Rini Marina

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
DERITAMU ULAH BAPAKMU

DERITAMU ULAH BAPAKMU

DERITAMU ULAH BAPAKMU

Perjalanan hidup manusia, seperti air sungai yang mengalir. Menyusuri bebatuan, kadang sulit ditebak kedalamannya. Rela membawa sampah dan apapun yang ada. Hanyut dan larut terus. Tanpa pernah tahu kapan berakhir. Tanpa terasa telah bermuara di laut. Seperti itulah pasang surut kehidupan manusia. Di saat diberikan kenikmatan, banyak yang melalaikan. Ketika kesengsaraan datang, baru menyadarinya. Bahkan ada sebagian, makin menjauhi-Nya.

Terpaan badai kehidupan silih berganti. Satu persatu masalah datang mengahampirinya. Ditinggal pergi suami, kemiskinan, makian serta penyakit hina dimata masyarakat. Berbagai ujian telah dapat terlewati. Mbak Sri dan Aril sudah terbiasa hidup miskin. Hidup di bawah hinaan serta makian.

Semangat hidup telah mengubah pola berpikirnya. Sri bersama anaknya tidak lagi lemah. Himpitan kesusahan ekonomi tidak menyurutkan langkahnya. Ia tetap semangat menjalani hari-harinya. Miskin tidak berarti harus mengemis. Tidak pula harus memelas, untuk dikasihani.

Tiupan angin pagi menembus celah dinding. Rasa dingin serasa menusuk tulang belulangnya. Membuat Sri terjaga dari tidurnya. Ia bergegas ke belakang. Tidak begitu lama terdengar suara azan subuh. Sri mencium kening Aril, anak semata wayangnya. Cara membagunkan anaknya. Setiap pagi Aril sudah dibangunkan dan diajak sholat bersama.

Bagi ibu tiga orang anak ini, Aril adalah segalanya. Pengorbanan seorang ibu demi anak tercinta. Sebab hanya Aril saja yang dimiliki saat ini. Rutinitas telah menantinya. Kian hari hidup yang ia rasakan makin sulit. Pekerjaan yang dijalaninya selalu membuat iri tetangganya. Semua itu tak menyurutkan langkahnya. Sri selalu berusaha memperbaiki kondisi ekonominya. Ada saja yang ia lakukan.

Bergulirnya waktu, telah membuat banyak perubahan. Aril telah memasuki usia belajar. Ia ingin bersekolah di Taman Kanak-kanak (TK), dekat rumahnya. Harapan tak semudah impian. Aril ditolak pihak sekolah. Ia tak diperbolehkan sekolah di TK dekat rumahnya. Emaknya tidak dapat menerima begitu saja. Ia pergi ke balai desa. Dengan tergopoh-gopoh, ia melapor pada kepala desa. Sri menceritakan kejadian yang baru dialaminya. Rupanya pak kepala seda, tidak berpihak padanya. Isak tangisnya memecahkan ketegangan. Sri memohon kebijakan, pak kepala desa dan aparat desa lainnya. Akhirnya ia diijinkan sekolah dan bersyarat. Aril harus di tes kesehatan terlebih dahulu. Kepala desa khawatir, jika Aril juga mengidap HIV/AIDS seperti emaknya.

Sri sedikit lega, mendengar persyaratan dari pak lurah. Sri berjanji akan segera memenuhinya. Ia sudah tidak sabar lagi menunggu esok tiba. Aril hanya terdiam lesu, melihat emaknya gundah. Dia belum memahami penolakan dirinya.

Sinar mentari pagi mengiringi langkahnya. Sepeda mini butut, selalu menemani perjalanannya. Cukup melelahkan dapat sampai ke rumah sakit. Semangat Sri begitu kuat. Apapun ia tempuh, demi kebahagiaan anaknya. Setibanya di rumah sakit, Sri harus antri. Ia menggunakan kartu Jaring Pengaman Sosial (JPS). Berjam-jam ia harus menunggu. Mulai dari periksa hingga menunggu hasil tes.

