Rini Yuliati

Seorang ibu dari dua orang putri yang ingin belajar merangkai huruf sehingga menjadi bermakna. Tinggal di sebuah kota kecil di Kebumen, Jawa Tengah. Profesi mom...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pie Bali untuk Emak
https://www.google.com/

Pie Bali untuk Emak

Hari itu jadwal terakhir UAS semester ganjil. Sebelum pulang, wali kelas menitipkan sepucuk surat untuk disampaikan ke orangtua. Kutatap selembar kertas putih yang terlipat rapi itu dengan galau. Perlahan kubuka surat itu. Isinya, adalah tagihan bagi yang belum membayar biaya karya wisata ke Bali. Kutarik napas panjang untuk menghilangkan beban yang ada di hati ini. Bagaimana harus mengatakannya kepada emak? Biaya sebesar satu juta dua ratus lima puluh ribu. Bukan biaya sedikit bagi emak yang hanya menjadi buruh cuci. Sudah satu bulan ini bapak sakit dan tidak bisa menarik becak. Aku melangkahkan kaki menyusuri koridor sekolah yang mulai sepi.

'"Arya, pulang bareng, yuk," seru Santo dari arah belakang.

"Ayo, To," jawabku lemah.

Santo adalah sahabat terbaikku. Dia yang sering meminjamkan buku pelajaran yang tak mampu kubeli. Aku juga sering nebeng motornya setiap kali pulang sekolah.

Sampai rumah, kulihat adikku sedang bermain bersama temannya di teras depan. Emak belum pulang. Biasanya pukul empat sore baru pulang. Kulepas sepatu yang sudah menganga bagian depannya. Kuganti baju seragamku dengan kaus oblong. Perut yang keroncongan memaksaku ke dapur. Kubuka tudung saji yang sudah bolong bagian pinggirnya. Di atas piring hanya ada dua potong tempe. Alhamdulillah. Bisa kubuat sambal tempe. Satu piring nasi ludes masuk ke dalam perut.

Malam hari, kuberanikan berbicara kepada emak.

"Mak, ada surat dari sekolah. Isinya supaya melunasi biaya ke Bali," ucapku perlahan.

"Duh, bagaimana ya. Emak cuma punya uang segini, Ar," jawab emak sambil menyodorkan buntalan uang dari dompetnya.

Kuterima uang itu dari emak. Seratus lima puluh ribu. Masih kurang banyak. Otakku berpikir, bagaimana cara mengatasi masalah itu. Mau meminjam Santo nggak enak. Tetiba terlintas untuk menghadap kepala sekolah.

Kurang dua hari keberangkatan ke Bali. Uang di tangan cuma seratus lima puluh ribu rupiah. Jalan satu-satunya adalah menghadap kepala sekolah. Kuketuk pintu bertuliskan "Ruang Kepala Sekolah" dengan perlahan.

"Masuk," terdengar suara berat dari dalam ruangan.

Kuputar gagang pintu dan mendorongnya ke arah dalam. Di dalam ruangan sosok berwibawa itu menatapku.

 "Oh, Arya. Ada keperluan apa menghadap Bapak," tanya Pak Rahmat. Dia sudah hafal dengan namaku. Karena saking seringnya menghadap untuk meminta keringanan biaya sekolah.

"Maaf, Pak. Sampai hari ini saya belum bisa melunasi biaya ke Bali," ucapku. Kepala kutundukkan tak berani menatap Pak Rahmat.

"Berapa uang yang kamu punya?" tanya Pak Rahmat.

"Seratus lima puluh ribu, Pak," jawabku lirih.

Untuk sesaat Pak Rahmat seperti menelanjangiku. Dia menatap dari ujung kaki sampai kepala.

"Sungguh, kamu punya uang seratus lima puluh ribu?" tanyanya meyakinkan.

Aku mengangguk cepat mendengar pertanyaannya.

"Ya sudah, besok kamu boleh berangkat ke Bali," ucapnya dengan tegas.

"Maksudnya?" aku masih tak mengerti.

"Iya, kamu bisa berangkat. Gratis," Pak Rahmat tersenyum kepadaku.

Mendengar jawabannya, hatiku seperti tersiram air es. Kucium tangan Pak Rahmat berkali-kali. 

"Terima kasih, Pak."

Hari itu aku pulang sekolah dengan hati yang riang. Terbayang sudah perjalanan esok hari. Sambil bersenandung kecil kukayuh sepeda bututku.

"Maaak...Besok aku berangkat ke Bali."

Kulempar sepeda bututku begitu saja. Emak sedang memasak di dapur. Hari ini dia tidak pergi ke perumahan untuk nyuci. Kucium tangan keriputnya.

"Ada apa, Ar. Kelihatannya seneng banget."

"Besok pagi Arya jadi pergi ke Bali, Mak. Kata pak kepala sekolah tidak usah bayar alias gratis,” ucapku dengan wajah sumringah.

Mendengar ceritaku, mata emak berkaca-kaca. Tanpa sadar satu bulir air mata menetes di sudut matanya. Emak memalingkan muka dariku. Kulihat dia berusaha menghapus air mata dengan lengan bajunya.

“Kalau begitu, kamu harus menyiapkan baju yang akan dibawa besok. Nanti emak goreng rengginang untuk camilan di perjalanan.”

“Iya, Mak.”

Malam itu aku tidak bisa memejamkan mata, membayangkan keseruan perjalanan esok hari. Bahkan aku bermimpi sudah sampai di Pantai Kuta. Tak terasa pagi menjelang. Waktu menunjukkan pukul setengah empat. Aku bergegas menuju sumur di belakang rumah. Mengambil air wudhu dan menunaikan salat tahajud. Sambil menunggu waktu subuh, aku mengaji sebentar. Pukul setengah enam aku bersiap berangkat dari rumah menuju sekolah.

