Rijal Kamaluddin Husaeni

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
SATU HARI DI PAPANDAYAN

SATU HARI DI PAPANDAYAN

Guyuran hujan yang cukup deras menemani perjalanan kami kala itu. Bis pariwisata yang kami tumpangi perlahan merangkak, menembus kabut yang intensitasnya semakin tebal. Jarak pandang yang tersisa pun semakin berkurang. Dari balik jendela yang bertirai embun, samar-samar kulihat jurang lebar menganga di samping jalan, memaksa Pak Supir untuk mengurangi laju kendaraan. Bait-bait doa dan harapan tak henti-hentinya kami panjatkan. Allāhumma yassir wa lā tu’assir.

Pukul tujuh pagi, hujan pun mulai reda. Bis berhenti di area parkir yang masih berselimut kabut. Papan ucapan selamat datang menyambut kedatangan kami. Perlahan semburat sinar mentari menembus daun-daun Cantigi yang menari tersapu angin. Betapa sumringahnya murid-muridku. Meski dingin makin merasuk hingga tulang rusuk, kami tetap bergegas, berlari menuju halaman pendopo di ujung parkiran. Selamat datang di Gunung Papandayan!

Kami pun berdiri membentuk lingkaran. Kepala kami tundukkan sejenak seraya kembali gumamkan dzikir dan doa. Tekad sudah bulat. Tak lama waktu berselang, kami mulai melangkah, tinggalkan ribuan jejak di tanah yang kadang berpasir dan berbatu, kadang pula berlumpur dan berair. Terjatuh dan terpelesetpun menjadi hiburan yang semakin menambah keseruan di sepanjang jalan. Lelah menjadi tak terasa. Sering kali kami beristirahat sambil menikmati panorama, tak lupa abadikan cerita dengan berfoto bersama. Keringat sudah membuat baju kami basah kuyup, dehidrasi tak tertahankan. Air minum kemasan menjadi penawar dahaga yang entah kenapa saat itu terasa lebih nikmat dari biasanya.

Dari tempat kami istirahat, kepulan asap tebal dari arah kawah sudah mulai terlihat. Angin yang cukup kencang mengantarkan aroma khas belerang dan gas dihidrogen sulfida ke arah kami. Tak jarang aroma ini menjadi bahan gurauan di antara kami. Setelah dirasa tubuh sudah kembali bertenaga, semua kembali bergegas. Tidak sampai tiga puluh menit, kami pun tiba di tempat tujuan. Kulirik altimeter di pergelangan tangan kiriku, rupanya kami sudah berada di ketinggian 1.850 meter di atas permukaan laut. Pantas saja udara terasa semakin dingin. Aroma khas belerang dan gas dihidrogen sulfida semakin menyengat, memaksa kami untuk memakai masker penutup hidung.

Murid-muridku masih tetap semangat. Hal ini terlihat jelas dari sorot mata mereka yang tak pernah layu. Perjalanan pun dilanjutkan kembali. Kali ini Pondok Saladah dipilih sebagai tempat untuk agenda utama. Segala macam perlengkapan dipersiapkan. Mulai dari spatula, tripod, segitiga porselen, cawan penguap, pembakar spiritus, termometer, hingga kertas lakmus. Tidak lupa lembar kerja pun mereka isi secara seksama. Tak jarang berbagai pertanyaan seputar teknik observasi mereka lontarkan kepadaku.

Setelah pengarahan dariku dirasa sudah cukup jelas, mereka berlarian kesana kemari mencari titik strategis untuk melakukan observasi. Namun, rupanya semua bergerak menuju satu titik yang sama. Hamparan belerang dengan warna kuning cerah begitu mencuri perhatian. Belerang rombik. Begitu mereka menyebutnya. Aku bangga dan sama sekali tak menyangka, ternyata mereka lebih rajin dari yang aku kira. Dalam perjalanan ini, pembagian tugas sudah mereka atur sedemikian rupa. Ada yang memegang cawan penguap, ada yang memegang termometer, ada yang menyalakan pembakar spiritus, ada pula yang bertugas mendokumentasikan kegiatan dari awal hingga akhir. Bahkan ada pula yang bertugas menjadi petugas kesehatan lapangan. Luar biasa!

Perlahan belerang kuning dalam cawan penguap mulai memerah. Murid-muridku bersorak kegirangan, lalu berlarian menghampiriku untuk memamerkan keberhasilannya. Setelah dipanaskan hingga 95°C, kini belerangnya sudah berubah menjadi belerang monoklinik, suatu bentuk lain dari unsur belerang di alam. Inilah alotropi, proses perubahan bentuk suatu unsur dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain.

Tanpa harus disuruh, murid-muridku mencatat semua hasil pengamatan. Nyaris tak ada satu pun yang terlewatkan. Belajar sains bukan berarti hanya melakukan percobaan tanpa mencatat. Rupanya mereka masih ingat betul petuah Imam Syafi’i yang selalu aku sampaikan di kelas. Ilmu pengetahuan itu laksana binatang buruan, ikatlah dengan mencatatnya.

Sorot binar bahagia nampak jelas di raut wajah mereka. Senyum tetap merekah hingga langkah kaki membawa kami kembali ke parkiran. Bunga-bunga abadi dan pesona Hutan Mati menghiasi rute perjalanan kali ini.

Aku bukanlah peramal, tapi aku tahu persis bahwa dalam hati mereka bergumam, belajar kimia tidak harus selalu terpenjara di belakang meja laboratorium, juga tidak harus selalu tersekat dalam ruang kelas dengan dinding beton yang kokoh lengkap dengan pintu serta jendela. Melalui semesta, Tuhan anugerahkan segala yang kami minta. Dan satu hari di kaki langit Papandayan kala itu, sudah menjadi bukti.

14 Januari 2017/16 Rabi’ul Akhir 1438

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Udah bagus kok pak tulisannya...keren banget

04 Mar
Balas



search

New Post