Rina Marleni

Rina Marleni lahir di Balingka, Kec. IV Koto Kabupaten Agam, Sumatera Barat tanggal 15 Februari 1983. Saya merupakan anak ke empat dari tujuh bersaudara...

Selengkapnya
Navigasi Web

TERPURUK

Pagi ini aku termangu, ditemani hembusan angin yang semilir, tak ku dengar hiruk pikuk suara anak manusia, hanya burung dan ayam yang senantiasa menggugah orang untuk segera beranjak dari peraduan. Aku terus menghela napas dengan perlahan, mencoba menitipkan sesak di dada pada pagi yang berlalu. 2 tahun ku tinggalkan desa ini, bukan waktu yang terlalu lama dan juga bukan waktu yang terlalu singkat ku rasa. Namun desa ini seolah-olah telah ku tinggalkan berpuluh-puluh tahun. Begitu banyak perubahan yang ada, bukan perubahan pembangunan, bukan perubahan kearah kemajuan, tapi perubahan peradaban.

Masih terbayang peristiwa semalam, dikala aku berdiri dibalik tembok salah satu rumah guru yang ku tempati, aku menyaksikan segerombolan siswaku bermain gitar bernyanyi dan mercengkrama dengan sangat riang gembira. Air mataku mulai menetes dikala menyaksikan kegembiraan itu ditemani dengan gepulan-gepulan asap dari mulut mereka. Mereka bukan dua atau tiga orang, namun hampir mendekati angka lima belasan. Aku termangu, tak sanggup menyapanya, salah seorang siswa yang sadar atas kehadiranku membuang batangan yang dipegangnya dan memberi tau teman yang lain. Aku tak berkutik, mencoba menenangkan diri, mencoba menata perasaan yang berkecamuk dalam dada. “Ini malam pertamaku di sini” setelah sekian lama, mereka siswaku yang memang belum aku kenal. Aku tak mau jadi “MONSTER” yang ditakuti, yang dihindari dan ditinggal pergi. Aku ingin menjadi “orang tua, kakak dan teman” bagi mereka.

Aku kembali menghela nafas yang semakin berat, mencoba mengusir gundah ini dengan menyaksikan perbukitan dengan pepohonan yang hijau. Aku masih tak percaya, separah itukah, sejauh itukah aku harus menjemput mereka. Tak lagi ku temukan wajah polos mereka, sopan santun dan keramahannya. Hatiku begitu perih...

Apalagi setelah ku dengar cerita beberapa orang siswaku yang telah tamat “bu, di sekolah sekarang sudah ada siswa yang berani menghisap lem”.... asta’firullahal’azim... aku terasa tak berpijak dibumi. Semalaman aku tak bisa tidur, mengingat semuanya, memikirkan jika aku kembali ditempatkan di sini, apakah aku sanggup???

Saat ini aku kembali bukan untuk mengajar, hanya menghadiri sertijab kepala sekolah yang lama dengan yang baru. Aku sangat bersemangat untuk datang kesini, melepas rindu pada suasana desa dan sekolah yang telah ku tinggalkan karena tugas belajar. Mumpung ada moment yang pas. Di saat baru datang saya sangat haru sekali dengan sambutan bapak-bapak dan ibu-ibu yang sangat ramah, menanyakan kondisi saya dan kapan kembali ke sekolah. Saya hanya tersenyum dan menjawab “Insya Allah, SK saya akan keluar paling lama bulan Desember”. Ku saksikan kegembiraan terpancar dari wajah mereka “Alhamdulillah, ibu bisa kembali kesini, kasian anak-anak bu, selama ibu tak di sini. Aku kembali tersenyum dan tak memikirkan apa maksud mereka,ooo... mungkin hanya sekedar basa-basi. “semua guru sama saja bu, toh masih ada teman-teman yang lain yang menggantikan saya”.

