Rifki Ferdiansyah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Ketika Guru Asing Datang
foto https://tinyurl.com/y3n2yls3

Ketika Guru Asing Datang

Berita penuh sensasi bagi dunia pendidikan Indonesia tentang pemerintah punya rencana 'mengimpor' guru dari luar negeri untuk mengajar di Indonesia. Antara News menulis rencana tersebut bersumber dari paparan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani. Ide tersebut disampaikan oleh beliau saat berbicara dalam acara Diskusi Musrebangnas 2019.

Saat membaca berita tersebut, terbayang siswa-siswa saya akan dipandu oleh para guru dari belahan dunia lain. Untuk sekali dua kali, mungkin itu pengalaman yang menyenangkan. Sekolah saya sudah punya pengalaman banyak kali mahasiswa asing mengajar selama beberapa waktu. Terakhir dari Brazil. Sekilas, saya melihat para siswa cukup antusias di kelas; walau sekadar melihat dan memperhatikan gaya tutur guru asing tersebut tanpa mengerti apa yang diterangkannya. Akan tetapi, bila rencana pemerintah itu berjalan, yang datang bukan lagi mahasiswa magang; namun seorang guru profesional.

Ditelaah lebih dalam, rencana impor guru ini punya tendensi ketidakpercayaan pada guru-guru di Indonesia. Lebih tepatnya, ketidakpercayaan pada kualitas mereka. Alur berpikirnya tampaknya seperti ini; pemerintah menilai salah satu persoalan menjelang 1 abad Indonesia merdeka adalah kualitas SDM rendah. SDM yang rendah tersebut merupakan produk dari sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Bila sekolah menghasilkan SDM rendah, maka guru-guru di sekolah berkualitas rendah pula.

Menarik mencermati logika itu; kalau benar seperti itu. Mungkin butuh banyak penelitian untuk dapat menyimpulkan kualitas SDM Indonesia semata-mata bertumpu pada kualitas guru. Terlebih mengingat pendidikan itu mempunyai setidaknya tiga stake holder; sekolah, pemerintah, dan masyarakat.

Berdasarkan undang-undang, kualitas seorang guru tersebut dilihat dari 4 kompetensi; profesional, pedagogi, sosial, dan kepribadian. Dan ujian kompetensi yang diselenggarakan pemerintah beberapa tahun lalu menjadi cermin; sebagaimana ucapan Anis Baswedan terkait UKG 2015. Salah satu hasil UKG tersebut dalah peta kualitas guru Indonesia; yang sebagian besar tak sesuai harapan pemerintah.

Memang, kualitas seorang guru tidak bisa diukur dari sebuah tes 120 menit dan 60 hingga 80 soal saja; apalagi terbatas pada profesional dan pedagogi. Untuk mengukur kualitas guru mesti ada sebuah asesmen menyeluruh. Akan tetapi, jika dibalik sedikit logikanya; ketika seorang guru diuji dengan mata pelajaran sendiri dan hasilnya tidak memuaskan, bisa disimpulkan guru kurang menguasai mata pelajaran yang diampunya. Kalau memang begitu, bagaimana bentuk proses dia transfer ilmu terhadap siswanya?

Jadi secara sadar, harus diakui bahwa kualitas guru belum sesuai harapan pemerintah; setidaknya dari unsur profesional dan pedagogi. Dengan kesadaran seperti itu, proses berbenah kualitas kompetensi para guru bisa dilakukan. Akan susah terjadi proses berbenah itu kalau penilaian tersebut tidak diterima; dengan banyak argumentasi. Namun, pada dasarnya, peningkatan kuliatas merupakan kebutuhan guru karena ini era globalisasi. Guru-guru lulusan abad 20 tentu akan gagap menghadapi anak-anak milenial abad 21 bila tak cepat pula menyesuaikan diri.

Dari lain pihak, dukungan stake holder pendidikan dalam meningkatkan kualitas guru juga harus maksimal. Seperti pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, pemerintah mesti membuat kebijakan mesti berorientasi pada meringankan beban guru. Bukan berarti meringan-ringankan, tetapi membuat beban tanggung jawab berat guru menjadi mudah diemban. Bila sekolah dituntut untuk menyelenggarakan Sekolah Ramah Anak, pemerintah; baik pusat dan daerah, mesti pula mengeluarkan aturan-aturan ramah guru.

Saya membayangkan saat guru ekspatriat datang lalu diserahi beban kerja seperti beban guru saat ini; apa yang akan reaksinya? Menurut penuturan penulis buku Teach Like Finland, di Filandia sana, negara dengan label pendidikan terbaik dunia, hingga beberapa hari menjelang awal semester baru mereka belum membuat rencana pembelajaran. Sementara di sini; semester akhir masih tersisa 2 bulan lagi, rencana pembelajaran untuk tahun ajaran baru sudah diminta.

Pada akhirnya, rencana pemerintah mendatangkan para ekspatriat pendidikan harus dilihat sebagai tantang bagi para praktisi pendidikan. Sisi lain rencana ini, pemerintah; baik pusat atau pun daerah, juga harus melakukan evaluasi terhadap semua kebijakan selama ini yang belum bisa menciptakan guru-guru berkualitas; hingga kita butuh bantuan orang asing. Seperti dahulu, Malaysia mengimpor guru asing; Indonesia, untuk membantu pendidikan di sana.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post