Nurul Faizah

Perempuan sederhana yang ingin berkarya, dengan nama pena Roel Faizah. Berharap dengan karyanya, dapat bermanfaat bagi kehidupan. Karya-karyanya yang berupa pui...

Selengkapnya
Navigasi Web
KELUARGA TAK SEMPURNA

KELUARGA TAK SEMPURNA

“Makan dulu, ini!”

Entah sudah berapa lama ia seperti ini. Lelaki yang lebih tua dua tahun dariku itu akan menjejalkan bungkusan makanan yang ada di genggamannya jika aku menolak.

Seperti sekarang ini, aku tetap mematung dan tak peduli dengan permintaannya. Selanjutnya bisa ditebak. Ya, makanan itu kini berpindah dengan paksa ke mulutku meskipun sudah kukatupkan kedua bibir.

Aku menolak sekuat tenaga dengan menggelengkan kepala, tetapi paksaannya juga semakin kuat. Aku tak kuasa melawan lelaki itu. Sudah kutampik juga, semua tak ada arti. Badannya yang tegap dan sempurna tentu dengan mudah memaksaku untuk melakukan apa saja.

Mungkin orang sekitar yang sering melihat kami seperti ini akan berpikir kalau aku tak pandai bersyukur. Sudah diberi makan, masih saja menolak. Suara itu bisa saja memekakkan telinga bagi yang pertama kali mendengar. Namun, bagiku serupa camilan sehari-hari yang mengenyangkan tanpa perlu makan.

Dan suara-suara sumbang itu benar-benar terdengar.

“Beruntungnya punya saudara seperti Mas Rudi, sudah baik mau mengurusnya tetapi malah tidak tahu berterimakasih.”

“Tinggal makan saja tidak perlu repot, malah menolak.”

“Sudah jadi beban, masih saja kurang bersyukur.”

Dan suara-suara itu terus saja bergulir, selama mereka tidak pernah menyaksikan apa saja yang kulakukan. Hanya Sardi, bocah kisaran usia sepuluh tahunan yang sering bersamaku yang tahu segalanya.

Seringkali anak itu mengatakan untuk kabur, atau berlari sejauh mungkin dari Mas Rudi, abangku. Ah, entahlah. Apa masih layak ia kupanggil Abang? Sementara ia petantang-petenteng dengan pencitraannya di hadapan para tetangga, mengabaikanku yang berpanas-panasan menembus hiruk-kipuk manusia di jalanan. Bukankah seorang abang harusnya justru melindungi adiknya?

Kadang aku juga tak habis pikir dengan Sardi, dengan pemikirannya yang menyuruhku kabur. Kenapa bisa ada pemikiran semacam itu di benak anak sekecil Sardi? Mungkin keadaan yang memang menuntutnya untuk berpikir dewasa, berbeda dengan anak seusianya. Padahal aku yang lima tahun lebih tua darinya masih berpikir ulang untuk melakukan hal konyol seperti itu.

***

“Terima kasih,” ucapku seraya menundukkan kepala. Ah, mungkin ini bisa dikatakan menutupi rasa malu setelah mendapat sedikit recehan dari orang-orang yang lalu-lalang di sekitar.

“Bang Adi, kenapa masih saja di sini?” Pasti bocah itu, Sardi. Setelah kutengok, benar dia. Dan aku hanya mengangguk, tak menyahut.

“Bang, sudah kubilang Abang pergi saja.” Lagi-lagi dia menyuruhku lari. Tak semudah itu, Bocah. Namun, aku masih enggan menjawab. Menjawab pun mungkin ia masih tak mengerti.

“Bocah, terus kenapa kamu juga masih di sini begini?” Kualihkan pertanyaan padanya agar ia tak lagi membujukku melakukan hal yang tidak mungkin. Tempo hari ia pernah mengatakan ingin beraktivitas yang lain, tapi masih belum tahu apa yang akan dikerjakannya.

“Siapa yang mau mempekerjakan anak kecil sepertiku, Bang. Bapak ada, tapi kaya nggak ada,” ucapnya menunduk seraya tersenyum getir. Seperti menertawakan nasib yang tak kunjung memihaknya.

“Maksudnya?” Terus terang aku bingung dengan ucapannya. Selama ini aku memang tidak tahu apa yang terjadi padanya. Sudah sebulan anak itu di sini setiap hari bersamaku, tetapi hanya aku yang terus ia interogasi. Entah, apakah dia yang terlalu banyak bicara atau pintar mengambil hati. Yang jelas, aku langsung dapat bercerita banyak hal padanya.

“Ya Bapak ada, Bang, tapi nggak pernah di rumah. Pulangnya paling kalau malam, itu juga nggak pasti. Kadang juga nggak pulang. Kalau nggak di sini aku makan apa, Bang?” Bocah itu masih bisa tersenyum di tengah keadaannya yang menghimpit.

