Susi Respati Setyorini

Guru kimia yang jatuh cinta dengan tulis menulis. Ingin menulis apa aja dan di mana aja....

Selengkapnya
Navigasi Web
Dua Kubah yang Berbeda
https://www.youtube.com/watch?v=M_u6D4kpYPY

Dua Kubah yang Berbeda

Seharusnya aku tak perlu berdiri di dekat jendela kalau tidak ingin melihatmu pergi pagi itu. Aku juga tak perlu terbangun malam sebelumnya demi mendengar kamu dan teman-temanmu memainkan gitar dan bernyanyi lagu Selamat Jalan Kekasih.

Kamu pasti sedang menyindir aku. Berusaha menyampaikan pesan bahwa kamu ingin mengucap kata selamat tinggal. Aku yakin itu. Sama yakinnya kamu sengaja pindah untuk menghindar dariku.

Seperti apa sebenarnya hubungan kita hingga kamu perlu pergi? Kamu yang mengalah atau masyarakat yang kolot menanggapi pertemanan kita?

Teman?

Benarkah hanya ada sebutan ‘teman’ di antara kita? Teman seprofesi, yang dipertemukan pada sebuah kondisi. Pengabdian. Barangkali karena ‘profesi’ ini hingga hubungan kita tak layak lebih dari sekadar teman seprofesi.

Aku dan kamu, atau kita, sedang diberi pilihan. Bertahan atau pergi. Hanya saja kamu terlalu cepat memilih. Memilih untuk pergi.

***

“Ke mana kita hari ini, Bang?”

“Aih, sudah lancar panggil aku ‘Bang’, ya?”

“Loh, tapi Abang yang minta. Di luar kerja, kita berabang adek saja,” jawabku mencoba menjelaskan.

“Adek ketemu gede?” Bang Maro tertawa lebar. Matanya menyipit.

Ah, ini salahnya kalau aku memulai dengan kata yang salah. Bang Maro pandai mengalihkannya dan membuatku tersipu. Seperti saat ini. Aku mendadak salah tingkah hanya dengan gurauannya itu. Ya, hanya bergurau. Aku yakin tidak ada keseriusan pada kalimatnya barusan.

“Ayo, Dek. Ngapa pula bengong?” ajaknya.

Aku tak menjawab. Aku berhambur ke boncengan sepeda dengan memegang pinggangnya kuat-kuat. Tanpa aku sadari beberapa pasang mata turut mengamati.

Bang Maro yang ramah, menyapa beberapa orang yang ditemuinya di jalan. Terkadang dia berteriak memanggil seseorang atau memekik kuat untuk menjawab panggilan yang lainnya. Celotehannya di sela kayuhan sepeda membuatku tertawa. Napasnya tersengal setiap dia bicara.

Tujuan kami di hari libur ini adalah mengunjungi rumah Murdani–salah seorang siswa–yang memiliki kebun durian. Pada musim durian kali ini, kabarnya sudah banyak buah durian milik Dani yang gugur. Bang Maro mengajakku ke sana. Lokasi rumahnya cukup jauh dari rumah kontrakanku. Apalagi jika ditempuh dengan sepeda seperti ini.

Kayuhan Bang Maro makin pelan. Wajar saja, jalanan mulai menanjak. Beban tubuhku menambah berat kayuhan sepedanya.

“Aku turun aja, Bang.”

“Nggak usah, abangmu ini masih kuat.”

“Hem, banyak gaya. Jelas-jelas ngos-ngosan. Bajumu dah basah keringat, Bang. Berhenti dulu!” Aku memukul pelan pinggangnya.

Bang Maro berhenti dan mengatur napasnya. Peluh menetes. Refleks aku mengelap butiran keringat di dahinya dengan saputangan milikku.

“Dek.”

Aku menjawab dengan bergumam.

“Kalau ada yang lihat, gimana?”

Spontan aku menarik tangan dari depan wajahnya. Desiran di dada terasa seperti dialiri air hangat. Aku malu.

“Maaf, Bang. Spontan.”

Bang Maro tertawa. Aku mengulurkan botol minum padanya. Berusaha menghindari tatapannya adalah tindakan tepat. Aku tak pernah sanggup melawan sorot matanya yang tajam dan membius. Entahlah. Aku merasa seperti ada cairan chloroform yang ikut serta dalam sorot matanya itu. Ampuh membuatku tak sadarkan diri.

“Yuk.”

“Aku jalan aja.”

“Masih jauh loh, Dek.”

“Insyaallah kuat.”

“Aamiin. Karena kalau kau tumbang, Abang nggak kuat gendong kamu, Dek.”

