Rita Erwiyah

Rita erwiyah saat ini bertugas sebagai kepala sekolah SDN DR> Sutomo V/237 surabaya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sepenggal Episode di Ruang Tamu

Sepenggal Episode di Ruang Tamu

Malam semakin kelam, udara semakin dingin seakan menusuk kulit hingga ke kulitku yang terdalam, kutarik selimut tapi tetap saja rasa dingin menusuk tulang. Bau aroma tumbuhan liar di sekitar rumah tercium agak aneh. Mataku seakan terjerat lem tak mampu terpejam sedikitpun. Listrikpun tak bersahabat, hampir setiap malam listrik mati. Inilah desaku yang susah terjamah oleh kemajuan zaman. Sebuah desa di sudut kota yang tersohor, kota Sriwijaya Palembang. Desa Lintang Empat Lawang yang bersuku Lintang. Tapi entahlah desa ini dari dahulu tak banyak berubah,masih seperti dulu, listrik selalu mati, masyarakat hidup seadanya.

Malam seakan tak mau beranjak, waktu seakan tak mau bergerak, aku benci kegelapan. Kegelapan bagiku kematian , kegelapan bagiku penderitaan.kegelapan bahkan meruntuhkan aganku terdahulu. Tapi walau aku tau keadaan desaku seperti ini aku pasti mampir jika aku mengunjungi Ibu di kota Bengkulu. Walau hanya sekedar mengenang masa lalu. Walau kakek dan nenek sudah tiada tapi bagiku rumah ini adalah sejarahku. Aku pasti menginap walau hanya satu malam. Seperti malam ini aku menginap di temani putri bungsuku dan Makcak yang menemaniku.

Kupandangi wajah Makcak yang terlelap menemaniku di ruang tamu sejak berjam-jam yang lalu. Wajah itu berbeda dengan dulu, sudah banyak kerutan di dahinya, tapi tetap memancarkan kecantikan disana. Makcaklah yang selalu membantuku jika aku kesulitan.

Lewat tengah malam, hujan mulai reda, suara jangkrik mulai bersahutan. Lentera di sudut ruang tamu itu meliuk-liuk bagai ular yang menari-nari mengikuti seruling pawangnya. Ah lentera itu, nyalanya semakin redup, tiba-tiba jiwaku seakan ikut redup bersama liukan lentera yang kupandangi dengan tajam. Tiba – tiba bayangan kelam itu hadir di ingatan. Lentera di ruang tamu itu mengingatkan aku pada masa lalu ibuku. Aku menerawang jauh ke masa silam 33 tahun yang lalu saat aku berusia 10 tahun. Ku tatap langit – langit ruang tamu, angankupun berkelana ke masa lalu ibuku.

33 tahun lalu di ruangan yang sama. Ruangan itu terasa gelap walaupun lentera terpasang di sudut ruangan, ku lihat wajah Ibu tertunduk lama sekali, aku tau airmata Ibu tumpah walau ibu menutupi dengan desahan napas. Sebuah keputusan besar telah diambil Ibuku. Keputusan yang sangat berat bagi seorang wanita jika harus berpisah dengan suaminya.

Suami adalah belahan jiwa bagi ibu, suami adalah separoh nafasnya, Ibu mencintai ayah melebihi dirinya sendiri, Tapi restu orang tua jauh lebih penting. Ibu dihadapkan di antara dua pilihan. Antara Ayah dan Suami. Sebuah pilihan yang sangat berat untuk dipikul seorang perempuan.

“ Pokoknyo kalau mase ndak ngan Muh ... ikut dio ke Jawo, jangan harap betemu ngan mayatku kalu aku mati biloni, ingat itu!”(pokoknya kalau kamu masih mau ikut dengan Muh... ikut di ke Jawa, jangan harap bertemu mayatku jika aku sudah meninggal) Suara Kakek bergema berusaha menegaskan kembali keputusannya tentang Ibu. Yang artinya kira-kira begini, kalau ibuku tetap bersama ayah dan ikut ayah yang bertugas di Jawa maka kakek tidak akan memberitau ibu jika kakek meninggal hingga ibu tidak akan melihat mayat kakek. Itulah ancaman yang kakek berikan pada ibuku.

Tak ada anak di dunia ini yang dengan sengaja ingin menyakiti orang tuanya. Begitupun dengan ibuku. Ibu tak punya pilihan, ibu pasrah dengan keputusan kakek. Sebuah pandangan kuno saat itu. Kakek tidak mengizinkan anaknya merantau jauh hingga ke negeri seberang karena khawatir anaknya akan hilang. Ironis memang.

