Rimbunnya taman beringin cinta kampus tidak bisa menyejukkan hati dan kepala Wenny. Ingatannya masih melambung tentang obrolan dengan sang pujaan hati. Tepatnya calon pujaan hati kemaren sore. “Ah!” gerutunya sambil melabuhkan tubuhnya di bangku taman. Dahaga menggila karena sedang kemarau di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Dikeluarkannya botol air mineral dari dalam tas punggungnya. Glek...glek...glek.... Hampir setengah botol isinya berpindah ke perutnya.

“Wenny.... Abang peduli sama kamu. Maunya abang, kita bisa lebih serius dari ini.” “Maksud abang apa? Pacaran? Wenny ga kepikiran tuh!” Alvin yang dipanggil abang malah menoyor kepala Wenny. “Nih, anak ga peka banget!” batin Alvin. Yang ditoyor malah sibuk dengan ponselnya. Padahal, didalam hatinya sungguh tidak karuan mendengarnya. Peka sih, tapi..... “Wen! Tolong taruh dulu ponselnya.” Tegur Alvin. “Hah? Wenny nyimak ini juga.” Sahut Wenny masih dengan ekspresi bego, kali ini wajahnya sudah menatap lurus Alvin. “Wenny sudah ngerti maksud abang. Apa abang sudah pernah ngobrolin ini dengan mamah abang?” Yang ditanya malah bengong. Wenny menebak, pasti belum pernah. Wenny gak mau terlibat incest. Kasih asmara sedarah. Mereka sepupuan. Apalagi kalau sampai ke jenjang mahligai rumah tangga. Wenny tidak bisa membayangkan jika keturunannya ada yang memiliki cacat bawaan. Ih, ngeri!

“Wen!” seseorang menepuk pundaknya. Wenny terlonjak. Kaget pasti. Pikirannya masih kalut. Eh, abang Alvin. Bikin mules. Belum sempet makan siang, keburu ngelamun. “Jangan bahas itu lagi, bang. Please....” pinta Wenny memelas. Tetiba perutnya sakit luar biasa. Asam lambung meningkat.  Wajahnya memucat berkeringat. Ditahannya sakit itu hingga dia tergolek pingsan. Tetapi pikirannya masih melayang. “Kalau sajaa....”