Detik-detik yang amat mendebarkan, bagi seorang emak. Ia hanya berdoa serta pasrah akan hasil tes anaknya. Sri dipanggil petugas rumah sakit. ia memasuki ruangan dokter ahli penyakit dalam. Degup jantung berdetak makin cepat. Tangan dan kakinya terasa dingin. Tibalah Sri dan anaknya dihadapan seorang dokter di ruangannya. Beberapa saat kemudian, dokter membacakan hasil tes anaknya. Dengan perasaan yang tak karuan ia dengrkan. Hasilnya sungguh mengejutkan sekali. Sri seakan tidak dapat mempercayai begitu saja. Dokter mengatakan bahwa hasil tesnya Aril non reaktif. Lantas hasil tersebut diberikan padanya. Berkali-kali ia baca tulisan non reaktif. Barulah ia merasa lega dan puas. Sri mengucapkan syukur yang tiada terhingga. “Alhamdulillah..... yaa Allah....,” ungkapan syukurnya saat keluar ruangan. Tanpa malu dilihat banyak orang, ia bersujud syukur sambil berkata “Alhamdulillah,” berkali-kali.

Harapan mulia dari seorang ibu, anaknya dapat bersekolah. Ia tidak ingin anaknya ikut terkucil. Mereka bersiap berangkat daftar sekolah. Ia yakin anaknya bakal diterima. Sri dan Aril orang pertama yang datang. Mereka menunggu kehadiran para guru, dengan perasaan tak menentu. Satu persatu mulai berdatangan. Tak satupun, guru dan wali murid yang mau bersalaman. Dengan penuh keberanian, Sri masuk ruang guru. Degup jantung makin berdetak kencang. Ia memberikan syarat yang diminta. “Ini bu, hasil tes anak saya,” kata Sri pada kepala TK.

“Oh ya, saya lupa kemarin. Masih ada yang kurang bu. Surat keterangan dari desa. Surat keterangan jika Aril dapat sekolah di sini.” Kata kepala TK.

Sri hanya menghela nafas panjang. Tanpa berkata-kata mereka meninggalkan ruangan. Sri berjalan menuju ruang kepala desa. Dengan berlinang air mata, ia kuatkan hatinya. Sri menyeka air matanya. Ia tidak ingin pak lurah mengetahui, kalau dia habis menangis.

“Assalamu’alaikum....Assalamu’alaikum...,” Sri mengucapkan salam pada kepala desa. Ruangan kepala desa yang telihat sepi.

“Wa’alaikum salam...,” Jawab kepala desa dari balik dinding ruangan.

“Ada apa mbak, mencari saya,” Tanya kepala desa

“Ini pak hasil cek kesehatan anak saya. Tadi kami sudah ke TK mau daftar. Surat ini saya berikan ke kepala TK. Bu Ratmi menolaknya. Ia minta, surat ini disertai surat keterangan dari desa.” Tutur Sri, sambil matanya berkaca-kaca.

“Pak Pri, tolong buatkan surat keterangan ijin sekolah untuk Aril.” Perintah kepala desa pada sekdesnya.

Setelah menunggu beberapa saat. Sri berhasil membawa surat yang dimaksud.

Cucuran keringat, membasahi tubuh serta wajahnya. Beberapa saat ia menyeka wajahnya. Surat keterangan dari kepala desa, dibawanya. Sekitar sepuluh menit, sampailah surat itu ke bu Ratmi. Jerih payahnya telah membuahkan hasil. Pihak sekolah sudah tidak dapat mengelak lagi. Apalagi menolak Aril untuk tidak dapat sekolah. Perlahan-lahan mulut Sri mengucapkan syukur. Akhirnya ril dapat bersekolah.

