Robby Kadar Sholihat

Guru IPA SMPN 2 Kedungjati Kabupaten Grobogan Jawa Tengah...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pak Guru, aku bukan anak bodoh!

Pak Guru, aku bukan anak bodoh!

Suatu hari di sebuah ruangan tempat berkumpulnya para pendidik saat jam istirahat. “Wah, anak sekarang masak soal gampang seperti ini saja tidak bisa, jan bangeten. Ini yang bodoh siswanya apa gurunya ya yg ga bisa ngajar!” Jika sekali hal itu terucap, mungkin kita bisa menilai ini merupakan bukti guru melakukan refleksi atas kegiatan pembelajaran yang ia laksanakan. Tapi, sayangnya ucapan itu ternyata diulang-ulang dan selama ini belum ada tindakan nyata untuk memperbaiki proses pembelajaran. Baik dengan merevisi rencana pembelajaran atau memvariasikan teknik pembelajaran. Maka, bisa disimpulkan bahwa ujaran tersebut memang tak lebih dari sekedar penghakiman terhadap kemampuan siswa. Ekstrim lagi saya pernah mendapat cerita dari suatu sekolah, ada kelas yang gurunya malas untuk masuk ke kelas itu karena sudah lekat dengan julukan kelas spesial.

Salahkah guru mengeluh? Tidak, karena memang kita bisa merasakan umum dibeberapa sekolah siswanya mengalami penurunan motivasi belajar dibandingkan siswa beberapa tahun yang lalu. Apalagi jika dibandingkan dengan zaman sang guru masih berseragam yang sama dengan siswanya saat ini.

Tapi, justru itulah tantangan guru sekarang. Tantangan yang berbeda dengan yang dihadapi oleh guru kita berpuluh tahun yang lalu. Perkembangan zaman menyebabkan pola perilaku dan pola pikiran anak zaman sekarang jauh berbeda. Dulu, perintah guru dianggap sebagai titah raja yang wajib dilaksanakan. Saat ini, seringkali apabila perintah guru dianggap kurang sreg dengan jalan pikiran siswa, maka siswa cenderung akan mengabaikannya. Mengapa? Karena kita masih menggunakan gelombang dengan frekuensi puluhan tahun yang lalu, bukan frekuensi kid zaman now. Perintah kita mereka anggap sebagai dogma, dogma yang tidak realistis dan tidak sesuai kebutuhan hidup mereka.

Sayang, seringkali kita menghakimi siswa dengan predikat negatif.

Ada sebuah pengalaman yang membuat saya sedikit termenung. Di sekolah saya, ada satu siswa yang mengalami gangguan pada pendengarannya (tuna rungu). Karena sekolah kami tidak memiliki fasilitas kelas inklusi, maka anak tersebut tetap mengikuti kelas reguler. Tentu saja banyak hambatan. Penjelasan guru yang disampaikan secara audio pastinya sulit untuk dia tangkap. Hal ini tentu berimbas terhadap nilai akademisnya. Karena hambatan itu ditambah tidak adanya pendekatan khusus untuk membantu kesulitan belajarnya. Jadilah dia sebagai siswa yang sedikit terabaikan. Suatu saat, ketika pelaksanaan simulasi UNBK. Disela-sela dia mengerjakan soal saya lihat siswa tersebut membuat sebuah gambar. Bagi saya luar biasa, hanya bermodalkan sebuah bolpoin warna hitam dan kertas buram dia berhasil membuat gambar naga dengan detail yang luar biasa. Sebuah talenta yang selama ini luput dari pengamatan saya sebagai pendidiknya. Padahal, banyak rekan saya yang seolah menyerah untuk membantu kesulitan belajarnya.

Ini hanya satu contoh kasus. Banyak kejadian lain yang menimpa anak didik kita, kemudian kita terlanjur menghakimi anak tersebut dengan stempel negatif bahkan dengan julukan yang kasar. Ternyata banyak hal positif yang dimiliki anak tersebut yang luput untuk kita tangkap.

Sekali lagi hal ini tak lepas dari abainya kita untuk menyamakan frekuensi gelombang kita dengan gelombang anak-anak didik kita yang lahir di era berbeda dengan para gurunya. Lalu, bagaimana cara agar frekuensi pemancar kita klik dengan frekuensi siswa?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Di situlah letak kelemahan kita sebagai guru. Smg kedepan lbih introspeksi... Salam

03 Mar
Balas

Guru itu harus banyak akal untuk menangani anak yang bermasalah..salam

03 Mar
Balas

iya bu, tapi seringnya kita (saya khususnya) banyak akal supaya nilai anak bisa tuntas, hehehe

03 Mar



search

New Post