Rifqi Nur Hanafi

Orang yang bisa membuat semua hal yang sulit menjadi mudah dipahami, yang rumit menjadi mudah dimengerti, atau atau yang sukar menjadi mudah dilakukan, itulah...

Selengkapnya
Navigasi Web
“ Ngajeni Won Liyo”     Lunturnya Budaya Menghormati Orang Lebih Tua (Guru)  Dalam Dunia Pendidikan

“ Ngajeni Won Liyo” Lunturnya Budaya Menghormati Orang Lebih Tua (Guru) Dalam Dunia Pendidikan

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sejak dahulu dikenal dengan eksistensi budaya ramah tamah dan sopan santun nya, hal ini dapat dibuktikan dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang selalu menyapa dan tersenyum saat berjumpa dengan orang lain, budaya tersebut tidak lepas dari pendidikan dan merupakan salah satu sasaran dari terapainya tujuan pendidikan yang selama ini ada di Indonesia. Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, beriklim, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab

Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut, maka perlu adanya pengelolaan pendidikan yang berkualitas atau bermutu. Pengelolaan pendidikan tersebut diperlukan adanya partisipasi atau peran serta masyarakat sebagai wujud dari kesadaran pemilikan masyarakat akan keberadaan lembaga pendidikan, yang kemudian mendorong menjadi rasa tanggungjawab untuk menciptakan sumber daya yang berkualitas.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir budaya keramahan dan sopan santun di Indonesia mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari generasi muda atau remaja yang cenderung kehilangan etika dan sopan santun terhadap teman sebaya, orang yang lebih tua, guru bahkan terhadap orang tua.Siswa tidak lagi menganggap guru sebagai panutan, seorang yang memberikan ilmu dan pengetahuan yang patut di hormati dan disegani.

Seperti yang pernah terjadi pada beberapa tahun yang lalu seorang siswa SMK di Solo menyerang guru pengawas ulangan dengan pisau cutter hingga sang guru terluka. Hanya karena sang guru dianggap lamban membagikan soal ulangan, siswa tersebut merasa kesal kemudian mendorong badan guru sembari mengeluarkan kata-kata kasar dan menantang sang guru untuk berkelahi., ada juga seorang siswa di Kabupaten Kendal yang menantang gurunya saat jam pelajaran.

Dalam kultur Indonesia, hubungan guru dengan siswa sesungguhnya tidak hanya terjadi pada saat sedang melaksanakan tugas atau selama berlangsungnya pemberian pelayanan pendidikan. Meski seorang guru sedang dalam keadaan tidak menjalankan tugas, atau sudah lama meninggalkan tugas (purna bhakti), hubungan dengan siswanya (mantan siswa) relatif masih terjaga. Bahkan di kalangan masyarakat tertentu masih terbangun “sikap patuh pada guru” (dalam bahasa psikologi, guru hadir sebagai “reference group“). Meski secara formal, tidak lagi menjalankan tugas – tugas keguruannya, tetapi hubungan batiniah antara guru dengan siswanya masih relatif kuat, dan sang siswa pun tetap berusaha menjalankan segala sesuatu yang diajarkan gurunya.

Dalam keseharian kita melihat kecenderungan seorang guru ketika bertemu dengan siswanya yang sudah sekian lama tidak bertemu. Pada umumnya, sang guru akan tetap menampilkan sikap dan perilaku keguruannya, meski dalam wujud yang berbeda dengan semasa masih dalam asuhannya. Dukungan dan kasih sayang akan dia tunjukkan. Aneka nasihat, petatah – petitih akan meluncur dari mulutnya.

Begitu juga dengan sang siswa, sekalipun dia sudah meraih kesuksesan hidup yang jauh melampaui dari gurunya, baik dalam jabatan, kekayaan atau ilmu pengetahuan, dalam hati kecilnya akan terselip rasa hormat (respect), yang diekspresikan dalam berbagai bentuk, misalnya: senyuman, sapaan, cium tangan, menganggukkan kepala, hingga memberi kado tertentu yang sudah pasti bukan dihitung dari nilai uangnya. Inilah salah satu kebahagian seorang guru, ketika masih bisa sempat menyaksikan putra – putri didiknya meraih kesuksesan hidup. Rasa hormat (respect) dari para siswanya itu bukan muncul secara otomatis tetapi justru terbangun dari sikap dan perilaku profesional yang ditampilkan sang guru ketika masih bertugas memberikan pelayanan pendidikan kepada putra – putri didiknya.

.

Namun belakangan ini telah terjadi penurunan rasa hormat atau respect siswa terhadap guru. Dimana siswa tidak lagi menganggap guru sebagai panutan, seorang yang memberikan ilmu dan pengetahuan yang patut di hormati dan disegani. Seperti yang terjadi pada bulan lalu, seorang siswa berani menikam gurunya sendiri dengan senjata tajam. Siswa tersebut merasa tersinggung karena sang guru menasihatin didepan teman – temannya oleh perbuatannya yang merugikan siswa lain

Persoalannya pun tidak cukup berhenti sampai di sini. Seorang murid yang baru saja diberi pelajaran tentang sopan santun berbicara, ”kalau berbicara harus menghindari kata-kata kotor dan tidak pantas”, tetapi sampai di rumah orang tua siswa tersebut sudah terbiasa berperang mulut dengan mengobral ” nama-nama binantang”, bahkan perilaku keseharian orang tua siswa jauh dari norma sopan santun, seperti; berkata kotor, memukul, menendang, menampar, bertengkar dengan istri, temperamen, mudah marah, tanpa berfikir dan menyadari bahwa perilakunya akan dilihat anak bahkan bisa mempengaruhi perilaku anak untuk melakukan hal yang sama.

Apakah pelajaran moral yang baru didapat di ruang kelas tersebut bermanfaat dan membekas di dalam hati serta alam bawah sadarnya siswa ? Kalau sekedar mengingatnya dan kemudian menuliskannya di dalam buku atau lembar jawaban ketika ujian tiba, mungkin seluruh anak dapat melakukannya, tetapi untuk menjadikannya sebagai sebuah akhlak (kebiasaan) sehari-hari, tampaknya akan sulit terwujud.

Dari berbagai kasus di atas menunjukkan betapa pentingnya peran orang tua, dan guru selaku pendidik di sekolah untuk secara bersama-sama membimbing, mendidik, dan membina anak agar dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya, dan terhindar dari segala bentuk pengaruh yang bisa menyesatkan siswa dalam perkembangannya.

“Bagaimana cara mengembalikan respect siswa terhadap guru?” Merupakan pertanyaan yang tepat daripada “Bagaimana cara mengatasi menurunnya respect siswa terhadap guru?”. Karena masalah ini telah menjadi masalah umum didunia pendidikan masa sekarang.

Guru harus mempunyai strategi atau cara untuk mendapatkan rasa hormat (respect) siswa, agar proses belajar mengajar berjalan dengan baik. Dalam hal ini pembentukan karakter harus dibentuk sejak awal agar nantinya menghasilkan murid yang unggul dan berkarakter.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga guru bisa kembali mendapatkan tempat di hati para siswanya, sehingga siswa pun respect. Sukses selalu Pak..Mari tanamkan kembali karakter menghormati sesama pada siswa-siswa kita. Barakallah

17 Mar
Balas

Ulasan yang bagus...mantap...salam literasi pak Guru

17 Mar
Balas



search

New Post