Susi Respati Setyorini

Guru kimia yang jatuh cinta dengan tulis menulis. Ingin menulis apa aja dan di mana aja....

Selengkapnya
Navigasi Web
Selamat Datang Kamu dan Kenangan
by Canva

Selamat Datang Kamu dan Kenangan

Pijakanku saat turun dari mobil memburu waktu. Menyusul hempasan tangan menutup mobil, lalu bergegas menuju toko kue legendaris di jalan utama kota ini. Sambil berjalan, aku melepas kacamata berlensa cokelat gelap dan memasukkannya ke dalam tas sandangku. Masih dengan langkah lebar aku masuk ke toko.

Bruk!

Aww, aku meringis dan terkejut. Siapa yang menabrakku? Oh, gadis kecil berkepang dua rupanya. Beruntung tidak jatuh. Dia seperti ketakutan melihatku. Dua meter di belakang gadis cilik itu, seseorang berseru–yang mungkin ayahnya.

“Jangan lari, jalan aja, Dek.”

Aku memandangi tubuh mungil itu. “Adek nggak apa-apa?” tanyaku khawatir. Sesal menyergapku. Tidak seharusnya aku buru-buru tadi. Berjalan tanpa memandang ke depan.

Gadis kecil itu menggeleng. Aku jongkok hendak meminta maaf. Mataku bergerak ke arah pria yang tadi berseru memanggilnya.

“Sa–”

“Nabila?”

Aku terperanjat. Pria ini menyebut namaku. Dia tetap mengenali meskipun aku memakai masker. Praja? Benarkah? Jantungku mendadak berdebar kencang. Gugup menyerang bersamaan dengan salah tingkah. Pria ini nyata berada di hadapanku. Napas yang tak beraturan ditambah butiran peluh membasahi keningku.

“Kamu Nabila, ‘kan?”

Pertanyaan itu menarikku kembali ke alam nyata. Menghempaskan kepingan-kepingan imajiner.

“Mas … emm … ini anak kamu?”

“Ya, anak–”

“Ternyata di sini. Yuk, kita masih harus ke bank, ‘kan? Kamu juga mesti buru-buru.” Perempuan berambut cokelat tua dan menenteng tas yang sewarna dengan busana juga sepatunya, mengajak Mas Praja pergi. Di tangannya ada selingkaran cake dalam plastik transparan. Dia sama sekali tidak menganggap aku ada.

Setelah ketiganya berlalu, kesadaranku menggenap. Aku kembali fokus masuk toko dan mencari kue pesanan Bibi, sebelum teleponnya berdering memekakkan telingaku.

Sebenarnya, jumlah kue yang aku beli tidaklah banyak. Cukup untuk sekitar 10 orang saja. Namun, tamu kali ini istimewa, kata Bibi. Jadi aku harus memilih yang spesial baik jenis maupun jumlahnya. Ah, aku tidak mengerti dengan keputusan adik ibuku itu. Seenaknya saja mengundang orang tanpa memberitahuku sebelumnya.

“Kok mendadak, sih, Bi? Aku nggak bisa. Lusa harus ke Semarang,” protesku semalam.

“Berapa hari di sana?”

“Seminggu.”

“Kalau gitu besok malam saja sebelum kamu berangkat.” Bibi mengatakan itu tanpa mempertimbangkan keberatanku.

“Bi … kenapa harus mendadak begini?”

“Lebih cepat lebih baik. Kamu harus taaruf sama Aby.”

“Bibi ….”

“Sudah, kamu diem aja. Manut tho!”

Itu adalah kata kunci Bi Fin sebagai amunisi terakhir untuk mengendalikanku. Membuat aku terdiam tak berkutik dengan semua aturan juga rencananya untuk hidupku.

Wong manut ki gedhe wekasanne.”[1]

Aku mengangguk dengan terpaksa. Dalam hati aku ingin berontak, protes, dan tak sependapat dengannya. Bagiku, menurut itu bentuk lain ‘mengalah’. Mengalah adalah contoh sikap yang ‘lemah’. Namun, aku bisa apa jika kata kunci sudah keluar. Ya nurut, apa lagi?

“Mbak, bayar di kasir, ya.”

Akhirnya, panggilan itu berhasil menyentakku hingga lamunan itu menguap. Langkahku menuju kasir tertunda karena tiba-tiba ponsel berdering. Dari Bibi.

Udah dapat belum?

“Sudah, Bi. Ada lagi yang harus dibeli?”

Mampir beli buah di depan SMP, ya.”

