Risna Rosida

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Membangun Budaya Literasi dengan Perpustakaan Kelas
Perpustakaan Kelas Peduli Lingkungan (menggunakan barang-barang yang sudah tidak terpakai)

Membangun Budaya Literasi dengan Perpustakaan Kelas

Membaca merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam hidup. Bahkan, bisa dikatakan bahwa membaca merupakan salah satu keterampilan hidup (life skill) selain menulis dan berbicara. Jika kita bisa mengendarai kendaraan bermotor seperti motor atau mobil, hal tersebut bisa dikatakan kita mengusai salah satu keterampilan hidup. Seandainya kita tidak bisa mengendarai kendaraan bermotor, kita masih bisa meminta pertolongan orang lain atau naik taksi, ojek, atau angkutan umum lainnya. Akan tetapi, kalau kita kita tidak menguasai keterampilan membaca, mau minta dibacakan oleh siapa? Ini artinya, betapa pentingnya keterampilan membaca dalam hidup.

Bagi komunitas Muslim, perintah pertama Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. adalah iqra (membaca). Sudah sepantasnya, Indonesia yang mayoritas warganya adalah muslim patut melaksanakan perintah membaca ini. Namun, dalam kenyataannya hal ini masih “jauh panggang dari api”. Terbukti dengan hasil penelitian PISA (Programme for International Student Assessment) yang dikoordinasikan oleh OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) yang berkedudukan di Paris, Perancis. Hasil penelitian PISA dalam arsip litbang.kemdikbud.go.id menempatkan siswa Indonesia pada posisi 48 dari 56 negara di dunia di tahun 2006 dengan skor rata-rata 393. Minat baca rendah ini pun terulang di 2009. Hasil penelitian PISA menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di nomor 57 dari 65 negara dunia, dengan skor rata-rata 402 sementara rerata internasional 500. Hasil uji tes PISA yang dilakukan tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 2012 ternyata hasilnya lebih buruk lagi. Hasil PISA 2012 menempatkan siswa Indonesia pada posisi kedua terburuk atau posisi 64 dari 65 negara . Sungguh peringkat yang membuat hati miris. Bagaimana tidak? Peringkat kedua dari bawah (peringkat 64 dari 65 negara yang diuji) merupakan peringkat yang membuat kita sebagai bangsa Indonesia merasa malu di tengah-tengah era globalisasi dan teknologi informasi apalagi dengan diterapkannya MEA (Masyarakat Ekonomi Asia Tenggara) yang kompetisinya tidak hanya terbatas pada negara itu namun kawasan bangsa tersebut berada. Bangsa kita saat ini dininabobokan oleh tayangan hiburan, fashion, kesenangan duniawi, dan semua yang serba instant. Banyak di antara para siswa yang lebih suka menonton film daripada diminta membaca buku. Jika hal tersebut terjadi kita wajib khawatir terhadap generasi penerus dan keberlangsungan bangsa tersebut.

Berawal dari hasil PISA yang mencengangkan tersebut, akhirnya pemerintah menggulirkan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang digiatkan dengan harapan membudayakan literasi di Indonesia serta dapat mendobrak nilai PISA Indonesia tersebut. Literasi itu sendiri secara sederhana dapat diartikan kemampuan membaca dan menulis. Adapun pengertian literasi dalam kanalinfo.web.id adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis

Pemerintah memulai gerakan literasi sekolah dengan mewajibkan siswa membaca lima belas menit sebelum pelajaran dimulai (sesuai Permendikbud No. 23 tahun 2015). Program tersebut diadakan dengan harapan dapat menumbuhkan kebiasaan membaca bagi para siswa. Namun sangat disayangkan, di sekolah tempat penulis mengajar, para siswa terkadang kesulitan mencari sumber bacaan yang harus dibaca pada saat membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Oleh karena itu, penulis berpikir bahwa kehadiran perpustakaan kelas dapat menjadi salah satu solusi untuk membangun budaya baca dan mendukung program gerakan literasi sekolah tersebut. Dengan kata lain, kehadiran perpustakaan kelas dapat mengepung siswa dengan buku.

