Susi Respati Setyorini

Guru kimia yang jatuh cinta dengan tulis menulis. Ingin menulis apa aja dan di mana aja....

Selengkapnya
Navigasi Web
PHK
by Canva

PHK

Pandanganku mendadak kabur. Bukan karena cuaca yang panas di hari ke-13 Ramadan, melainkan tubuhku yang tiba-tiba lemah. Isu PHK masih menempel di telinga. Obrolan orang-orang di kantin yang kudengar tiga hari lalu menyebutkan: PHK hanya untuk pegawai yang masa kerjanya di bawah 5 tahun. Saat itu aku merasa sedikit lega. Dengan mengantongi masa kerja hampir 10 tahun, aku tak perlu mengkhawatirkan PHK yang santer terdengar itu.

Namun, kenyataannya, ada namaku di sana. Tenggorokanku kering, ingin berteriak, tetapi tenagaku seolah habis. Aku melemah. Jika tidak ditopang Pion tadi, mungkin aku sudah tumbang.

Mengapa aku terjaring PHK? Dadaku sesak. Otakku belum bisa fokus mengajak kaki pergi dari halaman pabrik seperti yang lain.

Aku menyandar pagar di pintu barat pabrik. Sendirian. Pion sudah pulang. Dia hanya menitip pesan supaya aku ikhlas dan sabar. Percuma meratapi takdir, kertas pemutusan hubungan kerja itu tidak bakal berubah, katanya.

Entahlah. Aku belum ingin pulang. Bukan untuk mengucapkan selamat tinggal dan menyanyikan lagu perpisahan pada pabrik ini, bukan. Sebenarnya aku tidak memiliki cukup keberanian untuk mengatakan kabar PHK ini.

Aku melihat Pak Pambudi berjalan gontai sambil mengibas-ibaskan amplop. Dia melintas di depanku.

“Pak Royan, belum pulang? Sudah sore, Pak. Bentar lagi buka puasa.”

Aku hanya menggeleng. Dia menghampiriku dan menepuk pundak. Seolah pria ini ingin memberiku ketenangan. Memberi kekuatan. Padahal, dia juga bernasib sama. Sama-sama korban PHK.

“Kita pulang saja, Pak. Pihak manajemen tidak akan mengubah keputusannya. Mereka mempertahankan usia produktif, bukan seperti kita. Karyawan yang sudah tua dimakan umur.”

Aku terdiam. Otakku mengolah informasi terbaru tentang PHK kali ini. Jadi bukan masa kerja, tetapi usia karyawan. Aku memejam sejenak. Kepalaku menggeleng. Ini sungguh tidak adil.

“Mereka sadis, Pak.” Ada jeda yang sengaja kubuat. “Mereka kejam mem-PHK karyawan sekarang.” Rahangku mengeras. Gigi-gigiku gemeletuk.

Pak Pambudi menghela napasnya. Dia masih menimang surat miliknya. “Yah, dampak pandemi memang luar biasa, Pak. Pembatasan di mana-mana. Produksi dikurangi karena permintaan juga berkurang. Banyak orang jadi susah.” Pria itu menembuskan napasnya.

“Sebentar lagi lebaran. Banyak kebutuhan. Apa mereka nggak mikir?” ocehku geram.

Aku masih saja tidak percaya hal ini menimpaku. Bagaimana caraku menjelaskan pada Risma juga Amira? Apa bisa kukatakan padanya nanti?

Di tengah rasa kecewa, ada dua orang sedang berjalan sambil bicara, tiba-tiba berhenti tak jauh dariku.

“Yang enak si Badrum. Aman tu bocah. Dasar penjilat!” umpat pria bertopi.

“Bukannya Bahrum seumuran kita?” tanya yang lain. “Kok bisa dia lolos? Apa dia nyogok?”

Obrolan mereka layaknya hidrokarbon bertemu pemantik api. Bum! Aku bangun dan berjalan cepat masuk ke kantor. Mengabaikan teriakan Pak Pambudi yang berusaha mencegahku. Tidak. Aku harus membuktikan kebenaran cerita yang baru saja kudengar.

