“Pesantren kilat dimulai hari senin hingga sabtu sekaligus dengan pengumpulan zakat. Minggu berikutnya adalah kegiatan try out ke – 2 selama satu minggu sedangkan kelas 7 dan 8 melaksanakan pembelajaran secara daring,” ulas Pak Basuki dalam rapat di ruang guru,

“Tanya pak!” seru Pak Bondan sambil mengacungkan jari,

“Silahkan pak,”

“Apakah yang mengikuti pesantren kilat kelas 7 saja pak?”

“Tidak...semua kelas. Jadi kelas 7,8 dan 9 semua ikut,”

“Terima kasih pak,”

“Maaf pak, bagaimana dengan yang belum mengikuti ujian praktik?” acung jari bu Ria,

“Masih adakah yang belum selesai?” tanya balik pak Basuki,

“Untuk bahasa jawa, ada empat siswa pak,”

“Bahasa Inggris tiga anak, laki-laki semua,”

“IPA yang belum lima anak pak”

“Siapa mereka ya bapak dan ibu?” sahut Pak Basuki,

“Dian, Raja, Nimas, Raka dan Sakti pak” ujar Pak Eko,

“Bahasa Inggris juga mereka pak”

“Betul, bahasa jawa juga”

“Bagaimana solusi untuk anak-anak kita?”

Ruang guru semakin seru dengan tanya jawab. Beberapa guru memberikan solusi guna mengatasi anak yang dianggap lambat dalam menyelesaikan kegiatan belajar mereka. Bukan karena anak bodoh tetapi lingkungan yang membuat pemahaman akan masa depan berkurang. Salah satunya adalah kelas 9H.

Bu Rina sebagai wali kelas 9H merasa terpojok. Berkali-kali anak yang berulah maka guru lain tentu meminta pertanggung jawaban dari beliau. Sesungguhnya ia sudah berusaha untuk memperbaiki, seperti mengunjungi anak-anak tersebut dirumahnya, mendekati mereka bagaikan seorang anak muda. Segala macam teknik dilalui dengan penuh kesabaran. Tak ingin dengan kata pedas tetapi kasih sayang yang ditunjukkannya.

Sore hari Pak Basuki melihat status Bu Rina tentang Nimas. Dibacanya perlahan, 'Selamat anakku sayang kamu bisa'.