Itulah keputusan kakek yang kupanggil Datuk. Ibu terpaksa menuruti kehendak Kakek, Ibu harus bercerai. Kakek mengancam jika Ibu tetap mengikuti Ayah yang bertugas di pulau Jawa maka Ibu akan kehilangan keluarganya.

Perpisahan itupun terjadi, Ibu menjadi janda, episode barupun di mulai. Tak ada seorang wanita di dunia ini yang senang mendapat status janda. Seandainya kita bisa memilih tentu saja akan memilih keluarga yang utuh hingga akhir hayat. Tapi takdir tak dapat di tolak manusia hanya bisa menjalani.

Sejak itulah penderitaan – penderitaan selalu mengikuti langkah Ibu. Tak ada yang bisa aku lakukan. Aku hanya menjadi saksi sejarah betapa menderitanya Ibu mendapat perlakuan yang tidak adil dari lingkungan dan masyarakat yang selalu menganggap rendah seorang janda. Hinaan demi hinaan didapatkan Ibu, tapi beliau tetap tegar. Karena saat itu masyarakat kami memandang janda adalah aib yang bisa membawa petaka bagi desa.

Cobaan demi cobaan membuat aku dan Ibu menjadi pribadi yang kuat. Apapun yang terjadi Ibu selalu bersamaku. Kemanapun Ibu pergi aku selalu bersamanya. Aku menjadi satu- satunya kekuatan yang membuat Ibu bertahan. Di usia SD aku sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah layaknya anak dewasa. Aku sudah punya tanggung jawab untuk menggantikan peran ibu saat usiaku masih belia. Bangun pagi hari menyiapkan sarapan sebelum sekolah. Saat pulang sekolah membersihkan rumah, mencuci piring dan perabotan masak lainnya karena kakek, nenek dan ibu bekerja di kebun.

Hingga suatu ketika Ibu memutuskan untuk menikah lagi. Episode barupun dimulai kembali. Kuterima keputusan Ibu dengan ikhlas walau aku tau konsekwensi kasih sayang Ibu akan terbagi. Rasa khawatir itu terbukti. Ibu menikah dengan lelaki yang mempunyai anak perempuan yang usianya terpaut satu tahun denganku.

Konflik demi konflik terjadi antara aku, saudara tiriku dan Ayah. Hal ini membuat Ibu merasa memakan buah simalakama yang berujung menjadikan aku tumbalnya. Hal itulah yang kurasakan saat itu. Aku dipisahkan dari Ibu dan dititipkan pada saudara angkat Ibu .

“ Ibu terpaksa melakukan ini nak, ini demi kamu, Ibu yakin kamu kuat, Ibu ingin kamu jadi anak yang kuat dan Ibu ingin melihat kamu berhasil. Kamu tau kan masyarakat tidak berpihak pada kita ibu tetaplah salah karena Ibu tiri tidak ada yang baik, itulah stempel masyarakat kita nak.” Masih terngiang di telinga kata-kata ibu saat memberikan pengertian padaku.

Aku ingin sekali memberontak tapi aku tau pasti ibu jua yang akan menderita, aku tau ibu membuat keputusan yang sangat berat, ibu harus memilih antara aku atau suaminya. Aku tak bisa berbuat apa – apa . Akupun tak dapat berkata apa –apa karena airmata ibu cukuplah alasan bagiku untuk mmenerima keputusan ibu. Aku tak sanggup membuat ibu menderita, airmata ibu adalah racun bagiku yang bisa membuat aku mati. Aku tak rela jika ibu menjanda lagi.

Aku tak pernah meragukan kasih sayang ibuku, aku tau seandainya ibu mampu pastilah Ia akan memilih aku. Kebahagiaan ibu adalah yang utama bagiku, aku akan menerima apapun keputusan ibu untukku. Ibu selalu berusaha berbuat adil dan selalu berusaha untuk menyayangi saudara tiriku,tapi ternyata saudara tiriku memanfaatkan posisinya sebagai anak tiri, sehingga ayah selalu membelanya dan ibulah yang bersalah. Posisi ibu tiri membuat ibuku selalu disalahkan dalam hal apapun. Inilah yang membuat hatiku hancur,aku tak rela melihat ibu selalu disalahkan, padahal aku tau persis bahwa ibuku tak pernah berbuat semena – mena.

“ Nak, aku tau kamu paham betul posisi Ibu, Ibu yakin kamu anak yang pintar, Ibu hanya ingin melihat kamu bahagia. Tinggallah bersama Om Riskan ya, dia sudah berapa tahun ini menikah tapi belum diberi momongan,jadilah anak yang baik,jangan pernah menyusahkan Om Riskan ya Nak. “ Pinta Ibu saat itu. Seperti biasa aku tak pernah menjawab kata-kata ibu hanya anggukan kecil sebagai tanda aku menerima dengan berat hati. Air mata sebagai saksi kepedihanku saat itu, saat berpisah dari ibu di usiaku yang ke 11 tahun. Usia yang seharusnya masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu.