Sejak pertama masuk, sudah dipersulit. Kehadiran Sri bersama anaknya menyisihkan duka. Mereka tersisih dari teman-temannya. Setiap anak menjauh dari Aril dan emaknya. Mereka tidak ada yang menghiraukan keberadaannya. Di ruangan Aril duduk terpisah dari teman-temannya. Komunikasi tidak terjalin dengan baik. Aril hanya bersama emaknya di saat istirahat. Bahkan penjual makanan berusaha menghidarinya. Sri tidak kurang akal. Setiap hari ia membawa bekal dari rumah. Anaknya diajari untuk tidak jajan di sekolah. Jajan serta air sudah disediakan. Sri berusaha menutupi keadaan yang dialami anaknya. Ia ingin anaknya tidak terbebani jiwanya.

Satu semester telah berlalu. Hari-hari penuh suka cita, dijalaninya dengan ihlas dan sabar. Setiap pagi Aril selalu diantar ke sekolahannya. Ia tumbuh menjadi anak yang tangguh, berkat didikan emaknya. Sri tidak pernah meninggalkan anaknya seorang diri. Meskipun jarak rumah ke sekolah tidaklah jauh. Hanya 300 meter saja. Sri menunggui Aril sampai pulang. Sebab ia tidak mau jika anaknya disakiti hatinya. Dikucilkan dari teman-temannya sudah hal biasa.

Selepas pulang sekolah, mereka keluar rumah. Berbekal sepeda mini, serta karung plastik besar. Sri bersama Aril mengais rizki dengan mengumpulkan barang bekas. Mulai dari gelas plastik, botol, kertas, ataupun kardus yang dapat dijual di tempat rongsokan. Berhari-hari barang-barang itu dikumpulkan. Seminggu kemudian baru dijual. Kerja selama seminggu hanya menghasilkan Rp. 25.000,- sampai Rp. 30.000,-.

Rintangan demi rintangan telah ia hadapi. Semua itu, demi untuk mendapatan penghidupan yang layak. Penderitaan yang dialaminya, ia jadikan pelajaran berharga dalam hidupnya. Acap kali Aril tertidur pulas, emaknya selalu memandanginya. Wajahnya yang polos membuat pikirannya melayang jauh. Ada banyak hal yang diimpikannya.

Senja menjelang sang surya membenamkan dirinya. Aril pulang dari mengaji di masjid dekat rumahnya. Raut wajah Aril terlihat murung dan cemberut. “Tidak biasanya anakku seperti ini,” keluh emaknya dalam hati. Dengan nada menghibur, emaknya mencari tahu penyebabnya. Namun Aril tidak mau mengaku. Setiap kali ditanya ia hanya menggelengkan kepala. Hati emaknya serasa tersayat-sayat. Banyak pertanyaan tak dijawab. Aril terlihat sedih sekali.

“Kenek opo kowe kok meneng ae le” (kenapa kamu hanya diam nak?)”. Tanya emaknya. Yang sudah tidak kuasa menahan air matanya. Dadanya sesak sekali, melihat anaknya bersedih. Sri terus menguatkan hati anaknya. Dalam benaknya, Sri sudah mengira jika anaknya habis di ejek kawan-kawannya. “Mak e minta maaf ya, tadi repot gak bisa ngantar ngaji. Besuk, mak e akan menemanimu. Jangan khawatir ya sayangku. Mak e janji gak akan meninggalkanmu sendiri.” Janji Sri kepada Aril.

Tiba-tiba saja hati Aril luluh. Ia merangkul emaknya dengan tersedu-sedu. Beban psikis Aril terlalu berat. Sampai ia tertidur dalam pelukan emaknya.

Sri menyadari jika anaknya, juga ingin hidup seperti teman sebayanya. Ingin punya tas, baju, mbakku, sepeda bagus serta kehidupan yang baik. Namun apa daya semua yang ia jalani seakan tidak pernah ada ujungnya.

Berbekal niat yang tulus dan ihlas, demi anaknya. Ia sudah berjanji dalam hatinya, bahwa Sri akan selalu ada buatnya. Mbak Sri tidak ingin melihat anaknya tidak bahagia. Dia pertaruhkan segenap jiwa dan raganya, untuk selalu memberikan yang terbaik. Sang emak ini, sangat peka dengan kondisi mental anaknya.

