Rini Marina

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
AKU INI MANUSIA

AKU INI MANUSIA

AKU INI MANUSIA...

Siang itu, hujan rintik-rintik. Angin berdesau kencang. Sehingga kaca jendela bergetar. Daun-daun pepohonan di depan ruang guru berjatuhan. Sebagian teman-teman, sudah pulang. Waktu menunjukkan pukul 13.30 wib. Hujan membuat langkahku terhenti. Aku menunggunya, sampai hujan dan angin reda. Aku melihat, koran radar tergeletak di atas meja. Demi mengisi waktu aku ambil koran itu.

Lambat laun hujan semakin deras. Suasana terasa semakin dingin dan was-was. Maklum daerah kami rawan banjir. Aku melihat ada gambar yang menarik, di koran yang kupegang. Perempuan desa dengan wajah memelas. Kasihan sekali, melihat kondisinya. Kulitnya hitam dan banyak borok. Kemudian aku baca berita itu sampai tuntas.

Suara azan telah berkumandang. Aku menuju musholla, sambil menanti hujan reda. Tidak lama kemudian hujanpun reda. Aku bersama teman-teman bergegas pulang. Sambil menunggu kendaraan umum, aku termenung. Cukup lama aku menunggu bus. Dua puluh lima menit telah berlalu. Bus dari arah barat datang dan menghampiriku. Dalam perjalanan, aku masih memikirkan berita itu. Tak henti-hentiya aku menghela nafas. Aku berpikir, bagaimana dapat membantu penderitannya.

Sesampainya di rumah, aku bercerita pada suami. Dia sangat merespon ceritaku. Aku mencari waktu yang tepat untuk menemuinya. Tujuanku ingin meringankan bebannya. Kebetulan suamiku menemukan herbal yang dapat membantunya. Selain itu, kami juga mempunyai wadah berbadan hukum. Sejak tahun 2010, kami mendirikan forum peduli HIV/AIDS.

Menunggu hari minggu tiba, terasa sangat lama. Aku sudah tidak sabar lagi. Ingin rasanya segera mengetahui kondisinya. Suamiku mencari tahu alamat rumahnya. Sesaat, ia bertemu dengan wartawan yang meliput. Teyeng, nama wartawan yang meliputnya. Dia mengajak suamiku ke rumah perempuan itu. Kondisinya mbak Sri, benar adanya. Bahkan lebih parah dari pemberitaan kemarin.

Hari-hari yang ku tunggu akhirnya datang juga. Pagi itu aku telah mempersiapkan barang yang akan ku bawa. Satu tas plastik herbal, kue dan jajanan untuk anaknya. Satu jam kemudian, kami tiba di rumah mbak Sri. Sungguh iba aku melihat rumahnya. Pintunya terbuatt dari bambu yang dibelah. Jadi tidak memungkinkan untuk di ketuk.

“Assalamu’alaikum, mbak...,” ucapan salamku dengan suara agak keras. Khawatir suaraku tidak terdengar.

“Waalaikum salam,...,” suara parau mbak Sri dari balik dinding. Sontak saja aku seakan tidak percaya. Saat melihat keadaannya. Ia mengenakan kaos berwarna kuning. Kemudian celana kolor pendek merah hati. Sebenarnya, kaos dan celananya sudah tidak layak pakai. Akan tetapi apa hendak dikata. Itulah keadaan yang dialaminya. Lebih prihatin lagi, ketika melihat cara jalannya. Mbak Sri, tidak dapat berjalan dengan kedua kakinya. Akan tetapi ngesot untuk menemui kami. Tak terasa air mata menetes dan membasahi pipi ini. Aku benar-benar iba melihat kondisinya. Tulang belulangku lemas melihatnya.

Mbak Sri, sosok perempuan desa yang tabah. Ia tidak mau mengeluh pada siapapun. Bersama anak bungsunya, mereka hidup di pinggiran sungai bengawan Solo. Semenjak suaminya sakit ia ditinggal begitu saja. Mbak Sri mempunyai tiga anak. Anak pertama dan kedua perempuan. Namun keduanya sudah diadopsi oleh paman-pamannya. Mereka sudah tidak satu daerah lagi. Saat ini mbak Sri hanya hidup bersama si bungsu.