Program Wakaf Buku dan Perpustakaan Kelas Membangun Budaya Membaca

Pada tulisan kali ini penulis ingin berbagi pengalaman mengenai program gerakan literasi sekolah yang diadakan di sekolah penulis yaitu SMAN 1 Cisarua dengan harapan bisa menjadi inspirasi bagi guru-guru lain yang ingin mengembangkan gerakan literasi di sekolahnya masing-masing. Adapun yang pernah penulis lakukan adalah membuat lomba perpustakaan kelas. Unsur utama yang harus ada dalam perpustakaan kelas di antaranya adalah rak buku dan tentu saja buku-buku.

Untuk pembuatan rak buku, masing-masing kelas diminta membuat rak buku di kelasnya masing-masing, boleh ditempel di dinding kelas atau rak yang bisa berdiri sendiri (standing). Diutamakan bahan pembuatan rak dari benda-benda yang sudah tidak terpakai yang ada di lingkungan sekitar dengan harapan memacu kreativitas siswa dan tetap ramah lingkungan (literasi berbasis lingkungan, red.).

Lalu, dari mana koleksi buku untuk mengisi rak yang sudah dibuat? Sebelum lomba perpustakaan dirilis, penulis membuat program wakaf buku yang sasarannya seluruh komponen sekolah, di antaranya seluruh siswa, jajaran guru, para wakasek, dan kepala sekolah. Mereka diharapkan keikhlasannya untuk mewakafkan minimal satu buku untuk kegiatan lomba perpustakaan kelas. Adapun jenis buku yang diwakafkan adalah buku nonpelajaran, semisal buku fiksi, buku nonfiksi, ensiklopedia, kamus, dan lain-lain.

Tujuan diadakannya program wakaf buku dan lomba perpustaan kelas ini antara lain membangun budaya baca dan menyukseskan program gerakan literasi sekolah yang dibuat oleh pemerintah. Proses pembelajaran pun akan lebih maksimal jika para siswanya gemar membaca. Siswa yang gemar membaca tentu pola pikir dan wawasannya pasti berbeda dengan siswa yang jarang membaca. Seperti kata pepatah, “buku adalah jendela dunia, dan membaca adalah kuncinya”. Oleh karena itu, kebiasaan membaca harus dipupuk sedini mungkin, mulai dari lingkungan kelurga, sekolah, masyarakat, dan negara agar di dalam diri siswa tertanam bahwa membaca bukan lagi sebuah keinginan melainkan sebuah kebutuhan setiap manusia. Rasa gemar membaca itulah yang harus dikembangkan agar tercipta budaya membaca di negara ini.

Harapan lebih lanjut ke depannya, siswa- siswa saat ini adalah tokoh yang akan mengukir sejarah bangsa di masa depan. Oleh karena itu, ketika budaya literasi sudah terbangun, sumber daya manusia (SDM) yang mengisinya insyaAllah benar-benar berkualitas.

Kendala yang Dihadapi

Tentu saja program tersebut bukan berarti tanpa kendala. Beberapa hal yang dihadapi penulis terkait perlombaan perpustakaan kelas untuk membangun budaya baca (literasi, red.), sebuah program dari pemerintah untuk meningkatkan literasi para siswa. Kendala-kendala yang penulis temukan tersebut di antaranya adalah:

1. Ketidaktepatan waktu pengumpulan wakaf buku (yang diagendakan dalam waktu satu minggu).

Keterlambatan waktu pengumpulan wakaf hampir terjadi pada seluruh komponen sekolah, baik dari siswa maupun guru. Solusi yang penulis lakukan adalah berkoordinasi dengan organisasi siswa HP3 (Himpunan Pelajar Pecinta Perpustakaan) yang ada di sekolah penulis. Bersama- sama dengan organisasi siswa tersebut penulis membagi-bagi tugas mengecek satu per satu kelas untuk mengetahui siapa saja yang sudah mewakafkan buku dan mengingatkan kembali akan pentingnya kegiatan ini sehingga para siswa maupun guru diharapkan partisipanya dalam kegiatan ini.