Jangan tanya apakah aku tersenyum atau tidak. Jelas aku tersenyum. Gurauannya sukses membuatku salah tingkah lagi.

***

Takbir yang terus menggema terdengar jelas. Disusul suara lonceng yang berdentang dari gereja tak jauh dari Taman Liberty. Benturan bandul dan badan lonceng menghasilkan gelombang hingga sampai ke telingaku. Keduanya merambat masuk gendang telingaku. Syahdu.

Melihat dari kejauhan dua kubah berdampingan, ada rasa yang menggetarkan jiwa. Biarpun ini hanya simbol, aku yakin ketika dibangun, penganutnya saling asih. Menghormati perbedaan, mengasihi persaudaraan.

Sekalipun keduanya berdampingan, dua pilar bangunan itu tersekat norma, dogma, dan ajaran. Keduanya memang tak sama. Meskipun dasar mereka sama. Ketuhanan.

Saat aku dan kamu berdiri sejajar, itu pun karena kita tak pernah bisa sama. Kita masing-masing. Kamu dengan tuhanmu aku dengan tuhanku. Pun saat kamu melangkah pergi. Memilih menjauh demi menghindari kerumitan.

Langkahku dan kamu memang berbeda. Namun, kita tetap beriringan. Seperti dua kubah di belakang taman ini. Mereka berdampingan mesra.

Kita dilahirkan berbeda. Walaupun Tuhan kita sama.

***

“Sudah lama, Dek?”

Aku terperangah. Suara itu? Sepertinya aku terseret kembali ke puluhan tahun yang lalu. Saat aku dan pria berkulit putih itu hampir setiap hari bersama. Saat aku memanggilmu ‘Bang’ setiap kita bertemu di luar sekolah. Saat kita berbincang bebas tanpa pernah jujur pada perasaan kita masing-masing. Tanpa ada kata cinta.

“Kamu nggak mau noleh, Dek?”

Aku masih bergeming. Aku hampir yakin itu suara kamu, Bang.

“Tengoklah ke belakang. Abangmu ini sudah dandan sejak pagi karna mau ketemu kamu.”

Bang, aku bahkan tak pernah lupa logatmu bicara. Khas. Nada tinggi, tapi bukan marah.

“Dek, Abang tahu yang kamu pikirkan. Tapi paling tidak, tengoklah abangmu ini.”

Tidak. Aku berusaha mengusir suara itu dari pendengaranku. Aku hanya takut. Takut setelah ini ada kata selamat tinggal lagi. Sekalipun aku bukan kekasihmu.(*)

Airmolek, 11 Februari 2021

Cerrpen pemenang di sebuah event dan tergabung dalam antologi dekade luka.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen yang menarik

03 Mar
Balas

Terima kasih

03 Mar

Cerpen yang sangat menyentuh. Terima kasih sudah memberi kesempatan pada kami untuk membacanya. Sungguh nyess di hati.

03 Mar
Balas

Jadi malu. Terima kasih ibu

03 Mar

Luar biasa. Mengslir alami. Salam literasi

06 Mar
Balas

Salam literasi bu Anik terima kasih sudah meninggalkan jejak di sini

06 Mar

Luar biasa. Mengslir alami. Salam literasi

06 Mar
Balas

Keren Bu Susi, kisah yang menyentuh. Belajar saya dari penyajian yang alurnya menarik.

03 Mar
Balas

aihhh dikomen pak irwanto. Tarimo kasih

03 Mar

Sangat menyentuh hati, hebat bunda Respati

13 Mar
Balas

Sangat menyentuh hati, hebat bunda Respati

13 Mar
Balas

Sangat menyentuh hati, hebat bunda Respati

13 Mar
Balas

Sangat menyentuh hati, hebat bunda Respati

13 Mar
Balas

Sangat menyentuh hati, hebat bunda Respati

13 Mar
Balas

Sangat menyentuh hati, hebat bunda Respati

13 Mar
Balas

Sangat menyentuh hati, hebat bunda Respati

13 Mar
Balas

Sangat menyentuh hati, hebat bunda Respati

13 Mar
Balas

Indah sekali cerpenya.

03 Mar
Balas

terima kasih ibu atas waktunya

03 Mar

mantap keren cadas... sukses selalu...saya bukan abangmu...emang kamu lahirnya hari Kamis baiknya besok puasa bukan utk hari lahir tapi puasa sunah hari Kamis...ijin follow dan follow back...salam literasi

03 Mar
Balas

terima kasih sudah mengingatkan pak

03 Mar

terima kasih sudah mengingatkan pak

03 Mar



search

New Post