Kehidupannya jauh dari keadaan mampu. Rumah yang ditempati sangat memprihatinkan. Siapapun yang berkunjung, pasti akan berpikir sama. Karena kita tidak dapat membedakan. Mana tempat tidur, ruang tamu ataupun dapur. Tiang dan dindingnya terbuat dari, bambu yang telah rapuh. Berlantaikan tanah. Seperti itulah kondisinya. Anak bungsunya, biasa dipanggil Aril. Ia baru berusia empat tahun.

Kehadiranku disambut dengan tangan terbuka. Mbak Sri, seakan tidak percaya. Jika ada orang yang mau ke rumahnya. Selama ia sakit, keberadaannya dianggap tiada. Masyarakat sekitar sudah tidak mau lagi melihatnya. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya.

“Ternyata, masih ada orang peduli denganku. Kenapa mereka berani menjenguk ke gubuk reyotku.” Gumam mbak Sri. Sambil mempersilahkan duduk.

“Dimana harus duduk,” pikirku sesaat. Tak ada kursi sama sekali.

Aril memberiku selembar plastik. Dengan segera, aku buka dan duduk bersama.

Derita mbak Sri di musim penghujan. Gubuk berlantai tanah sangat dingin dan lembab. Belum lagi dinding-dindingnya berlubang. Atap rumah yang sudah tidak layak pakai. Banyak genteng bocor. Tak habis pikir aku melihatnya.

Matahari pagi, mengintip di balik celah rumahnya. Seakan ingin mengikuti pembicaraan kami. Aku mulai memperkenalkan diri. Mbak Sri merespon dengan baik. Perlahan, ia bercerita penderitannya.

“Kejadian itu, setahun lalu mbak,” kata mbak Sri padaku.

Aku hanya menganggukkan kepala saja. Kemudia dia meneruskan ceritanya.

“Suamiku seorang sopir truk. Dia berkeliling keman-mana. Bahkan sampai ke luar kota. Saya hanya berdua dengan Aril. Saat ia datang, dalam kondisi batuk. Aku sudah berupaya, namun tidak sembuh. Aku rawat dengan penuh perhatian. Sampai aku bekerja siang malam. Aku bekerja untuk makan dan beli obat. Akan tetapi, usahaku sia-sia. Penyakitnya selalu tambah. Dari hari ke hari justru makin sakit. Terkahir kalinya, dia kubawa ke puskesmas. Menurut dokter, dia kena HIV/AIDS. Suamiku sangat kaget dengan vonis itu. Dia tidak dapat berkata-kata lagi. Aku berjalan menuju ruang obat. Langkahku mulai gontai. Serasa tersambar petir di pagi hari. Ingin rasanya menjerit, namun aku tak mampu. Aku tidak dapat berkat-kata lagi. Bibirku bergetar, saat dokter mengatakan hal itu. Aku berikan secarik resep obat. Kedua petugas saling memandang. Aku tidak tahu kode apakah itu. Tidak lama kemudian, aku diberi obat. Aku diberi kapsul dan pil besar-besar. Tertera tulisan 3 X sehari semua obatnya. Dalam perjalanan pulang, aku hanya dapat menangis.

Sesampainya di rumah, suamiku minta maaf. Aku masih bingung. Namun sudah kumaafkan. Kelihatannya dia merasa bersalah. Dia tak berani memandangiku. Suamiku malu dan hanya diam saja. Seperti biasanya, aku pergi kerja. Menjelang matahari terbenam aku telah sampai rumah. Saat kupanggil dia tidak menjawab. Aku mencarinya, dan bertanya-tanya pada orang sekitar. Tak satupun orang yang tahu kepergiannya. Diam-diam dia meninggalkanku. Hanya ada selembar kertas. Rupanya dia menaruh pesan dikertas itu. Perlahan kubuka, dan kubaca. Ternyata dia berpamitan. Dia berpamitan, dan meminta maaf atas apa yang sudah diperbuat. Disaat sakit malah membebaninya. Aku hanya dapat menangis sendirian. Meskipun aku mengetahui penyakitnya, aku tidak dapat marah. Aku pasrah saja. Jika aku marah, penyakitnya juga tidak langsung sembuh. Aku sudah terima dia apa adanya. Aku tidak akan menyalahkan kesalahannya. Mungkin saat itu, dia tidak dapat mengendalikan dirinya. Sebenarnya aku mangkel, tapi apa boleh buat. Semua telah digariskan untukku. Mau gak mau aku harus kuat dan menerimanya.”