Aku masih tak tercaya, ternyata itulah maksud mereka dengan perkataan “kasian anak-anak”... ah.. kenapa aku tak jeli. Malam kedua aku di sini, aku sengaja keluar rumah sehabis magrib, aku masih tak percaya dengan ini. Aku akan selidiki lagi, mencari tau, apa yang sebenarnya terjadi. Selepas magrib aku membawa seorang siswaku yang kebetulan baru menamatkan kuliah untuk berkeliling sebentar. Jam 7.30 aku keluar rumah setelah pamitan, aku menyaksikan anak-anak sudah membentuk gang-gang. Mereka berkelompok, mengobrol, tertawa bersama dengan sesekali mengepulkan asap ke udara. Aku terus berlalu, aku hanya menanyakan anak yang dilihat tadi kelas berapa, dan mereka adalah siswa mulai dari sekolah SD sampai SMA, ada yang tidak sekolah lagi. Mereka bukan hanya geng laki-laki, tapi juga ada geng perempuan, bahkan ada yang berbaur antara laki-laki dan perempuan. Dalam hati aku bertanya-tanya “sanggupkah aku jadi guru di sini?”. Kemana orang tua mereka, kemana mamak dan datuknya, kemana perangkat nagarinya?? Sehingga anak-anak dibiarkan keluar malam seperti ini?

Aku tak menemukan jawaban itu, hanya air mata yang terus menetes di pipiku. Inikah generasi yang akan memimpin 20-30 tahun lagi???? Ya Allah, apa jadinya?? Sedihnya lagi, malam itu ku lihat seorang siswa ku yang sekarang sudah duduk di bangku SMA dan ku pinta temannya memanggil, tapi dia malah lari menghindar, ku dengar celetukan temannya “sedang mabuk lem dia bu, dia setengah sadar, makanya lari”... Ya Allah, ampuni kami dan jauhkan dari musibah dari-Mu.

“GURU”, kenapa sekarang beban itu terasa sangat berat di pundakku, sampai menyesakkan dada. Sampai terasa ingin ku lepaskan, aku tak sanggup.... Rabbi, aku mohon jangan kembalikan aku kesini, aku tak sanggup.... biarkan aku ke sekolah lain, kondisi apapun akan ku terima, tapi di sini, aku tak mampu meraih mereka yang dulu pernah bersamaku, menyaksikan penyimpangan kelakuan mereka yang dulu begitu baik kala kami bersama. Bebanku terlalu berat...

Akankah air mata ini selalu menetes setiap hari, menyaksikan anak-anakku... anak yang dulunya sangat bersemangat meraih prestasi dan bercita-cita tinggi. Yang ingin meraih impian, membanggakan orang tua... sekarang musnahlah sudah... aku sekarang rasanya ingin menutup telinga ini mendengarkan cerita masyarakat dan informasi dari siswaku yang masih tetap lurus mencapai cita-cita... bu, si A sekarang sudah punya anak... bu, Si B hamil di luar nikah, bu Si C kerjanya setiap malam menghisap lem... bu, si D sudah tak malu lagi merokok di depan umum.... Ya Allah.... mereka anak-anakku... bagaimana ku meraihnya sementara mereka tak bersamaku lagi.

Belum lagi aduan ibu mereka yang mengatakan bu, saya serasa mau bunuh diri ketika mengetahui anak gadis saya begitu... bu, anak saya tidak bisa di larang, kalau di nasehati melawan...

Aku harus apa??

Aku guru mereka.... dulunya...

Aku harus dengarkan semuanya, aku harus terima semua aduan itu... itulah yang harus ku tanggung karena mereka adalah anak-anakku... walaupun itu, dulunya...

Sudah 7 generasi yang ditamatkan dari sini, tempat saya mengabdi dari 2011 sampai 2017, tahun 2016 dan 2017 saya tak menghadiri karena tugas belajar. Banyak sudah perubahan yang ku dapati. Memang tak semua siswaku begitu, ada juga yang kuliah, ada juga yang sudah bekerja, ada yang masih di SMA, namun tak seimbang.

Aku harus menguatkan kakiku dan menggerakkan seluruh energiku agar dapat melalui ini. Aku harus mampu, karena ini tugas mulia. Aku tak boleh menyerah. Aku hanya perlu berusaha dan berusaha. Allahlah tempat ku meyandarkan segalanya. Mudah-mudahan ini dapat ku lalui dengan berjalannya waktu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mereka butuh pundak sekadar merebahkan kepala, mereka butuh sebtuhan lembut tangan bu guru, mereka butuh senyum manis bu guru. Banyak sudah persoalan yang membungkus hidup mereka. Sukses selalu dan barakallahu fiik

18 Apr
Balas

terimakasih bu.. mohon doanya supaya tetap istiqamah

18 Apr

sangat menyentuh

18 Apr
Balas

terima kasih bu...

18 Apr



search

New Post