Begitu berat hidup yang mereka jalani. Tidak semua orang dapat menerima kenyataan hidup yang rumit. Perjalanan hidup penuh dengan makian dan cela. Apalagi mencari barang bekas. Dengan kondisi pasca sakit yang luar biasa. Bersama anaknya mereka selalu menyusuri desa dan kota. Semangat Sri sungguh tak tertandingi.

Tak sengaja, aku mampir dan menengok keadaannya. Kondisi mereka sehat. Aku hanya dapat bersyukur atas kesembuhannya. Kami bincang-bincang ringan. Seperti biasa, Sri menyampaikan perasaannya. Ia ingin mempunyai kesibukan yang menghasilkan.

“Mbak, aku sebenarnya sudah gak kuat. Hidup yang kujalani sangat berat sekali. Aku dan Aril masih sulit diterima di masyarakat. Aku ingin pergi dari desa ini. Baik di sekolah atau tempat ngaji, Aril gak ada yang nemani. Gak kuat, aku kalau melihat anakku menderita. Gara-gara bapaknya, aku dan anakku jadi kena getahnya. Mungkin orang melihatku kuat. Tapi dalam hati aku menangis. Sakit rasanya hati ini. Sampai mules kalau lihat anakku dihina. Aku hanya menguatkan hatinya. Terkadang saat mau tidur dia juga cerita. Bahwa dirinya tidak mempunyai teman. Aku memberikan jawaban yang mengibur hatinya. Di segala aktivitasnya aku berusaha ada di sampingnya.

Begini mbak, aku inigin usaha ternak ayam. Walaupun itu tidak banyak, dapat kupakai nyambung hidup. Ketika aku gak punya uang, ayamnya bisa kujual.” Keluh Sri, sambil memainkan karet gelang ditangannya.

“Menurutku mbak, beberapa ujian berat telah terlampaui dengan baik. InsyaAllah semuanya akan menjadi baik. Kuncinya kita harus dapat mengendalikan diri. Jaga lisan dan amarah kita. Jangan pernah balas keburukan orang lain, dengan hal serupa. Jika gak kuat mendengarkan hinaannya, menghidarlah mbak. Gak usah pedulikan kata-katanya. Anggap saja tidak mendengar. Belajarlah dari orang tuli, seakan tidak mendengarnya. Tapi percayalah bahwa sampeyan luar biasa mbak. Aku saja mungkin tidak akan sanggup kok. Mbak Sri perempuan pilihan bagi Allah. Sehingga ada saja ujian-ujian-Nya. Semua itu jangan dirasakan berat. Yakin bahwa Allah pasti memberi jalan keluar yang terbaik.”

Tentang beternak ayam, aku setuju banget mbak. Insyaallah, dalam minggu ini ya.”Responku atas keluhannya.

Perjalanan pulang pikiranku menari-nari. Memikirkan impiannya untuk menjadikan kenyataan. Kurasa idenya sangat masuk akal. Kucoba diskusi dengan teman-teman. Memberi tawaran, siapa tahu ada yang mau membantu. Usahaku berjalan dengan mulus. Ada dua orang polisi yang peduli. Mereka ikut meringankan bebannya. Menyisihkan uang ratusan ribu dan menititipkannya. Satu diantaranya ikut mengantar bantuan. Seperti yang telah kujanjikan, kami datang tepat waktu. Delapan ayam betina, dua ayam jantan, kandang serta beberapa tanaman cabe dalam polybag besar. Tak lupa beberapa bungkus sembako.

Kedatangan kami disambut dengan senyum ceria. Aku juga memperkenalkan, seorang polisi relawan. Kuambil amplop berisi uang bantuan, dan kuberikan padanya. Kedua matanya berkaca-kaca. Ia sangat berterima kasih atas bantuan yang diterimanya. Lantas ia bergegas keluar rumah. Ikut menurunkan barang-barang yang kami bawa.