Untain kata yang terucap dari mulutnya, membuatku terharu. Aku benar-benar salut dengannya. Dia benar-benar perempuan baik. Mana ada, seorang istri yang dapat setegar itu. Saat mendengar suaminya divonis HIV/AIDS. Penyakit yang penyebab terbesarnya hubungan seks. Baru kali ini, aku menemukannya.

Empat bulan melesat dengan cepat. Mbak Sri, mulai tertular penyakit suaminya. Ia merasakan badannya mulai meriang. Akan tetapi, segera sembuh saat dibelikan obat. Karena kekebalan tubuhnya masih bagus. Lambat laun, sistem imunnya menurun. Saat pikirannya sedang kalut. Ia selalu memikirkan suaminya. Hari-hari yang ia lalui penuh dengan kegalauan. Tidak ada tempat untuk berkeluh kesah. Hanya Aril, yang ia miliki saat ini. Putra satu-satunya yang selalu mendampinginya. Aril sangat perhatian dengan ibunya. Keadaan telah mengajarinya menjadi peduli. Pembelajaran hidup yang luar biasa baginya.

Aril sering melihat ibunya menangis. Acap kali, ibunya menangis ia selalu mengusapnya. Ia selalu berkata, “Mak, ojo loro,” (Mak, jangan sakit). Kata-kata itu membuat ibunya luluh. Permintaan yang luar biasa. Anak sekecil itu, hanya meminta ibunya sehat. Ia tidak menutut permainan mahal. Bahkan baju yang dipakai juga seadanya. Sungguh miris melihat keadaan mereka.

Tanpa kusadari, matahari telah bergerak tepat diatas kepala. Hari mulai panas. Aku menyerahkan semua barang bawaanku. Mereka menerimnya dengan senang hati. Mbak sri membuka bungkusan plastik. Satu persatu ia keluarkan semuanya. Dia bertanya padaku.

“Mbak Rina, iki opo?” (Mbak Rina, ini apa?), tanya mbak Sri padaku.

“Iki jamu, mbak. Gawe penyakite sampeyan.” (Ini jamu, mbak. Untuk penyakitmu), jawabku. Kemudian aku menjelaskannya. Mulai dari cara merebusnya. Kemudian aturan minumnya. Tak lupa, aku jelaskan reaksi yang ditimbulkan.”

“Tolong jelaskan lagi mbak. Aku masih belum ngerti. Pikiranku masih bingung,” pintanya padaku.

Maklum saja, jika gak ngerti. Sebab tadi saat ku jelaskan dia menangis.

“Gini ya mbak, ambil empat sendok makan ramuannya. Kemudian masukkan ke dalam panci. Selanjutnya, tambahkan air masak atau isi ulang 1,5 liter. Rebus sampai mendidih. Setelah mendidih, angkat dan diamkan sampai hangat. Langkah terakhir, saring kemudian minum.”

“Iya aku ngerti sekarang,” jawab mbak Sri.

“Oh, ya hampir lupa mbak. Sekarang penanganannya borok. Ambil kapas secukupnya, kemudian basahi dengan air rebusan jamu. Setelah basah, baru diusapkan ke semua luka.” Penjelasanku padanya. Mbak Sri, menganggukkan kepala.

Waktu berjalan dengan cepat. Tidak terasa aku sudah lima jam bersamanya. Sudah cukup lama aku mengetahui keadaannya. Aku mulai mengakhiri pembicaraan.

“Mbak, aku dan suami mau ijin pulang ya. Pertemuan hari ini cukup dulu ya. Semoga hubungan ini, dapat menjalin silaturahmi. Insya Allah, di lain waktu aku tak mampir.” Permintaan pamitku padanya. Suaranya pelan sekali. Dengan kalimat terbata-bata, ia mengucapkan maaf dan terima kasih.

“Pangapunten, yo mbak, mas. Matur suwun, wis dibantu. (Maaf, ya mbak, mas. Terima kasih, sudah dibantu). Ucap mbak Sri, padaku.

