Rifki Ferdiansyah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Masuk Sekolah

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk tahun ini selesai sudah Kamis minggu lalu. Nama-nama siswa baru telah sampai di sekolah. Tahun ajaran baru dimulai Senin esok; 13/7. Entah moda dalam jaringan, luar jaringan, atau campuran; pokoknya siap untuk dilaksanakan.

Namun, PPDB masih meninggalkan bekas luka bagi sebagian orang tua dan anak. Mereka adalah yang tersingkir dari perebutan jatah kursi sekolah negeri. Kalah seleksi dengan alat ukur berupa umur.

Hingga sehari setelah proses PPDB selesai, masih banyak orang tua yang bergerilya menanyakan peluang anak mereka untuk bersekolah di sekolah negeri. Walau kecil kemungkinan tetapi tetap dicoba. Sebab, ke swasta berarti menambah pos pengeluaran. Sementara, nganggur dulu bukan pilihan bijak.

Umur sebagai patokan lulus tidaknya seorang anak masuk ke sekolah negeri memang buat terenyuh. Memang bukan sebagai utama karena jarak rumah ke sekolah juga menjadi poin pertimbangan. Akan tetapi, menghilangkan nilai proses belajar di level sebelumnya membuat masalah baru.

Ada orang tua yang bercerita kalau anaknya tidak lulus. Lahirnya telat 3 bulan dari siswa lainnya, sehingga tersingkir dari sekolah zonasinya. Dan anak tersebut bercerita bila kalau dia kalah saing dari kenalannya yang jelek secara nilai. Lalu anak itu berkesimpulan, sia-sia belajar serius hingga dapat nilai di atas rata-rata!

Pada dasarnya, tiap PPDB akan selalu ada cerita pilu tentang anak yang tidak diterima di sekolah negeri. Tapi tahun ini, cerita lebih nelangsa. Hingga menyulut demonstrasi. Semuanya terkristalisasi pada aturan umur sebagai alat ukur.

Awalnya, penulis menilai kalau ini merupakan efek dari kegenitan orang tua menyekolahkan anaknya terlalu dini. Belum genap 7 tahun, anak telah dimasukan ke sekolah. Sehingga kalau lancar, anak belum genap 12 telah lulus SD.

Namun, saat menghitung ulang, ada area abu-abu antara kegenitan dan usia saat masuk sekolah. Bila, seorang anak masuk pada saat genap di usia 7, maka dia akan lulus SD di usia 12. Sementara, persaingan yang ada saat ini menutup anak-anak dengan usia pas-pas seperti itu. Jangankan beda bulan, beda beberapa hari bisa melayang hilang bangku sekolah negeri.

Dan, kekecewaan anak terkait usaha dia di sekolah namun terbentur usia adalah keniscayaan. Berpikir positif disaat gelap bagi orang dewasa mungkin masih bisa diharapkan; walau banyak yang gagal pula. Tapi untuk anak-anak akan lebih sulit pastinya. Mereka cuma bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Untuk mengambil hikmah, masih lama; sementara luka sudah terbuka.

Dunia pendidikan sangat dinamis. Isinya sepenuhnya interaksi antar manusia. Lebih khusus lagi, interaksi dengan anak-anak yang masih sangat labil dan hijau. Kita pasti sepakat bahwasanya kebijakan pendidikan harus berpihak dan berpijak pada kebaikan bersama; terkhusus pada anak-anak sebagai peserta didik.

Jumlah daya tampung sekolah negeri dengan jumlah anak usia sekolah tidak berbanding lulus. Jadi, tragedi bagi anak yang gagal masuk sekolah negeri akan tetap selalu ada. Namun, standar dan alat ukur untuk seleksi menjadi poin penting apakah tragedi itu akan menimbulkan luka dalam atau tidak.

Semoga semuanya berakhir baik dan selamat datang tahun ajaran baru dengan pembelajaran di era kenormalan baru.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post