Kita hanya perlu terbiasa. Bagaimanapun, hal remeh itu adalah bagian dari pelik yang mesti kita nikmati. Seperti memesan minuman hangat diatas puncak berkabut tebal, yang tersaji tak lagi hangat, namun cukup nikmat untuk disantap.

Jarak memang pemisah, namun bukankah sudah seharusnya, jauh di bawah alam sadar kita, terjiplak permanen tentang ‘jarak adalah sebuah omong kosong belaka’?

Barangkali, kita hanya perlu membiasakan diri pada berpelukan dengan kata-kata. Mengimajinasikannya oleh pemikiran sendiri; bagaimana rasanya aliran darah seakan dengan cepat menyerbu setiap syaraf, kemudian mencipta hangat dari kaki hingga ubun-ubun. Mungkin, kita hanya perlu membiasakan diri untuk menikmati ciuman simbolik yang dihasilkan oleh emoticons layar gadget, kita, lagi-lagi hanya perlu merasa dalam imaji. Dan bukankah setelah mencuri bibir satu sama lain, sebuah jarak pun sudinya tercipta?

Perjumpaan kita, selalu terasa singkat saja, selalu tidak tuntas akan rindu-rindu yang telah menumpuk, sebab kita terlalu sering menabung rindu. Kasih ini terlalu lugu, sayang. Hingga rindu selalu berhasil membuat kita luluh. Namun, apa yang dapat kita perbuat selain berinterraksi lewat teks maupun suara, semata untuk membuat hari dan hubungan berjarak kita terasa lebih nyata?

Barangkali, kita memang tidak selalu dapat berjalan beriringan. Bergandeng tangan, dan merangkul mesra dengan syahdu. Tidak seperti banyak pasangan yang sering kita cibir karena memamerkan cinta diwajah umum. Namun, katakan saja, bahwa kita memang unik, menjalin asmara dengan suara dan rasa.

Kita memang sudah seharusnya terbiasa.

Aku mencintaimu.

Itu saja.