Tiba-tiba air matanya meleleh. Aku dekati dia lagi. Sambil membesarkan hatinya, juga memberi saran. “Tolong dijaga lima waktunya ya mbak. Syukur-syukur mau nambahi yang sunat.” Kataku padanya.

“Iya mbak, semampuku akan kulakukan. Terima kasih sudah mengingatkan.” Ia jawab dengan membungkukkan badannya.

“Assalamu’alaikum ...,” ucap salam saat meninggalkannya.

“Wa’alaikum salam warah matulahi wabarakatuh...” ucapnya dengan nada sedih.

Tanpa buang waktu, mbak Sri langsung merebus jamunya. Ia ingin segera pulih seperti sedia kala. Ia tidak ingin dimaki dan dikucilkan masyarakat. Terlebih dibenci oleh sanak saudaranya. Selama ini, ia tidak mempunyai dukungan moril dari keluarganya. semua penderitaan harus ditanggung sendiri.

Sungguh tragis memang, kisah hidupnya. Namun, ia harus tetap kuat menjalaninya. Demi anak-anaknya tercinta ia harus bertahan. Mbak Sri, yakin sekali bahwa ini ujian dari Allah S.W.T.

“Seberat apapun, cobaan yang diberikan Allah, pasti akan ada solusinya. Ia sangat yakin bahwa, Allah tidak akan menguji dibatas kemampuan hamba-Nya.” Tuturnya dalam hati dengan penuh keyakinan,” jika Allah S.W.T memberi sakit pasti akan memberikan kesembuhan. Akan tetapi, jika dapat menerima dengan sabar dan ihlas”. Seperti yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam shahihnya, sahabat Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda :

مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شَفَاءً

“Tidaklah Allah turunkan penyakit kecuali Allah turunkan pula obatnya”

Dari riwayat Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah, dia berkata bahwa Nabi bersabda :

لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاءُ الدَّاءَ، بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuhkan dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)

Manusia tidak boleh pesimis, jika sedang diberi ujian oleh Allah S.W.T. supaya tidak menjadikan dirinya terjerumus. Sesungguhnya masalah, merupakan proses pendewasaan diri. Bahkan sebagai sarana, proses spiritual yang lebih tinggi. Dengan adanya masalah, kita semakin mendekatkan pada keagungan-Nya. Salah besar, jika sedang ditimpa musibah, kemudian berulah. Bahkan tidak dapat menerimanya. Allah memberi cobaan, hanya untuk menguji hamba-Nya. Seberapa jauh tingkat keimanannya.

Semilir angin menerpa pepohonan. Dedaunan kering nan rapuh mulai berjatuhan. Keyakinan akan kebesaran-Nya sangat luar biasa. Waktu berjalan dengan cepatnya. Tiada terasa, sudah dua minggu, aku bertandang ke rumah mbak Sri. Semua saran yang ku sampaikan, dijalankan dengan baik. Menjelang subuh, mbak Sri terbangun dari tidurnya. Dengan tertatih-tatih, ia menuju ke tungku. Diambilnya jamu serta panci. Segenap raga serta jiwanya, ia curahkan demi kesembuhannya. Ia merebus rutin setiap pagi hari. Dedaunan ampas jamu, ia rebus kembali. Air yang digunakan lebih banyak. Setelah mendidih, jamu disaring. Kemudian ia menaruhnya di ember plastik. Air rebusan jamu, ditambah beberapa gayung air. Ternyata ia rutin menggunakannya untuk mandi pagi. Aku tidak pernah mengetahui sebelumnya.

Hembusan angin, menerpa sekujur tubuhnya. Kumandang azan subuh, terdengar jelas. Sehabis mandi dengan air hangat, ia menunaikan kewajibannya. Mbak Sri, hanya mampu sholat dengan cara duduk. Tak lupa ia selalu berdoa dan memohon kesembuhan dari-Nya. Ia rutin minum herbal yang direbusnya.

Kulitnya dulu kusam dan hitam. Dipenuhi dengan luka serta borok. Kini sudah mulai tampak lebih bersih. Nanah yang disertai lendir keluar dari luka-lukanya. Namun sekarang luka serta boroknya telah tidak lagi. Tinggal pemulihan pada kulitnya. Senyumannya, sudah mulai manis. Ia semakin yakin, akan agungan-Nya. Bahwa lambat laun pasti sembuh. Pikirannya selalu positif. Lantunan doa-doanya hanya memohon kesembuhan.

