Sehelai Kain Penutup Rasa
#day06
Sehelai Kain Penutup Rasa
Kamu sedang berbincang dengan Abah. Terlihat serius. Kepalamu sesekali mengangguk saat gerakan tangan Abah sesekali bergerak menunjuk, atau membentuk gerakan berputar. Mungkin kamu memang memahami yang sedang Abah bicarakan. Sikapmu begitu santun di depan Abah.
Di sisi barat masjid, Athira berdiri sepertinya juga sedang mengamati kamu dan Abah. Ah, bukan. Lebih tepat Athira sedang menunggu Abah yang masih berbincang denganmu.
Jamaah tarawih sudah meninggalkan halaman masjid. Hanya tinggal beberapa orang pengurus masjid yang masih bertahan di sana. Biasanya mereka akan melanjutkan tadarus bersama anak-anak.
Setelah mengucap salam, Abah pamit. Sekali lagi kamu membungkuk setelah mencium punggung tangan Abah terlebih dahulu. Mengangumkan. Wajar kalau warga selalu memuji kamu pria santun dan baik hati.
Lengkung senyuman terbentuk dari bibir kamu, melihat Athira menyusul abahnya meninggalkan masjid. Sepertinya kamu sedang membalas senyum Athira. Putri tunggal Abah Sauqi, pemilik pesantren Al- Ja’far. Pesantren tertua di wilayah pesisir selatan.
Setelah mengantar Abah hingga gerbang, kamu kembali ke masjid dan bergabung bersama yang lain melanjutkan tadarus. Kamu tahu? Kelebihan yang kamu miliki makin sempurna dengan suaramu yang bagus.
Lembar demi lembar bacaan itu selesai dilantunkan. Meresap ke hati karena merdunya suaramu. Wajar juga kalau para hawa berharap di-khitbah. Baik secara terang-terangan maupun melalui orang tua mereka. Dan lagi-lagi kamu cuma tersenyum dan menangkupkan kedua tanganmu isyarat meminta maaf. Walaupun ukhty di luaran setia menunggumu, sampai sekarang kamu belum menentukan pilihan.
“Ustad, ada kiriman buat Ustad. Saya letakkan di dekat mimbar.”
Kamu menoleh saat Mahdi, garim masjid memanggilmu.
“Dari siapa?” tanya kamu.
“Tadi yang bawa anak kecil, Tad. Katanya titipan.”
Terlihat kamu mengangguk sebelum beranjak mengambil bingkisan itu. Mahdi pun bertanya sebenarnya siapa pengirim hadiah itu. Menurutnya, ini adalah kiriman yang kedua. Lagi-lagi kamu hanya tersenyum tanpa memberi jawaban. Kamu menyembunyikan jati diri pengirimnya.
Tanpa terasa Ramadan sudah berumur 20 hari, menyisakan 10 hari terakhir. Artinya bulan indah ini tinggal 10 hari lagi. Ramadan segera berakhir. Di penghujung bulan berkah ini, kamu dan panitia amil zakat mulai sibuk. Pertemuan pun kerap dilaksanakan untuk mempersiapkan tugas baru menjelang Syawal.
Seseorang tiba-tiba masuk dengan wajah cemas dan panik.
“Ustad, dimohon segera ke pondok, Abah Sauqi memanggil Ustad.”
Kernyit muncul di keningmu.
“Abah kenapa?”
“Em, sebaiknya Ustad lekas pergi. Sebelum terlambat.”
Deg!
Terlambat? Sepertinya kamu menangkap makna kata itu hingga setengah berlari menuju ndalem pondok milik Abah.
Sampai di sana, sudah ada Farah, Athira, dan umminya yang duduk di sisi pembaringan Abah. Bukan hendak lancang mengira, sepertinya ada yang serius sedang terjadi.
“Ustad, bisa duduk dekat saya?” ajaknya lirih.
Suara lantang setiap khutbah, seolah lenyap ditelan kesakitan. Namun begitu, usia tak pernah merusak daya pikirnya juga ide-ide cemerlangnya. Kamu dan Abah sering terlihat bicara empat mata, membahas pengembangan pesantren dan perluasan masjid.