Aku menyeka air mataku perlahan sambil memutar tubuhku hingga membelakangi Makcakku . Ku lirik sekali lagi wajah tua itu tak bergeming seakan larut dalam dunia mimpi yang indah. Akupun akhirnya duduk dan memeluk kedua lututku, dadaku semakin sesak, butiran air terasa hangat melewati tulang pipiku. Ku tengadahkan wajahku ke langit-langit ruang tamu tua itu. Ku hela napas sedalam mungkin, mencoba melawan sesak yang menggunung dalam dadaku. Oh ibu teganya di kau saat itu.

Aku menjalani hidup terpisah dari ibuku. Hanya cinta ibu yang membuat aku tegar, kata – kata ibu bak pemacu semangat yang memecut tubuhku agar menjadi pribadi yang kuat,pribadi yang tidak cengeng. Aku berhasil menyelesaikan sekolah dasar dengan nilai yang bagus. Aku membawa nilai itu pada ibu dengan harapan aku bisa berkumpul lagi dengan keluarga.

Tapi apa hendak dikata, Ayah dan saudara tiriku tetap belum bisa menerima aku. Ibuku tak bisa berbuat apa-apa. Aku kembali mengalah. Akhirnya Nenek dan Makcakku memutuskan agar aku di sekolahkan di Pulau Jawa. Sebuah keputusan yang berlebihan. Apa salahku sehingga aku dihukum seberat ini. Belum cukupkah aku berpisah dua tahun dengan ibuku? Tapi pada siapa aku berontak? Tak ada aku hanya pasrah.

“ Ah mengapa kenangan itu semakin nyata, aku mencoba memejamkan mata. Sia-sia, ruang tamu dengan lentera ini semakin membawa kenanganku semakin dalam. Ku layangkan pandanganku pada hiasan yang terpasang di setiap sudut ruangan. Pajangan fhoto kakek, nenek dan ada foto ibu disana membuat aku berkelana ke masa lalu semakin dalam.

Sementara malam semakin kelam, rintik hujan tak lagi terdengar, jangkrikpun mulai terdiam seakan merasakan kepedihan yang aku rasakan. Seekali suara burung hantu terdengar dari kejauhan,samar tapi terdengar seperti simponi alam nan elok,suara deritan atap sesekali terdengar menandakan usia bangunan yang tak lagi muda. Kenanganku kembali berkelana ke masa lampau.

“ Aku mohon nak, ikutlah dengan Nenekmu, disana ada paman yang akan menjagamu, ibu melakukan ini demi kebaikan kita. Ibu yakin kamu pasti berhasil. Ibu percaya kamu sanggup karena cinta ibu selalu beramamu nak, suatu hari nanti kamu akan mengerti. “ Itulah bisikan ibu saat melepas aku di terminal bis saat mengantar kepergianku. Aku ingat betul pelukan ibu begitu erat seakan enggan melepasku. Aku tau ibu melakukan ini untuk kebaikanku . dan aku yakin aku pasti bisa.

Aku akhirnya melanjutkan sekolah ke Jawa Tengah, Tegal tepatnya. Aku dititipkan di rumah paman dengan biaya sekolah dari nenek dan Makcak itulah kepuitusan keluarga demi menyelamatkan keluarga ibuku. Seperti biasa aku pasrah, ku jalani hari-hariku dengan kemampuanku. Ku coba menikmati semua yang telah ditakdirkan padaku. Aku menjadi pribadi yang dewasa di usia yang masih belia.

Tiga tahun ku jalani hari – hariku tanpa kehadiran orang- orang yang aku sayangi. Tiga tahun aku jalani hidup di negeri orang dengan satu keyakinan bahwa aku pasti mampu menjalaninya. Tapi anehnya aku merasa ibu selalu ada di dekatku, ibu selalu mengawasiku, ibu selalu memanduku. Perasaan itulah yang membuat aku mampu menyelesaikan SMP dengan nilai yang baik bahkan aku mendapat beasiswa.

Hingga suatu saat ayah datang menjemputku. Rasanya aku tak percaya , sosok itu datang hanya untuk menjemputku.