Tanganku mengepal, luapan emosi tak lagi terbendung. Teriakanku mengundang perhatian banyak orang di dalam kantor. Aku berteriak memanggil orang yang paling bertanggung jawab atas PHK ini.

Alih-alih mendapat jawaban yang memuaskan, aku justru ditendang ke luar area pabrik. Tanpa rasa iba mereka mengusirku yang terus memaki. Sumpah serapah mengucur bebas tanpa filter. Aku melupakan fungsi puasa. Nafsu amarah telah menguasai akal pikirku.

Setelah terlempar ke luar pagar, aku jatuh tersungkur. Kali ini tak ada orang yang membantuku berdiri. Makian berubah tangis lirih. Perlahan aku beranjak meninggalkan jalanan depan pabrik. Peluh membasahi bajuku. Celana hitam berkubang tanah basah usai hujan pagi tadi.

Dalam langkah terseok aku membayangkan wajah Risma juga Amina yang menantiku dalam harap. Menungguku membawa selembar amplop dengan lembaran rupiah di dalamnya. Lembaran-lembaran yang akan membuat dapur berapi. Rupiah-rupiah yang akan membuat Amira tertawa nyaring dengan bola matanya yang mengerjap demi melihat sepeda mini idamannya akhirnya berwujud.

Aku ingin berhenti melangkah. Berhenti membuat mereka menunggu dan berharap. Namun, pikiran kerdil dan picik itu segera kutepis. aku menghela napas, menikmati oksigen di setiap tarikan napas. Masih ada molekul diatomik itu memenuhi rongga dadanya. Itu berarti kehidupan masih ada.

*

Aku melangkah gontai menyusuri jalanan. Dengan mata nanar aku menatap marka jalan. Entah ilusi atau nyata, aku seperti sudah berada di depan rumah, disambut bidadari surgaku dengan senyum bahagia. Risma mencium tanganku. Kalimat pertamanya yang keluar adalah mengajakku berbuka puasa dengan menyantap teh hangat dan beberapa potong pisang goreng. Menu buka puasa yang sederhana.

Dari dalam kamar, ada seruan Amira memanggilku. Dia menyongsongku sambil menunjukkan hasil belajarnya hari ini. Angka 100 terpampang di bukunya. Amira memang anak yang pintar, dia tak pernah absen juara kelas.

Aku menyangka putri kecilku itu akan menagih janji. Bulan lalu, Amira berhasil menyelesaikan setoran hafalan bersama Ustaz Zaki di musala kompleks. Dia sudah hafal tiga juz. Untuk memberinya motivasi menambah hafalan, aku berjanji membelikannya sepeda.

“Ayah belum bawa sepeda Mira, ya?” tanyanya.

Mataku terbeliak. Sepotong diam terjadi sebelum bibirku bicara. Bergetar dan parau. “Belum, Nak.” Mataku mengerjap. “Amira sabar, ya.” Aku tak sanggup membuat janji lagi selain memintanya bersabar.

“Gak papa, Yah.”

Aku kemudian melihat gadis kecilku itu berlari ke luar rumah menyambut teman-temannya. Aku juga yakin, istriku tadi memberiku penguatan setelah mengetahui aku di-PHK. Aku tersenyum lega. Kekhawatiranku sejak tadi tak terjadi. Risma dan Amira sangat memahami posisiku. Risma memang istri yang baik. Menjadi pengokoh pijakanku yang sedari tadi goyah. Aku berharap pandemi segera berlalu, lenyap bersama kesulitan hidup yang sudah ditinggalkannya untuk keluargaku.

Namun, senyumku tiba-tiba menghilang demi melihat wajah Risma membuka pintu.

“Mas? Baru pulang?”

Dari dalam rumah, terdengar teriakan Amira menyambutku di teras.

“Ayah … mana sepeda Mira?”

Airmolek, 4 Mei 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

19 May
Balas

Aih, pembaca setia saya. terima kasih pak

20 May

Keren Bund. Sukses selalu

21 May
Balas

makasih pak

21 May

Cerita yang sangat menarik, cerpen yang keren.

20 May
Balas

terima kasih ibuuu

20 May



search

New Post