Acapkali Abah bicara proyek yang harus segera terealisasi tahun ini agar Ramadan tahun depan warga lebih nyaman salat–terutama Tarawih– di masjid. Seolah ini penanda Abah sedang menggesanya.
Kamu berjalan mendekati pembaringan orang yang sudah kamu anggap seperti orang tuamu sendiri. Melihatnya terbaring tak berdaya, ada serupa sayatan yang berhasil melukai dada kirimu. Perihnya nyata dan kedua matamu tak bisa berbohong. Rasa sedih itu menuntunmu lebih mendekat dan meraih tangan tua itu.
“Ustad Fatir, saya titipkan pesantren dan perluasan masjid pada Ustad.” Suara Abah lirih. Napasnya sekali-kali ditarik kuat.
“Sa-saya?” ucapmu kebingungan.
“Saya yakin Ustad mampu. Dahulukan kebutuhan umat. Buat mereka nyaman beribadah. Layani mereka sebaik-baiknya.”
Kamu mengangguk, tak kuasa menolak kepercayaan orang nomor satu pesantren yang juga membesarkanmu. Kilasan memori itu hadir sesaat. Pertemuan pertama kamu dan Abah di sebuah lokasi pemulung. Ingatan masa lalu membingkai kenangan akan ketulusan Abah mengangkatmu dan menjadikanmu pria terpuji. Tiada hal di dunia ini yang mampu membalas kebaikannya sekalipun di penghujung pengabdianmu.
“Abah titip Athira, bimbing dia jadi istri yang baik, taat pada suami.” Kata-kata Abah tersendat sesak yang tiba-tiba datang.
Dua kalimat syahadat selesai dilafalkan. Tarikan napas keduanya pun terhenti di kerongkongan. Kamu menangis. Air matamu menitik di antara ratapan Athira dan Ummi.
Sesungguhnya kami itu milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Allah Swt, bisikmu lirih dengan mata terpejam.
***
Kamu mengucapkan akad dengan lancar meskipun dalam hatimu sedang berusaha kuat. Masih menempel di telinga, pesan dan petuah Abah, membawa amanah dan kepatuhan.
Selesai saksi berucap sah, derai air mata justru mengalir tak mampu ditahan. Bagi Athira, mungkin ini sekaligus air mata haru karena kamu baru saja menikahinya. Namun, tidak bagi perempuan itu. Jejak air mata di pipinya melukiskan kehilangan. Kehilangan yang sebenarnya setelah usahanya tak juga menggerakkan hatimu untuk dia. Pun dalam bingkisan terakhir yang berisi curahan rasa, kamu tetap tak menghiraukannya.
Siang itu, semesta berduka. Buat Farah, selain kehilangan Abah, dia juga kehilangan kamu. Saat berjalan di belakang jenazah Abah, dia menutup wajahnya dengan niqab, seolah menutupi luka hatinya darimu dan semua orang.
Airmolek, 1 Mei 2021
#marathon_kelascerpen2
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi
Terima kasih berkenan mampir
Pov 2 seperti itu,yaMungkin nanti saya akan mencobaa...
lsgi belajar jeng
Baru revisi juga ini jeng
Duh, berderai air mataku.Bukan kisahnya saja yang menghatubiru tapi untaian kata-katanya bikin meleleh. Bund ajari aku ya.
ngajarin ikan berenang ini mah. sukses buuu ayuk dah jadi kah novelnya lagi
Keren dengan POV2..Salam sukses
sukses buat ibu juga
MasyaAllah, kereeeeeen cerpennya, Bun. Luar biasa. Baru kali ini saya membaca cerita dengan POV orang kedua yg buuuagus. Barakallahu fiikum. Sukses selalu buat Bunda Susi Respati.
Terima kasih
Cerpen yang selalu asyik, saya belum bisa menyuguhkan romansa Yang seperti cerpennya mbak Susi.
Terima ksih ibu sayangggg
POV2... mantap..bunda. ceritanya mengalir konsisten
Terima kasih.
Woaa POV2 seperti ini ya, cakeep banget.
Terima kasih