Susi Respati Setyorini

Guru kimia yang jatuh cinta dengan tulis menulis. Ingin menulis apa aja dan di mana aja....

Selengkapnya
Navigasi Web
Bulan Tanpa Ramadan
by Canva

Bulan Tanpa Ramadan

#day07

Tiga hari lagi Ramadan berumur 27 hari. Itu artinya, Syawal segera datang menggantikan Ramadan. Buat sebagian orang, Ramadan begitu dinanti kehadirannya. Dengan segenap keberkahan di dalamnya, segala amalan berbuah pahala. Namun, tidak buatku. Setiap Ramadan aku seperti masuk ke sebuah keadaan tidak mengenakkan. Bukan persoalan ibadahnya, tetapi suasananya. Aku bahkan benci kondisi itu. Jeritan kekecewaanku pada Sang Penguasa hidup bahkan menetap hampir tiga tahun lamanya. Entahlah, aku begitu membenci takdirku saat itu.

*

Namaku Alikah. Secara postur tubuh, aku diberi kelebihan. Tinggi rata-rata wanita, kulit putih mulus. Tiga tahun lalu rambutku masih tergerai. Hitam lebat sebahu. Aku mempertahankan warna hitam tanpa pernah punya keinginan gonta-ganti warna rambut seperti Maida.

Awal Ramadan aku menukar pakaian menjadi lebih tertutup. Menutup kepala dengan kerudung. Aku, Maida, Sania, dan Namira awalnya sepakat bertahan berpakaian layaknya muslimah sebulan penuh. Siapa yang bertahan, dialah pemenangnya.

Aku sendiri–saat itu–tidak mengerti dengan olah pikir teman-temanku membuat semacam challenge berkerudung 30 hari. Kegilaan itu berawal dari cerita mengenai wanita idaman Ikram yang dibawa Maida. Salah satunya berkerudung.

“Gimana kalau kita buat tantangan,” ucapnya antusias.

“Tantangannya?” Sania menimpali.

“Kita berempat, pakai jilbab selama puasa. Siapa yang bertahan dia pemenang.” Maida tersenyum. Matanya mengamati wajahku dan yang lain.

“Hah? Ogah! Rambutku rusak sebulan ditutup.”

“Iya. Nggak ada tantangan lain yang lebih enak gitu?”

“Woi! Yang namanya tantangan ya berat dan gak enak!” terang Maida.

“Kalau udah pakai kerudung, apa jamin Kak Ikram ngelirik kita?”

“Kita dekati dia, dong.”

Maida lalu menyusun rencana bagaimana selama Ramadan mereka berpakaian dan melakukan kegiatan yang berdekatan dengan Ikram. Seperti salat Tarawih dan Tadarus.

What? Sholat di rumah aja bolong-bolong, Mai, sok-sokan mau Taraweh.”

“Bener! Yang ada Ikram ilfeel ngelihat kita berempat berubah.”

Yang lain menimpali ucapan Namira dengan gelak tawa berderai. Sepanjang sore sehari sebelum Ramadan, Sania dan Namira berkelit dan tidak bersedia mengikuti tantangan yang menurutnya amat berat. Tersisa aku dan Maida. Setelah berpikir panjang, akhirnya aku menyanggupi.

Esok hari, penampilanku akan berubah. Bukan lagi Alika yang rambut hitamnya terurai bebas. Selama sebulan ke depan, keindahannya akan disembunyikan. Selama itu pula, aku akan menanggalkan celana-celana jin ketat yang kerap kupakai. Pakaianku lebih longgar, memakai rok atau gamis, bukan pakaian yang mirip laki-laki seperti biasanya.

Apakah aku bertahan?

Pasti. Bukan Alika namanya jika tidak sanggup menjalani misi rahasia ini. Ya, belakangan aku lebih setuju menyebut challenge ini sebagai sebuah misi. Misi pendekatan. Mendekati Ikram dan mencoba mengenal lingkungannya. Ketua Senat Fakultas Geografi ini bukan hanya bertampang menawan, tetapi juga good attitude.

*

Sore ini kampus mengadakan kegiatan berbagi takjil di bundaran. Aku sudah bersiap sejam yang lalu. Datang lebih awal dari waktu kumpul yang disepakati.

“Al? Udah dari tadi?” sapanya akrab.