2. Buku yang diwakafkan kurang layak dibaca serta kurang layak pula dijadikan koleksi perpustakaan kelas.

Temuan penulis di lapangan, beberapa siswa mengumpulkan buku yang kurang layak dibaca bahkan kurang pantas dijadikan koleksi perpustakaan kelas. Ada yang asal-asalan, misalnya buku yang diwakafkan ternyata buku lama yang mulai lapuk dan kurang nyaman untuk dibaca. Pada kelas-kelas tersebut penulis mencoba melakukan pendekatan melalui analogi penyampaian kisah putra-putra Nabi Adam As. yang bernama Habil dan Qabil. Kedua putra Nabi Adam As. tersebut diperintahkan untuk memberikan persembahan bagi Allah Swt. Pada cerita tersebut dikisahkan bahwa bahwa Qabil memberikan hasil panen terburuk yang dimilikinya sedangkan Habil mempersembahkan Domba terbaik, terunggul, dan merupakan domba kesayangan Habil. Ternyata, persembahan yang diterima di sisi Allah Swt. adalah persembahan yang dimiliki oleh Habil. Lalu, penulis mulai mengaitkan kisah tersebut dengan pemberian wakaf buku untuk perpustakaan kelas. Penulis mengajak para siswa agar mewakafkan buku terbaik mereka untuk perpustakaan di kelas masing-masing. Karena kebaikan tidak akan tertukar, insyaAllah kebaikan tersebut nantinya akan kembali lagi kepada pembuatnya.

3. Kesulitan mencari material untuk pembuatan rak buku.

Kesulitan selanjutnya, beberapa kelas merasa kesulitan dalam hal pembuatan rak buku untuk menyimpan buku-buku hasil dari wakaf buku dalam kelas tersebut. Sebagai salah satu alternatif menghadapi hambatan tersebut penulis meminta siswa untuk memperhatikan lingkungan sekitar, baik di lingkungan kelas, sekolah, atau lingkungan rumah dengan harapan mereka menemukan benda-benda yang sudah tidak terpakai seperti, rak sepatu bekas, lemari bekas, atau apa saja yang sekiranya bisa dijadikan tempat penyimpanan buku. Penulis juga meminta siswa untuk mencari contoh-contoh perpustakaan kelas dengan melakukan penelusuran melalui internet sebagai bahan inspirasi dalam pembuatan perpustakaan kelas.

4. Ketidakkompakkan siswa di dalam kelas dalam mengikuti lomba perpustakaan sekolah.

Ketidakkompakkan siswa dalam berkegiatan di dalam satu kelas merupakan hal yang sering ditemui dalam kegiatan apapun. Ada siswa yang antusias, ada juga siswa yang apriori, tidak mendukung kegiatan apapun. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengingatkan betapa banyaknya manfaat yang didapat dari kegiatan membaca sehingga diperlukan kerjasama yang kuat dari semua pihak.

5. Lomba usai, semangat usai

Ketika lomba perpustakaan kelas selesai, semangat literasi mulai mengendur. Dalam hal ini, agar semangat literasi tetap terjaga perlu adanya konsistensi dari semua pihak. Adapun yang penulis lakukan ketika lomba usai yaitu bekerja sama dengan organisasi siswa HP3 (Himpunan Pelajar Pecinta Perpustakaan) di sekolah penulis dalam melakukan monitoring ke semua kelas setiap bulannya terkait keberadaan perpustakaan kelas dan menjadikan hasil monitoring tersebut sebagai bahan evaluasi ke depannya.

6. Masih terdapat ketergantungan pada orang per orang, belum terstruktur secara sistem, jika orang tersebut berhalangan maka dinamika program tidak berjalan. Membangun sistem tersebut membutuhkan waktu dan experience yang teruji.

Agar bangsa Indonesia menjadi negara yang maju, berbudaya, dan berkarakter tinggi, maka hendaknya pemerintah, masyarakat, generasi pemuda, orang tua, pendidik, dan lembaga-lembaga yang terkait bersatu-padu untuk menjunjung tinggi martabat bangsa. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalag dengan menanamkan budaya membaca di kalangan siswa. Keberhasilan membangun budaya dan program literasi di sekolah tersebut tidak akan terwujud dengan serta-merta tanpa adanya sinergi dari semua pihak yang terkait. Kesabaran, keuletan, dan ketangguhan menjadi modal yang harus dimiliki untuk mewujudkan hal tersebut. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi sekolah-sekolah lain yang mengalami kendala yang serupa. Salam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post