“Mak, Arya berangkat dulu ya.”

“Ini, tambahan uang sakumu.” Emak mengeluarkan uang lusuh dua puluh ribuan dari dompetnya.

“Tidak usah, Mak. Ini Arya sudah punya seratus lima puluh ribu,” ucapku menolak pemberian Emak.

“Udah, bawa aja.” Emak memaksaku menerima uang itu.

Di depan sekolah sudah berderet bus yang akan membawa kami ke Bali. Wajah-wajah sumringah terlihat di sana. Pukul tujuh tepat, seluruh bus berangkat diiringi doa dari siswa kelas XI agar perjalanan lancar dan selamat sampai tujuan.

Perkiraan sampai Bali besok paginya. Perjalanan yang lumayan jauh membuatku merasa lelah. Namun semua itu tidak terasa karena hati merasa senang. Jadwal cukup padat selama lima hari bolak-balik. Tujuan pertama adalah pusat oleh-oleh di Bali yaitu Joger dan Krisna. Aku meraba kantong bajuku. Uang saku dari emak hanya seratus tujuh puluh ribu. Aku harus memilih oleh-oleh yang pas dengan isi kantong yang tipis. Terbayang ingin membeli daster untuk emak. Oh my God, harga dasternya seratus enam puluh ribu. Aku tidak jadi membeli daster. Aku memilih nongkrong di depan bersama teman yang uang sakunya limit. Kupikir akan membeli di tempat lain yang lebih murah. Akhirnya dengan perhitungan yang cukup njlimet, aku membelikan adikku baju tidur seharga lima puluh ribu dan tiga kotak pie Bali. Satu kotak harganya dua puluh ribu. Uang di kantong tinggal lima puluh ribu. Hanya untuk pegangan.

Menikmati wisata dengan kantong limit tak menjadi masalah buatku. Di setiap tempat wisata aku berusaha mengabadikan setiap momen dengan gawaiku. Gawai yang tombolnya sudah lepas sehingga harus diselotip supaya bisa dipakai. Aku berharap foto itu bisa menjadi oleh-oleh untuk emak. Menjadi bukti bahwa anaknya sudah sampai ke Bali.

Hari keempat kami di Bali. Kunjungan terakhir adalah ke Tanah Lot. “Selamat tinggal Bali.” Perjalanan pulang kulewati dengan banyak tidur di bus. Badan ini terasa lelah sekali. Sampai di sekolah diperkirakan keesokkan harinya. Rasanya tidak sabar untuk segera sampai rumah. Bercerita dengan emak.

“Assalamu’alaikum.” Kuketuk pintu rumah.

“Mak, Arya pulang.”

Terdengar langkah kaki menuju pintu. Sesosok wajah lembut muncul di depan pintu. Kucium tangan emak. Ada rindu di matanya. Walau cuma beberapa hari saja.

“Ayo, mandi dulu sana,” ucap emak padaku.

Aku bergegas mengambil handuk dan menuju sumur di belakang rumah.

Setelah mandi, badan terasa segar kembali. Aku mulai membongkar tasku.

“Din, ini Mas Arya beliin kamu baju tidur.” Kupanggil Dini adikku.

“Wah, bajunya bagus banget, Mas. Makasih, ya.”

Kusodorkan 3 kotak pie kepada emak.

“Ayo, Mak. Cobain pie Bali ini. Rasanya enak.”

Emak tersenyum dan mengambil satu bungkus pie itu.

“Wah, ini enak sekali, Ar.” Emak terlihat menikmati pie itu dengan lahap.

Aku merasa senang sekali. Kami jarang sekali makan roti yang enak. Aku memperlihatkan foto-fotoku di Bali kepada emak. Dia sangat takjub mendengar ceritaku.

“Ar, senang ya sudah sampai ke Bali. Emak sampai setua ini belum pernah kemana-mana,” ucap emak sambil melihat foto di gawaiku.

“Besok kalau aku sudah kerja, Arya akan mengajak Emak tidak hanya ke Bali tapi ke Mekkah,” jawabku spontan.

“Amin, Ya Allah,” jawab Emak menimpali ucapanku.

Hari itu aku hanya bisa membawakan emak pie Bali. Semoga Allah mendengar doaku untuk bisa mengajak emak ke Mekkah. Amin.

Kebumen, 25 Desember 2019

 

 

 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wow, merinding sepanjang baca ini Budhe. Kereeeeeen bingit. Sukses selalu dan barakallahu fiik

25 Dec
Balas

Waduh...Sampai merinding ya..hi..hi..Terima kasih selalu menyambangi lapak ini...Semoga selalu bahagia...Barakallahu fiik...Bunda Pipi..

25 Dec

Luar biasa, keren ...Barakallah bu.

25 Dec
Balas

Alhamdulillah.. Terima kasih Bu Yenny sudah berkenan mampir di sini...Salam sehat dan bahagia...Barakallah...

25 Dec

Karena berangkatnya ke Bali gratis lagi, maka ceritany pun lebih panjang dari yang biasanya. Selalu sehat Ibu Rini barakalkah

26 Dec
Balas

Hi..hi...Nggih Bapak...Terima kasih sudah mengunjungi Arya...Salam sehat dan bahagia...Barakallah....

26 Dec

Sedap sekali membaca tulisan ini. Ada nilai karakter yang perlu dicontoh. Sikap prihatin, kepsek yang bijaksana dan kasih sayang seorang anak kepada ibu dan adiknya. Sukses dan salam kenal

25 Dec
Balas

Alhamdulillah.. Semoga tulisan ini bermanfaat ...Terima kasih Bu Yayah sudah berkenan membacanya...Salam kenal kembali...

25 Dec



search

New Post