Ratna Mizan

Adalah guru Bahasa Inggris sekaligus Kepala Perpustakaan di MAN Kota Blitar, Jawa Timur. Alumni Magister Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Malang tah...

Selengkapnya
Navigasi Web
Gara-Gara Dasi

Gara-Gara Dasi

Setiap pagi (sebelum pandemi) seperti biasa aku dan beberapa guru melaksanakan tugas sebagai tim tatib madrasah. Menjelang limabelas menit bel masuk sekolah, kami akan berjajar menyambut kedatangan para siswa tercinta. Menertibkan seragam dan atribut madrasah yang mereka kenakan. Memastikan mereka tampil rapi maksimal sesuai aturan yang berlaku. Selain itu kami, para tim tatib wajib menunjukkan senyum, sapa dan menerima salam mereka. Sampai ketika bel masuk berbunyi. kami menertibkan siswa siswi yang terlambat datang, serta memberikan hukuman poin jika memang diperlukan. Kegiatan rutin yang cukup menguras tenaga dan membutuhkan kesabaran ekstra.

Pagi itu aku melihat salah satu siswa melangkah ke arahku. Aku hentikan sejenak sambil bertanya, "Dimana dasimu, Cah Bagus? Ayo, segera dipakai." Rizal Hikmawan, nama siswa tersebut, serta merta bersuara, "Mom, dasiku hilang. Trus saya harus bagaimana? Jangan berikan hukuman nggih, please... ." Aku terdiam sejenak, siswa tersebut biasa bertingkah jahil seperti itu di dalam kelas bahasa Inggrisku. Kemudian aku berkata lagi, "Ya sebagai konsekuensinya kamu harus membeli dasi lagi di koperasi madrasah." Dia menjawab lagi, "Ya, Allah Mom..., ndak punya uang lhoo... ." Aku menghentikan keluh kesahnya, "Hish...sudah ayo jalan lagi, pokoknya seperti itu peraturannya." Dia mengatakan sesuatu sambil menoleh ke arahku. Aku fokus pada para siswa siswi di hadapaku, tidak memandang Rizal lagi. Setelah kejadian itu, aku melanjutkan aktivitas pagiku di madrasah seperti biasa. Hingga saat aistirahat jam pertama tiba. Aku merasa haus, berniat mampir ke koperasi madrasah untuk membeli sebotol minuman. Petugas koperasi mengatakan sesuatu yang membuatku gemas sekaligus geli. "Bu Ratna, tadi ada siswa yang bernama Rizal membeli dasi, tapi tidak membawa uang. Trus katanya akan dibayarkan oleh panjenengan." Aku melongo sejenak, kemudian tertawa geli. "Oke deh mbak, saya bayarnya. Berapa harganya mbak?" Setelah membayar dasi tersebut aku menuju ruang guru sambil tersenyum sendiri.

Esok harinya, saat aku mengajar di kelasnya Rizal, aku mengkonfirmasi hal tersebut. Dia mengaku sambil memasang wajah memelas. Katanya, "Lha tadi saya sudah bilang mboten punya uang lho, Mom...trus panjenengan bilangnya pokoknya harus punya dasi . Trus tadi sambil berjalan saya sudah bertanya lagi berarti yang memebelikan bu Ratna nggih ? Karena panjenengan diam, saya berpikir berarti panjenengan setuju." Teman-temannya tertawa sambil saling berkomentar lucu. Aku hanya tersenyum. Yang aku ingat, beberapa bulan sesudahnya Rizal sempat memastikan lagi apakah dasi tersebut sudah kubayar atau belum. Setelah mengetahui bahwa dasi itu sudah halal baginya. Dia tertawa bahagia sambil berterima kasih kepadaku. Sejujurnya, dalam hatiku aku juga tertawa. Yang aku herankan, begitu jauh perbedaan sikap siswa jaman now dengan siswa di masaku dulu. Seingatku tidak akan pernah ada yang melakukan hal serupa kepada bapak atau ibu guru mereka di jamanku. Kalau ada yang mengatakan betul, bisa jadi kita seusia.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post