“Pak Riyanto, mbak Rina dan Mas Muhajirin aku mengucapkan terima kasih sekali. Senang sekali aku dan Aril menerima bantuan ini. Akan aku rawat ayam-ayam dan tanaman ini.” Tutur Sri seakan tidak menyangka, keinginannya terkabul. Kami merasa haru serta bahagia dapat membantu sesama.

Musim kemarau mulai tiba. Setiap pagi mentari menampakkan sinarnya. Mengahangatkan bumi serta memberikan kehidupan. Tanaman cabe-cabe di depan rumahnya mulai berbunga. Dengan penuh kasih, ia rawat setiap hari. Begitu juga dengan ayam-ayamnya. Semuanya tumbuh dengan sehat. Beberapa ayam betina sudah mulai bertelur. Sri dan Aril sibuk dengan kegiatan barunya.

Melihat perubahan mereka, para tetangganya terusik. Rasa iri telah menyelimuti hatinya. Mereka tidak terima, jika Sri mendapat banyak bantuan. Apalagi setiap minggu, Sri dapat menjual telur. Dapat dipastikan pengahasilannya bertambah.

Ayam yang dipelihara sudah mulai berkembang. Setiap induk ayam betina minimal menetaskan sepuluh anak ayam. Delapan induk ayam mempunyai fase yang berbeda. Ada yang sedang bertelur, menetas dan mengasuh anak-anaknya. Di tengah kesibukannya, ia masih menjalani rutinitasnya. Sri tak pernah membuang waktunya sia-sia. Demi kehidupan yang lebih baik.

Di pagi yang cerah, matahari nampak tersenyum dengan keagungannya. Aril telah siap berangkat ke sekolah bersama emaknya. Hampir selama dua tahun, mereka bertahan dalam hinaan. Semua orang yang mereka temui, masih belum mau menyapanya. Sri dan Aril telah berusaha untuk bersabar. Menerima semua cela dan fitnah.

Di malam yang dingin penuh dengan keheningan. Emaknya Aril terbangun dan mengambil wudhu. Setiap sepertiga malam, ia menyempatkan terjaga. Tak lupa selalu menunaikan beberapa rakaat shalat malam. Sri selalu memohon pada Sang Ilahi. Ia mengadukan segala keluh kesahnya. Tidak jarang air mata kesedihan menemaninya. Beban yang dirasakan menjadi lebih ringan. Manakala segala masalahnya diungkapkan kehadirat Ilahi.

Tidak terasa waktu bergulir begitu cepat. Aril telah menuntaskan belajar di TK. Selembar kertas berbingkai telah mengukir namanya. Satu kenangan sejarah telah diterimanya. Dalam perenungannya Sri ingin mencari yang lebih baik. Di setiap malam ia bermunajat untuk mendapatkan petunjuk. Hingga pada akhirnya, ia mengatakan padaku untuk meninggalkan desanya. Ada secercah harapan di pelupuk matanya.

“Berat rasanya ingin mengatakannya. Namun semua ini aku lakukan demi masa depan anakku mbak. Aku tidak ingin Aril hidup di bawah tekanan jiwanya. Aku akan mencari kehidupan baru. Di tempat, yang mana tidak ada yang mengenalku. Jauh dari rumah. Aku ingin mengubur masa laluku yang kelam. Biarlah sejarah pahit hidupku terukir dalam sanubariku. Aku diajak oleh seseorang mbak. Diminta bekerja di rumah makannya. Kami juga diberikan asrama. Aril akan aku sekolahkan SD di sana. Siang malam aku memimpikan hidup layaknya orang normal. Semoga kepergianku membawa perubahan. Pikiranku akan tenang jika Aril bahagia. Ucapan terima kasih yang tiada dapat kulupakan. Buat mbak Rina dan mas Riyanto,serta teman-teman relawannya mbak. Selama ini telah memberikan bantuan. Apalagi di saat aku susah dan tertekan. Aku akan selalu mengingat pesan-pesanmu. Shalat lima waktu serta shalat malam akan kujaga selalu. Aku telah hidup dan bangkit dari keterpurukanku. Semoga orang-orang yang telah membantuku, diberi keberkahan dalam hidupnya. Isak suara tangis, memecahkan suasana hening.” Ungkapan perasaan yang terlontar dari mulut emaknya Aril.