Rasa sakit yang ia rasakan setiap malam, mulai meninggalkannya. Semua persendian sudah tidak lagi, kaku, nyeri dan sakit. Mbak Sri, mulai belajar berjalan. Uluran tangan mungil, membuatnya semangat berlatih jalan. Aril selalu mendampingi emaknya. Ia selalu siap untuk menerima perintah. Semua kata-kata emaknya ia ikuti.

Kegigihannya mulai membuahkan hasil. Tiga minggu, waktu yang sangat singkat. Mbak Sri sudah mulai berjalan. Meskixcpun masih tertatih-tatih. Segenap tenaga, pikiran serta keyakinannya ia kumpulkan. Dengan tujuan, dapat menjalani hidup dengan normal. Semangatnya telah membakar jiwanya. Sehingga dapat memicu kesembuhannya. Acapkali aku pantau dia via telepon. Berbagai masalah ia ceritakan padaku. Hanya kata-kata motivasi, yang selalu kusampaikan. Untuk menenangkan hatinya. Sistem imunnya akan stabil, jika hati dan pikirannya tenang. Dia selalu berceloteh tentang hidupnya.

“Mbak, aku gak mau dihina dan dimaki-maki orang. Setiap pagi, aku selalu berjemur di depan rumah. Orang-orang yang lewat depan rumah, selalu menyindirku. Bahkan tidak jarang, dari mereka langsung menghina. Kata-katanya sangat menyakitkan. Aku ingin segera sembuh, biar gak diejek lagi. Aku hanya kasihan sama Aril. Ia masih terlalu kecil. Untuk menanggung beban orang tuanya. Aku iba melihatnya. Semua teman-temannya dilarang bermainnya. Setiap hari ia hanya di rumah saja. Menghabiskan waktunya hanya denganku. Sungguh nelangsa hatiku. Aku tidak dapat membahagiakannya.” Penuturan Sri padaku.

Mendengar beban mentalnya. Aku hanya dapat menggelengkan kepala. Seakan tidak percaya dengan apa yang sudah ku dengar. Satu hal yang membuatku tak habis pikir.

“Mengapa masyarakat harus mengucilkannya? Bahkan sanak familinya ikut menghindarinya. Bukankah ini kewajiban bagi kita? Untuk saling membantu dalam hal kebaikan? Justru yang terjadi malah sebaliknya.

Sebulan telah berlalu. Aku berusaha rutin, meluangkan waktu untuk menjenguknya. Hembusan angin sungai bengawan solo, menyambut kedatanganku. Siang itu cuaca sangat bersahabat. Melihat kedatanganku, mereka langsung menemuiku. Mbak Sri, sudah mulai dapat berjalan dengan normal. Tinggal mulutnya yang masih berjamur. Lantas ia menceritakan pengalamannya, selama konsumsi herbal “SRIAJI”. Sambil bercerita, aku perhatikan wajahnya sekarang lebih bersih dan berseri.

“Mbak, sebelumnya aku minta maaf ya.” Kata Sri padaku

“Ada apa? kok minta maaf,” tanyaku padanya.

“Aku merebus herbalnya tidak sesuai sarannya.” Sri, menjawab dengan sunkan. Mungkin khawatir aku tersinggung.

“Ya, gak apa-apa, mbak. Asal kuat menahan reaksinya. Saat proses penggelontoran, racun atau virus dalam tubuh terasa sakit.” Jawabku dengan penuh penjelasan. Sri, menganggukan kepala.

“Kemarin itu, langsung ku rebus mbak jamunya.” Selanjutnya ia menjelaskannya padaku.

