Ratih Handayaningrat

Saya Ratih Handayaningrat, pengajar pada SMPN 1 Baros kab Serang, Banten, berdomisili di Pandeglang, Banten. Pernah mengikuti kegiatan Sagusabu Banten I. ...

Selengkapnya
Navigasi Web

TEMBOK (Renungan menjelang Pemilukada serentak)

Masih ingat dengan tembok Berlin? Atau tembok besar (great wall) di China? Dua-duanya adalah jenis tembok secara harfiah ada wujudnya, seperti tembok berlapiskan adukan semen pada umumnya. Dengan tembok beton rumah sudah pasti akan memberikan kenyamanan kepada penghuninya untuk bernaung. Tembok yang disebut dinding pada rumah, melindungi diri kita dari tontonan orang lain saat kita berpakaian, atau saat kita dalam keadaan "nude."

Dengan dinding berupa tembok penghalang, kita bisa bebas jebar jebur di kamar mandi tanpa risi. Dengan dinding tembok, bisa menjadi pembeda ruangan anak putera dan puteri di rumah. Dengan dinding tembok, terpasang jarak dan ruang berbeda antara pimpinan kantor dan staf. Dengan dinding tembok ada sekat pemisahan antarkelas di sekolah. Kesemua hal ini sangat berbeda dengan kedua tembok fenomenal di dunia tersebut. Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur, merupakan penanda hebatnya perang dingin antara blok Barat dan Timur, antara NATO dan Pakta Warsawa. Begitu juga dengan tembok besar China yang menjadi penanda eksistensi kekaisaran yang berjaya di negara Panda. Esensi kedua tembok itu sama, penuh darah dan air mata, juga kebencian bercampur angkara murka. Tembok Berlin menjadi saksi bisu betapa ribuan orang meregang nyawa karenanya. Pada tembok China yang mengular 8 kali panjang pulau Jawa, jutaan nyawa melayang untuk mendirikannya.

Adakah tembok lain yang lebih dahsyat dari tembok beton tersebut? Ternyata banyak. Perang Dunia I dan Perang Dunia II beserta ratusan bahkan ribuan perang yang terjadi di dunia, bisa jadi diakibatkan oleh tembok hawa nafsu dan keserakahan manusia. Bentuknya adalah hasrat untuk berkuasa dan menjadi pemenang dalam pertarungan yang berdarah-darah. Itupun darah rakyat yang dipaksa atau terpaksa turun ke medan peperangan. Darah kawula alit, darah wong cilik. Yang seringnya tidak punya pilihan karena bila dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Sementara sang penguasa hanya menonton dari kejauhan.

Tembok birokrasi adalah juga jenis tembok dahsyat yang seringnya tidak bisa dihindari. Birokrasi yang berbelit menyebabkan orang melakukan jalan pintas untuk melakukan dan mendapatkan sesuatu. Karena tembok ini timbulah suap dan pungli, bahasa kerennya gratifikasi. Betapa tidak? Sebagai contoh untuk mendapatkan e_ktp. Jika mengikuti standar normal, prosesnya lama, berbulan-bulan dengan alasan blangkonya habis. Eh, begitu menyelipkan rupiah dengan nominal tertentu, sehari jadi juga tuh benda. Walaupun tidak semua tempat melakukan hal demikian. Karena lembaga rasuah sangat jeli matanya untuk mengulik kegiatan yang bertajuk gratifikasi. Dan masih banyak contoh kausa prima karena tembok birokrasi.

Tembok kemiskinan juga dahsyat efeknya. Hal seperti ini tidak seharusnya terjadi di negara semakmur NKRI mengingat melimpahnya sumberdaya alam yang dimiliki. Semangat gotong royong, kebersamaan, dan kepedulian untuk berbagi bisa menjadi jalan untuk mengatasi kemiskinan. Hal ini akan selaras jika semangat ini bukan hanya slogan belaka dalam masa kampanye. Jangan hanya slogan yang digemborkan untuk dilakukan oleh rakyat, tetapi harus menjadi jiwa dari para pembesar negara. Sudah seharusnya penduduk negeri ini, terutama pembesar negeri ini menganut semboyan yang digaungkan oleh Ki Hajar Dewantara : ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Jangan hanya kaum guru yang harus melaksanakan jargon ini. Jika sungguh dijiwai, kemiskinan akan hilang perlahan. Karena kalau tidak segera diatasi, akan berdampak pada banyak aspek kehidupan. Di bidang pendidikan akan semakin banyak anak putus sekolah. Walau sudah banyak aneka kartu untuk anak negeri, tetapi banyak yang tidak tepat sasaran. Anak negeri yang benar-benar membutuhkan bantuan finansial lewat aneka kartu tersebut, justeru tidak mendapatkannya. Untouchable, tidak tesentuh! Seperti terasing di tanahnya sendiri. Masih sangat banyak efek domino yang muncul akibat adanya tembok kemiskinan.

Masih banyak tembok lain yang bisa menjadi renungan untuk kita lebih memaknai hidup. Ada tembok moral, tembok kebangsaan, tembok jati diri, tembok pencitraan, tembok egosentris, tembok hedonisme, dan lain-lain. Apakah kita akan menambah jenis tembok baru yang tidak terlihat oleh mata? Ataukah kita akan menghapus tembok-tembok yang esensinya negatif? Selagi masih bisa memilih, mari kita hapus perlahan tembok yang "unfaedah." Maaf jika salah kaprah istilah. Semoga bermanfaat. Barakallah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post