz Zayyad masih duduk bersama papuk. Tapi tak ada yang bisa kulakukan, aku juga tak mungkin menumpahkan tangis di depan ustaz Zayyad yang sudah beberapa kali sejak kepergian Inaq, datang kepada papuk untuk membicarakan keinginannya menikahiku.

Langit-langit kamar ini kerap kali menerima takdirnya sebagai pendengar setiaku. Menampung segala gundahku, tapi tak jarang juga menjadi saksi lantunan panjang do'aku yang tak letih melangit.

"Dia sudah pulang, ayo pergi wuduk dulu ... " Usapan pelan penuh kasih, tanpa banyak bicara. Sedikit berbeda dengan Inaq. Ceramah panjang lebar saat aku membutuhkan itu, kerap kunikmati dari mulut mulia Inaq. Sedangkan papuk, kadang lebih banyak diam sambil mengelus pucuk kepalaku lalu menumpahkan kasih sayangnya padaku dengan lebih banyak diam dan menjadi pendengarku.

Air wuduk menyentuh kulit wajahku. Sejuk hingga ke dinding hati. Dua raka'at solat Sunnah wuduk, dilengkapi dengan ganjilnya raka'at witir, cukup menjadi pengantar tidurku setelah letih.

Rupanya aku tertidur dalam kegamangan yang sudah mereda. Bagaimana tidak, hampir seminggu aku tak pernah mampu memejamkan mata. Mata hanya terpejam beberapa belas menit, lalu terjaga kadang sampai pagi. Bagaimana bisa aku terlelap, sementara kenangan bersama Inaq terus berpijar di langit jiwa. Namun, rupanya mata ini sudah kembali bersahabat dengan malam, menerima kehadirannya untuk mendekap pekat agar nyenyak jiwa-jiwa yang tengah nelangsa sekalipun.

Wirid ba'da subuh kuakhiri, kuraih mushaf merah jambu. Aaaahhh ... bayangan Inaq kembali menemuiku. Indah suara dan qiro'ah yang selalu menyemangati muroja'ahku. Inaq, aku benar-benar kagum akan indah bacaan Qur'anmu.

Satu juz semakin membuatku tenang. Kuambil gawaiku setelah menyimpan sampul merah jambu itu di rak buku atas.

Teringat bahwa aku jarang sekali menjawab chat dari ustaz Zayyad, kali ini aku mencoba mengetik beberapa kalimat, berharap semoga ia tak marah dengan kecuekanku selama ini. Beberapa kalimat manis namun tetap mewakili gundah yang masih tersisa di dinding jiwa.

Pagi ...

Tolong sampaikan pada embun

Aku masih disini

Merawat tunas-tunas itu

Mari langitkan pinta

Kiranya tunas-tunas itu mengembang

Lalu hadiahi kita warna warni selengkung pelangi

Namun ...

Jika esok ...

Tunas itu Melayu

Tak hendak membunga di taman hati kita

Usah risau ...

Karena Dialah yang Maha tahu butuhmu dan juga harapku ...

"Milatri Zatunnitaqain"

Langsung centang dua, tapi mungkin penerimanya masih menikmati wirid subuhnya. Kubiarkan saja, biarkan jika deretan diksi itu akan dibaca nanti siang, sore, malam atau mungkin besok pagi, saat embun kembali lagi dan memberi hadiah segar pada dedaun pagi.

Bersambung ...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post