“ Nak,maafkan Ayah, Ayah mohon ikutlah dengan Ayah kembali ke Sumatera, Ibu dan adik-adikmu merindukanmu di sana” itulah kata pertama yang diucapkan Ayah saat menemuiku. Aku rasanya tak percaya dengan semua ini.

keyakinanku ternyata terbukti, aku yakin betul doa Ibulah yang berperan disini. Ayah tiriku berubah 180 derajat. Beliau sendiri yang menjemputku di Tegal dan membawa aku kembali ke Sumatera. Aku kembali berkumpul dengan Ibu, Kakek, Nenek dan adik-adikku. Ternyata saudara tiriku mengecewakan Ayah dan Ibuku hingga dia tak mendapat tempat dalam keluarga.

Malam seakan merambat, aku menarik napas panjang dan mulai bisa sedikit tersenyum, sesak di dada ini seakan berkurang, membayang bahagiaku saat bertemu kembali dengan keluarga yang aku sayangi. Bertemu dengan saudara – saudara kecilku yang baru. Adik – adik kecil yang lucu, adik laki-laki dan perempuan. Harapan baru, kehidupan baru, bersama adik – adik yang lucu.sinar mata ketulusan dari anak – anak yang tak berdosa. Akupun kembali tersenyum mengingat tingkah pola mereka saat kecil dulu. Dadaku kini seakan berlimpah udara. Napasku semakin lancar walau air mata sesekali masih menetes.

Akhirnya aku sadar bahwa pilhan seorang ibu tak pernah salah, pilihan ibu untuk hidupku adalah sebuah tempaan kehidupan untuk membuat pribadi yang berkarakter. Aku dipercaya ayah untuk bertanggung jawab pada kedua adikku. Aku layaknya ibu bagi mereka, sambil sekolah aku bertugas membimbing kedua adik

Ayah tiriku tak ubahnya ayah kandung bagiku. Benar kata pepatah bahwa cinta dan sayang akan terasa setelah berpisah, hubungan akan lebih berarti jika pernah merasakan kehilangan. Mungkin itulah yang terjadi dengan ayah tiriku.Beliau menyayangiku melebihi anak kandungnya sendiri . Kasih sayang beliau seakan tak pernah pudar. Hingga akhir hayatnya. Semoga Ayah mendapatkan tempat terindah di Syurga. Karena aku tau ayahku orang yang baik, penyabar , penuh kasih sayang, pastilah Allah akan menyayangi Beliau di Syurga. Doaku selalu meyertaimu Ayah.

Ayah telah pergi enam tahun yang lalu, kini ibu kembali sendiri, raut wajah itu tidak lagi memancarkan raut kesegaran, perlahan tapi pasti tumbuh kerutan di setiap sudut wajahnya. Tapi Ibuku tetaplah Ibuku yang dulu. Kuat, perkasa tapi penuh kasih sayang. Ibu bukan saja Ibu bagiku tapi adalah sahabat setiaku. Sahabat yang selalu berbagi suka dan duka. Ibu adalah kekuatanku,karena apapun yang aku lakukan adalah ridhonya.

Terimakasih Ibu engkau telah memberi sejuta warna dalam kehidupanku. Engkau telah memberikan cinta dan kasihmu tanpa bisa aku membalasnya. Kasih ibu sepanjang jalan, tak pernah putus , tak pernah lekang dimakan usia tak pernah luntur tersiram hujan.

Malam beranjak pergi, tapi mataku tetap tak mampu ku pejamkan, walau sesak di dada ini telah hilang. Suara hewan fajarpun mulai terdengar. Aroma daun-daun segar menyelinap lewat dinding – dinding ruang tamu. Kupandangi sekali lagi fhoto- fhoto kenangan masa lalu yang menghiasi sudut – sudut ruang tamu. Sepenggal episode tertinggal di ruang tamu ini. Episode yang mengawali semua sejarah hidupku. Akankah ini yang terakhir aku mengunjungimu? Ruangan saksi sejarah masa lalu kelabu. Bisikku dalam hati. Ya aku berharap ini bukanlah yang terakhir aku mengunjungi desaku walau aku di seberang sana tapi kenangan akan selalu ada bersamaku.

Kokok ayam jantan terdengar merdu bertanda fajar telah tiba, bersahut-sahutan seakan menyapa alam dan memanggil mentari, rintik hujanpun membunuh sepi, tapi suara kokok ayam jantan dan rintik hujan semakin samar, sepi , hening dan akhirnya suara itu tak lagi terdengar di telingaku. Aku melanjutkan pengembaraan di dunia yang lain, dunia tak bertepi, dunia tanpa batas, dunia mimpi.

Surabaya, 5 januari 2017

Untuk ibu Yang jauh di seberang sana, Semoga ibu sehat selalu

Catatan kaki :

Makca = Bu de / saudara ibu yang tertua (panggilan orang suku Lintang palembang)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mbrebes mili aq Bu...

07 Apr
Balas

trims bu Reris

06 Apr
Balas

Bagus banget bu

05 Apr
Balas



search

New Post