Bahagia sekali, mendengar kata-kata yang terucap dari mulut emaknya Aril. Mereka telah menemukan mutiara kehidupan. Jalan terjal kepenatan telah dilaluinya. Tiba saatnya mereka mendapatkan yang terbaik. Lelahnya hati serta pikiran mulai terbayarkan. Tak kuasa aku menahan air mata bahagia ini.

“Selamat menikmati lembaran hidup yang lebih baik ya mbak. Tetaplah bersabar dalam menghadapi masalah. Sesulit apapun itu, Allah akan selalu memberikan jalan. Akan tetapi jika kita selalu mendekat pada-Nya. Jangan pernah menyalahkan orang lain. Meskipun pahit, akan berbuah manis pada akahirnya. Kebaikan yang telah kita kerjakan tidak harus ditonjolkan. Hasil kebaikan budi kita akan terlihat dengan sendirinya. Yang dapat merasakan adalah orang yang ada di sekitar kita. Dimanapun berada, berbuatlah jujur dan jaga emosi. Satu yang jangan pernah berani kau tinggalkan yaitu shalat. Aku hanya dapat mendoakan semoga kalian, bahagia lahir batin.” Tuturku pada Sri sambil memangku Aril.

Dua Februari 2017 pukul 15.05 WIB, suara ponselku berbunyi. Kulihat pesan yang ada di layar. Kali ini pengirim pesan adalah, orang spesial dalam kisah hidupku. Dia menanyakan kabar kami sekeluarga. “Mbak Rin, pripun kabare,” “(Mbak Rin, gimana kabarnya),” pertanyaan Sri via SMS.

Subhanallah..... ucapku dalam hati. Sri masih berusaha, menyambung tali persaudaraan.

“Alhamdulillah, baik dan sehat mbak.” Jawabku

Rasa penasaranku, mengantarkan jemariku untuk memencet nomor HP nya Sri.

“Tut....tut....tut....., nada ponselnya aktif. Kutunggu sampai beberapa saat akhirnya diangkat. “Assalamu’alaikum.....,” sapa Sri dengan ucapan salam padaku.

“Wa’alaikum salam....,” jawabku dengan senang hati.

“Gimana kabarnya, Sri.” Pertanyaanku padanya

“Alhamdulillah, baik dan sehat semuanya mbak. Aril sekarang dapat sekolah di sini dengan baik. Semester satu kemrin dapat peringkat empat mbak. Badannya sekarang gemuk dan bersih. Dia sekarang punya banyak teman. Aku sekarang juga bebas dari fitnah serta celaan. Alhamdulillah, Allah telah mengeluarkan aku dari lingkaran yang sulit. Semua sarannya mbak Rina dan mas Riyanto, selalu aku patuhi. Aku sekarang bisa beli baju-baju dan kebutuhan kami. Aril sudah tidak pernah murung lagi. Kalau habis pulang sekolah, dia tidur siang. Kemudian jam 14.30 berangkat ngaji. Teman-temannya selalu menghampirinya. Aku sudah kerasan mbak. Mungkin pulang setahun sekali saja.” Jawaban dengan nada riang terdengar jelas dari ponselnya.

“Iya mbak, aku ikut senang mendengarnya. Semoga tetap dijalan yang benar ya. Salamku dan mas Riyanto buat njenengan dan Aril.” Jawabku pada Sri.

Aku lantas menutup pembicaraan dalam ponsel. Inilah hidup dan kehidupan. Tak peduli sebesar dan seberat apapun ujian itu. Hidup harus berjalan. Jadikan masa lalu, sebagai pembelajaran masa kini.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post