Tanpa mengangguk, aku menutup sambungan teleponnya. Aku berjalan cepat meninggalkan toko.

***

Sekitar pukul tiga, aku masih di kamar. Melesakkan tubuh di kasur ditemani embusan air pendingin. Cuaca di luar kontras dengan di dalam kamar. Hal ini yang membuatku enggan keluar kamar meskipun panggilan Bibi sudah berulang.

Gagang pintu bergerak, aku sengaja mengunci kamar. Sekadar ingin melonggarkan isi kepalaku yang tiba-tiba dipenuhi wajah pria tadi. Aku tak menyangka pertemuan itu membuatku gundah. Ada selarik sesal mengapa aku membuang waktu menunggu seseorang yang sudah kusebut mantan. Otak juga hati ternyata tak sejalan. Ketika otak mengajak move on, hati melarangnya. Namun, hari ini semuanya jelas. Hati harus bisa menerima kenyataan kalau sang mantan tidak mungkin kembali.

Gedoran pintu makin intens. Ragaku masih malas untuk bangun, tetapi teriakan Bibi adalah hal yang tak bisa kubiarkan. Beranjak dan menemuinya adalah keharusan.

“Apa sih, Bi? Tamunya sudah datang? Habis asar, ‘kan?”

“Kalau tahu kenapa masih santai? Cepat ganti bajumu. Percuma jam gede-gede dipajang, mata merem juga!”

Aku menarik napas pelan agar tak terlihat kesal dengan perintah Bibi. “Ya, Bi.”

Setelah menutup pintu, aku berjalan ke depan cermin. Bermonolog sesaat. Mungkin ini saatnya aku melupakan kamu, Mas. Membuang cerita kita. Mengabaikan kenangan kita. Terutama janji kamu. Selamat tinggal kenangan.

***

Benar kata Bibi, tamunya kali ini istimewa. Kutaksir rombongan lebih dari 10 orang jika melihat empat mobil yang berarak memasuki gang rumah Bibi. Dari balik jendela aku bila melihat satu per satu tamu turun dari mobil. Bibi pernah bercerita, temannya mempunyai sopir pribadi yang baik dan jujur. Keluarga besar majikannya turut mengantar. Barangkali ini yang menyebabkan acara sore ini makin istimewa.

Gamis abu-abu dengan khimar senada membalut tubuhku. Aku sudah duduk di ruang tengah. Di ruang tamu ada Pakde juga Bude yang sedang berbincang dengan tamu yang datang tepat waktu. Dudukku menyamping dari pintu sehingga aku tidak bisa melihat pria macam apa yang akan disodorkan padaku.

Ini pria ketiga yang dikenalkan padaku. Keluarga dari pihak Ibu antusias sekali mencarikan jodoh buatku. Sampai-sampai aku berpikir dan menganggap Bibi sudah lelah ditumpangi dan mengurus aku lebih lama. Sejak Ibu dan Ayah meninggal lima tahun lalu, aku dirawat Bibi, adik Ibu dan tinggal di kota kecil sampai aku menyelesaikan kuliah.

Tiba-tiba Bibi memanggilku. Aku merunduk, melarikan sorot mata ke lantai marmer di bawah meja. Aku pasrah kali ini. Sedikit tarikan tangan Bibi mengajakku ke ruang tamu.

“Nah, ini loh Nak Aby, Nabila.” Bibi Fin mengenalkanku pada tamunya.

Aku enggan menaikkan wajahku. Memandangi lantai jauh lebih menarik dibandingkan menatap pria entah dari mana. Selintas mataku menangkap cake bulat dalam kemasan transparan di atas meja. Aku masih berdiri mematung tanpa memasang senyum ketika salah satu dari tamu bersuara lantang.

“Nabila Hilya Nafisah. Maukah kamu menjadi istriku?”

Aku menyudahi sikap mengheningkan ciptaku. Seketika bola mataku membulat, lalu berucap lirih, “Abyakta Praja?”

Airmolek, 16.05.2021

[1] Menurut itu, baik pada akhirnya

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ehmmmm...

19 May
Balas

ingat mantan yakkkkk

19 May

Duh, tak diduga sang mantan kembali dengan manis. Keren Bun

19 May
Balas

manisnya mantan susah dilupakan eaaak

19 May

Subhanallah..keren sekali ceritanya...

18 May
Balas

Aiiihh. namanya mirip nama anak saya. terima kasih bu

19 May

Keren bsnget ceritanya.

19 May
Balas

terima kasih bu.

19 May

Selalu keren deh cerpen bunda Respati.

19 May
Balas

edisi sang mantan

19 May



search

New Post