“Tong tong papatong....indung dia gagandongan!” Begitu kalimat yang diucapkan berulang-ulang saat berusaha menangkap capung (Sunda = papatong). Inilah sebagian keriangan masa bocah, usia SD di kampung. Jangan tanya, sudah tinggal di kota? Masih tinggal di kampung yang sama dengan nuansa yang sudah berbeda. Sawah dan huma masih ada, tetapi sudah jarang melihat capung banyak beterbangan.. Apakah ini penyebab terlalu masifnya penggunan bahan kimia dalam pengolahan tanah? Entahlah. Apakah harus ke Bantimurung ya untuk menikmati kembali sensasi melihat banyaknya capung beterbangan?

Keseruan menangkap capung jangan ditanya lagi. Beragam alasan beradu banyak menangkap capung. Pernahkah anda menyantap daging capung panggang? Sungguh keterlaluan kalau mengingatnya. Masa kecil sebagai wong ndeso, menyantap daging capung yang sudah dipanggang seolah tambahan protein gratis. Lagi dan lagi. Soal rasa ya seperti rasa udang goreng. Ah, capung kecil yang teraniaya. Jika sekarang seperti demikian, sangat nyata “speechless.” Walau bocah kampung masih tetap banyak, tetapi mereka sudah jadi bocah milenia. Ketertarikan mereka tidak lagi dengan dinamika seru kisah capung di mata bocah. Sungguh sudah beda zaman. Orang dewasa pun yang bernostalgia dengan cerita capung, hanya ada dalam lagu daerah masing-masing. Seperti dalam lagu Sunda, Jawa Barat, ada lagu yang berjudul “papatong koneng eunteup dina regang.” Masihkah dapat diilihat dengan mudah “Capung kuning hinggap di atas ranting?”