“Pertama kali minum, biasa saja. Setelah sepuluh menit berlalu, sudah bereaksi. Rasanya ingin buang air kecil terus. Lagi-lagi aku ke belakang. Tiga jam kemudian aku minum lagi. Reaksinya macam-macam mbak. Menurutku jika semakin banyak minum, maka akan lebih cepat sembuhnya. Aku tidak mengikuti aturannya. Aku minum segelas besar lagi. Dalam waktu singkat, mataku sudah mulai sulit untuk dibuka. Rasa kantuk yang sudah tak tertahankan. Aku tergeletak dan tidur nyenyak sekali. Selama sakit aku, jarang dapat tidur. Setelah bangun badan enak dan segar. Setiap hari seperti itulah aku meminumnya. Rebusan jamu ini selalu ku minum rutin.

Ampasnya sayang sekali jika harus dibuang. Dari pada dibuang sia-sia, kurebus lagi, mbak. Langsung aku tambahi air dua gayung. Kalau sudah mendidih, kucampur dengan air satu ember besar. Kemudian aku pakai mandi. Luka-lukaku terasa celekit-celekit. Setelah itu rasa gatalnya hilang. Biasanya kalau gatal digaruk sampe berdarah saja masih gatal sekali. Rasa gatalnya, jika digaruk semakin lebih gatal. Bekas garukan yang hebat akan menjadi luka. Luka tersebut akan berubah hitam dan kusam di kulit.

Mataku sebulan lalu luka dan ada benjolan berlendir. Hanya main keyakinan saja mbak, kemudian aku kompreskan. Ternyata setelah dua hari, mulai mengempis. Lendir yang selalu keluar, dan bau sekarang sudah mengering. Aku sudah gak malu lagi kalau berjemur di depan rumah. Heemmm......Alhamdulillah pokoknya. Aku nggak dapat balas apa-apa mbak. Setiap hari kok hanya mengatakan matur suwun terus. Bagaimana lagi, inilah kenyataan hidupku. Aku pasrah, bahwa doaku selalu di dengarkan Allah. Semoga melalui sampeyan, aku diberikan kesembuhan dari-Nya. Sekarang keadaanku mulai membaik. Aku yakin akan segera sembuh.” Tutur Sri, dengan nada penuh keceriaan.

Lega rasanya mendengar penjelasannya. Alhamdulillah..... usahaku tidak sia-sia. Dapat membantu orang yang sangat membutuhkan. Meskipun belum sembuh total. Akan tetapi sudah 70 persen menuju ke arah kesembuhan. Bukankah semua yang ada di alam ini berproses? Begitulah indahnya berproses. Kepuasan hati, bukan terletak pada banyaknya materi. Akan tetapi, seberapa banyak dapat bermanfaat bagi yang lainnya.

Kala mentari pagi telah bersinar. Menghangatkan seluruh kehidupan bumi. Waktupun berjalan dengan cepatnya. Tak terasa sudah enam bulan berlalu. Kondisi mbak Sri sudah normal. Ia sudah melakukan aktivitas seperti sebelum sakit. Setiap hari ia berkeliling menawarkan jasanya. Sayang semua menolaknya. Mereka sudah tidak ada yang mau menerima bantuannya. Ia pulang dengan tangan kosong.

Angin malam berhembus lembut. Meski begitu, tetap saja menusuk kulit. Dalam benaknya ia berpikir. Bagaimana memenuhi hidupnya sehari-hari. Sri, juga ingin membahagiakan anak bungsunya. Pada akhirnya, ia menemukan ide berjualan nasi bungkus.

Kumandang azan subuh mulai terdengar. Ia segera menyudahi pekerjaannya. Kemudian berkesiap mandi dan menunaikan sholat subuh. Pagi yang cerah, telah mengiringi langkahnya. Sri memboncengkan putranya. Dengan segenap tenaga ia kayuh sepeda bututnya. Hanya itu yang dapat dipakainya. Tas tempat nasi bungkusnya ditaruh di setir. Selama perjalanan ia ngobrol dengan Aril. Semua itu ia lakukan untuk menghiburnya. Ia tidak mau anaknya sedih dan merengek. Aril bocah pintar dan mengerti keadaan. Apapun kondisinya asal bersama emaknya ia sudah bahagia. Sampailah, mereka di tempat tujuan. Satu persatu nasi bungkusnya terjual. Ia hanya membuat dua puluh bungkus saja. Hampir selama dua jualannya habis.