Aku mengangguk. “Aku bisa bantu apa, Kak?”

Ikram tampak berpikir sejenak sambil menoleh ke sekitar ruangan. “Emm, aku mau angkat meja ini ke depan sana. Cuma ….”

“Cuma apa, Kak?”

“Berat. Kamu nggak akan kuat.”

“Kan berdua, Kak. Bukannya apa-apa yang dilakukan bersama bisa lebih ringan?” Ucapanku sedikit diplomatis.

Dia menjentikkan jarinya. “Kamu cerdas, Al. Yakin kuat, ya?”

Aku melayangkan senyuman. Entah kenapa setiap dekat dengannya, aku makin menjadi pendiam. Grogi? Ah, sejak kapan Alika menjadi tidak percaya diri begini?

Aku dengan sangat mudah berbaur dengan lingkungan Ikram. Berdampingan dengannya membuatku nyaman. Saat Ikram memberikan sedikit saja perhatiannya, jantungku berdebar lebih kencang. Bahagia sudah pasti. Terlebih lagi saat dia mengulurkan segelas teh hangat untukku.

“Al, batalin dulu puasamu. Nih, teh hangat dan ini kurma.”

Aku menatapnya hampir tak berkedip. Sikapnya serupa sanjungan buatku. Aku kehilangan kesadaran beberapa saat. Sebelum jentikan jarinya tepat di depan wajahku berbunyi. Aku terkesiap.

“Oph, ya, Kak. Terima kasih.”

“Kenapa melamun?” tanya Ikram.

Kalimat tanya itu kubiarkan tanpa jawab, aku bertanya hal lain padanya. “Lebaran pulang ke mana, Kak?” tanyaku.

“Ke Lampung. Kamu sendiri ke mana? Maaf, ya, kalau selama kegiatan kita jarang ngobrol.”

Ikram menemaniku makan takjil di bangku taman bersama panitia lain.

“Aku di sini aja. Nggak ke mana-mana, Kak.”

“Orang tua di sini?”

Kembali aku mengangguk. Aku melanjutkan obrolan, tentang apa saja. Terakhir kali dia berucap, “Al, pertahankan hijabmu. Kamu cantik seperti ini.”

*

Aku tidak lagi mengingat challenge yang Maida buat karena pada akhirnya, akulah pemenangnya. Aku mampu bertahan 30 tahun dengan pakaian tertutup. Terlebih lagi, lingkungan baru itu sangat mendukung untuk mempertahankan caraku berpakaian. Mereka sama sekali tidak mencium kepura-puraan di wajahku kala itu. Apalagi ketika Ikram memintaku untuk terus berhijab.

Aku mengira Ikram benar-benar menyukaiku. Besar harapan dalam diri, Tuhan akan memberikan pria berhati malaikat itu padaku. Namun, itu hanya angan-angan.

Kecewa? Sudah pasti.

Setiap Ramadan, potongan-potongan ingatan kembali muncul. Muncul sebagai kenangan yang terpantik oleh rasa harap yang berlebihan. Ramadan bagiku seperti bulan dengan kenangan terburuk. Bulan yang mencetuskan kekecewaan tiada tara. Jika boleh ada, biarlah bulan tanpa Ramadan.

Tiga hari lagi Ramadan berakhir. Ada kelegaan jika Ramadan pergi. Pergi dengan membawa sejuta rasa kecewa. Melumpuhkan segala daya ingatku terhadap satu nama.

Aku bertahan hampir tiga tahun lamanya dengan pemikiran yang satu: Tuhan tidak adil pada usahaku. Tuhan merenggut harapanku. Ikram tidak menitipkan hatinya padaku, melainkan pada gadis yang setia menunggunya di Lampung

Kenyataannya Ikram memang bukan untukku. Jodohku adalah, sebagaimana aku.(*)

Airmolek, 2 Mei 2021

#marathon_kelascerpen2

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren cerpennya.

02 May
Balas

Keren cerpennya.

02 May
Balas

Hi bu Nurr yang juga keren

02 May

Hi bu Nurr yang juga keren

02 May

Kereen bunda cerpenya....kenangan dengan Ikram selalu muncul setiap ramadan...salam kenal dan salam literasi...izin follow

02 May
Balas

Monggo dengan senang hati. terima kasih sudh singgah di lapak saya.

02 May



search

New Post