“Terus Ibumu ke mana?”

“Udah meninggal setahun yang lalu, Bang. Sejak dulu memang Emak yang dagang buat makan sehari-hari. Bapak kadang kerja kadang di rumah saja, tidur.”

Kuhela napas yang tiba-tiba terasa sesak. Bocah ini tak jauh beda denganku, ditinggal orang tua ketika seharusnya masih bisa menikmati kasih sayang mereka.

Ah, kasih sayang? Bahkan aku tak yakin. Entahlah, ada keraguan di dalam sini, apakah sikap mereka yang seperti itu artinya menyayangiku.

Setiap kali mereka membawa sesuatu, pasti Mas Rudi yang didahulukan. Ketika kami berdua berebut mainan juga Mas Rudi yang dibela, meskipun terkadang dia yang merebut mainanku terlebih dahulu. Lalu, saat aku meminta sesuatu juga tak langsung diberikan. Berbeda dengan Mas Rudi, apa yang dipintanya selalu dituruti. Seorang kakak yang seharusnya melidungi adiknya malah tidak peduli. Dulu sampai aku berpikir, apa aku bukan anak mereka juga?

Hingga enam tahun lalu, Bapak dan ibu pamit ingin menjenguk Kakek yang saat itu sedang sakit keras dan tidak ada yang menemani. Kami ditinggal berdua, dititipkan ke tetangga sebelah. Alasannya agar tidak repot saat mengurus Kakek nantinya. Hari berikutnya, mobil ambulance datang. Bapak dan Ibu yang terbujur kaku di dalamnya berbalut kain kafan. Kata orang yang mengantar, mereka kecelakaan saat perjalanan pulang dari rumah Kakek.

Sejak itu, Mas Rudi yang biasanya tidak peduli padaku, mulai mendekati. Kupikir dia sudah berubah, nyatanya tidak. Lambat laun dia sering marah-marah karena keinginannya tidak pernah lagi terpenuhi seperti sebelumnya, saat Bapak dan Ibu masih ada.

Beberapa hari kemudian ia mengajakku berjalan kaki jauh sekali. Padahal itu kelemahanku. Namun, ia terus memaksa melanjutkan langkah hingga kami berdua sampai ke pusat keramaian kota.

Setelah mencari tempat berteduh, aku ditinggal sendiri di bawah pohon di trotoar tempat banyak orang lalu-lalang ke pasar. Mas Rudi bilang hanya sebentar. Memang awalnya sebentar. Namun, begitu dia tahu akhirnya aku memegang uang karena dikasihani orang yang lewat, Mas Rudi meninggalkanku lebih lama. Ah, bukan, lebih tepatnya berjarak. Dia bersikap seolah tidak mengenalku, padahal sedang mengawasi.

Dan hal itu berlangsung hingga sekarang. Apalagi sejak Bapak dan Ibu meninggal, kami tidak lagi bersekolah. Rutinitas itu yang akhirnya berulang setiap hari.

Sempat kucoba kabur seperti apa yang dikatakan Sardi, tetapi selalu ditemukan Mas Rudi. Sebab dia selalu memantau tempatku berada, seperti sekarang ini.

Jadi, jika Sardi menyuruhku kabur juga percuma. Mas Rudi pasti akan mencariku sampai ketemu. Sedangkan aku sudah serupa mesin uangnya.

Apa aku ke-jam mengatakan demikian? Lebih ke-jam mana menyuruh orang cacat panas-panasan dan hujan-hujanan di pinggir jalan hanya agar banyak orang mengasihani dan mendapat banyak recehan? Sementara dia berteduh di bawah atap restoran di ujung jalan sana seraya mengawasiku agar tidak kabur lagi?

Lalu, pantaskah orang seperti itu disebut abang? Pantaskah dia disebut keluarga? Keluarga katanya tempat ternyaman saat orang pulang, nyatanya dia tidak. Aku justru lebih nyaman bersama Sardi. Lalu, siapa di sini yang seharusnya keluarga?

Sore menjelang. Mas Rudi menjemputku seperti biasa, tetapi tidak di tempatku bersama Sardi. Dia menyuruhku berjalan menjauh terlebih dahulu agar tidak ada seorang pun yang tahu kalau aku bersamanya. Biasanya juga seperti tu. Namun, kali ini dia menyuruhku berjalan lebih jauh lagi hingga hamper sampai ke kampung tempat tinggal kami.

Mas Rudi mencegatku dan bersikap seolah menjadi abang yang baik hati kepada adiknya. Menuntunku, menggapai saat aku hampir saja terjatuh akibat berjalan dengan tak seimbang.

Bukan mauku terlahir dengan fisik yang tak sempurna seperti ini. Lalu, kenapa keluarga juga tak sempurna? Justru Sardi yang lebih menganggapku ada dan layak disebut keluarga.

Wonosobo, 20 Agustus 2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post