Berkali-kali Sri mengucapkan Alhamdulillah, sambil memegangi uangnya. Aril pun terlihat senang. Ia dapat melihat emaknya tersenyum. Sebagian uangnya ia sisihkan. Sebagian lagi dibelanjakan bahan untuk jualan besuk. Hari-hari semakin indah. Sri, mulai bangkit dari keterpurukannya. Ia merasa dirinya sudah tidak hina lagi. Namun, masyarakat di desanya belum dapat menerimanya. Ia masih mendapat cap sebagai Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Mereka tidak percaya, jika Sri sudah sembuh. Padahal mereka dapat melihat, kondisinya Sri, yang sekarang.

Setiap pagi mereka menyusuri kota, sambil menawarkan dagangannya. Sampai dua minggu berlalu, barang dagangannya masih laku. Meskipun tidak banyak uang yang di dapat. Akan tetapi cukup untuk hidup sehari-hari. Dalam kondisi apapun, ia tidak pernah meninggalkan sholat. Aril selalu diajak ikut serta sama emaknya. Kehidupan mereka cukup bahagia.

Kabut di pagi buta menyelimuti desanya. Mereka menerobos dinginnya udara pagi. Hanya kebahagiaan yang dinanti. Kebahagiaan yang mereka dapatkan, tidak membuat orang lain suka. Rasa iri telah menyelinap di hati sanubari. Tetangga sebelah sangat membenci Sri dan anaknya. Apapun akan dilakukan untuk menjatuhkannya. Dari hari ke hari, ia membuntuti Sri dan anaknya. Untuk mencari tahu. Ia tidak ingin Sri dan anaknya bahagia. Orang yang suka iri akan berprinsip SMS. Senang melihat orang susah dan Susah melihat orang senang.

Seperti bisanya mbak Sri menjajakan dagangannya. Orang yang tidak suka dengannya telah menyebar kabar. Dengan terang-terangan dia mengatakan. “Hei, bapak-bapak penjual miskin ini kena HIV/AIDS. Kalian kok mau makan. Apa tidak takut dengan makanannya. Orang ini kemproh (jorok). Apa gak jijik beli nasi bungkusnya. Badannya dulu banyak borok dan bau.” Tetangganya, mengatakan dengan berapi-api.

Pelanggannya tidak lain para tukang becak. Mendengar pernyataan tersebut, mereka tidak jadi membelinya. Sambil mengembalikan nasi bungkus, para pelanggannya memaki-makinya. Nasi bungkusnya utuh dan ada beberapa yang di injak-injak. Hancur sudah, impiannya saat berangkat. Sri dan Aril, bergegas meninggalkan kerumunan itu. Ia kayuh kembali sepedanya. Sulit mencari pembeli seperti biasanya. Dengan penuh semangat, mereka tetap menawarkannya.

Tidak terasa terik mentari telah menyengat tubuhnya. Mereka tetap berkeliling sambil meneriakan.

“Nasi bungkus....... nasi bungkus.....,” teriak Sri dan anaknya bersautan.

Tidak satupun nasi bungkusnya yang laku. Sri, memutuskan untuk pulang. Ia pacu sepeda pancalnya, sambil menangis. Air mata kekecewaan sudah tidak kuat dibendungnya lagi. Seketika itu, kerja keras serta semangatnya hilang. Hatinya serasa teriris-iris dan pilu.

“Ya Allah, kenapa aku masih dijuluki odha? Aku sudah hidup normal. Aku sudah seperti kebanyakan orang. Kenapa mereka tidak mau melihat kenyataan. Disaat aku sakit dahulu, mereka boleh takut. Mereka boleh kalut melihatku. Akan tetapi, sekarang sudah lain ceritanya. Aku sudah pulih dan sehat. Badanku sudah normal lagi. Dokter juga mengatakan, bahwa aku sudah sembuh. Setiap bulan aku selalu kontrol. Namun, dokter spesialis bilang aku sudah sembuh. Akan tetapi aku belum percaya. Aku akan selalu kontrol. Sampai ada keterangan aku negatif dari virus.

“Apa salahku, Tuhan?”

“Kenapa, Engkau berikan kesengsaraan dan cobaan tiada henti?”

“Sampai kapan aku harus menderita? Sampai kapan hidupku terpuruk. Aku hanya punya Aril. Dia anakku satu-satunya. Kenapa harus menanggung resiko dosa orang tuanya.” Pertanyaan, Sri dalam hatinya”.

Saat sakit hina. Sudah sembuh pun masih tersingkir. Mbak Sri, sangat mengeluh dengan beban yang dihadapinya. Pertanyaan itu berputar-putar dalam hati serta pikirannya. Sri, segera menyadarinya dan segera beristigfar memohon ampun atas kesalahannya. Ia sadar dengan cobaan yang sedang dijalaninya. Sri, merasa bersalah telah protes atas hidupnya.

Sengitnya persaingan hidup, telah membutakan mata hati manusia. Mereka melakukan apa saja, demi memenuhi keinginannya. Kepedulian terhadap sesama sudah mulai pudar. Mereka hanya memikirkan dirinya serta kelompoknya. Lebih parahnya, melalaikan kebesaran Allah S.W.T.

Ketika manusia mengeluh, dengan bertanya-tanya dalam hatinya. Mengapa saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan (berupa kesehatan)? maka Allah SWT, menjawab dengan firman-Nya :

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat mbakruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. 2:216).

Dan ketika manusia mendapat cobaan berupa penyakit, kemudian ia bertanya : “Mengapa ujian (penyakit) seberat ini?” selanjutnya, Allah berfirman bahwa :

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. 2:286)

Setelah berusaha dan berdoa, namun ujian (penyakitnya) belum mendapat kesembuhan maka, manusia mulai putus harapan. Kemudian ia mengatakan dalam hatinya mengapa ujian (penyakit) ini tidak kunjung sembuh?, dengan kebesaran-Nya Allah berfirman :

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. 3:139)

Embusan nafas panjang, yang Sri rasakan tak tertahankan. Beban yang ditanggung sungguh luar biasa. Aku tepuk pundaknya, sambil menguatkan hatinya. “Mbak, sampeyan pasti mampu menghadapinya. Berbagai masalah sudah terlewati. Aku yakin masalah ini juga lebih mampu. Jangan pernah lalaikan sholat lima waktu. Allah bersama dengan orang-orang yang sabar. Insyaallah, kalau ada sesuatu gak usah sungkan. Telpon saja ya.” Tuturku padanya.

Mentari pagi bersinar dengan cerahnya. Mengahangatkan tubuh yang sedang jalan pagi. Keringat bercucuran membasahi wajahnya. Tidak henti-hentinya Sri, mengucapkan syukur. Dia sudah benar-benar sehat. Waktu yang dinantikan telah tiba. Pada bulan kesembilan, ia pergi ke rumah sakit. Seperti biasa, ia cek kesehatannya. Tiba-tiba dokter spesialis, memberikan sebuh amplop. Ternyata hasil tes bulan lalu. Dokter memberikan ucapan selamat. Hasil tes yang diperoleh keterangannya non reaktif.

Kebahagiaan menghiasi raut wajahnya. Sri, seakan tidak percaya. Bahwa dia sekarang sudah bebas dari virus HIV/AIDS. Tangisan haru, meleleh dari matanya. Tak pedulikan keadaan, ia langsung sujud syukur.

“Dokter, terima kasih ya. Selama ini sudah membantuku.” Ucap Sri, pada dokter spesialis.

Sambil menganggukan kepala dokter menjawab “Sama-sama, semoga tetap sehat. Jaga kesehatan baik-baik.”

Sri dan Aril bersalaman dengan pak dokter. Mereka meninggalkan ruangan penuh kebahagiaan. “Alhamdulillah...yaa Allah. Akhirnya aku terbebas dari virus. Semoga dengan sembuhnya aku hidupku lebih berarti.”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

warbiyasyah, mbrebes mili membacanya

28 Feb
Balas

Saget mawon pak leck

18 Oct

Matoh bu Rini

28 Feb
Balas

Suwun bu

18 Oct

Kok apiiuk tenan tapi blum baca semua

05 Apr
Balas

Thanks

18 Oct

Terus menulis Mbak Rina,,, Kami tunggu Cerita Selanjutnya,,,

18 Oct
Balas

Insha Allah mas

18 Oct

Ibu, ini kisah nyata ya....

23 Mar
Balas

Ibu, ini kisah nyata ya....

23 Mar
Balas

Iya bener tapi saya buat fiksi

10 Apr



search

New Post