Romdonah Kimbar

Guru SD yang suka membaca, sedang belajar menulis, ingin menularkan virus membaca dan menulis kepada anak sendiri dan anak didik ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Aku Kecewa (6)

Aku Kecewa

Aku bersiap pulang setelah pekerjaanku hari ini selesai pukul 15.00. Tidak ada lembur. Ini adalah hari terakhir aku bekerja, empat hari sebelum lebaran. Sore ini aku akan mudik ke kotaku, meski bukan kampung halamanku. Aku tinggal di kampung kelahiran istriku, kampung kelahiran anak-anakku. Di sana anak-anak dan istriku sudah menunggu kepulanganku. Tadi pagi aku sudah mengabari mereka. Aku pulang sehari lebih awal dari rencana semula. Tentu hal ini membuat mereka bersorak gembira, meskipun upahku berkurang sehari.

Kukemasi pakaianku. Aku masukkan baju dan celanaku yang bersih terpisah dari pakaianku yang kotor. Tidak ada pakaian yang kutinggal. Mungkin sehabis lebaran aku tidak bekerja lagi di Jogja. Ada tawaran kerja di Jakarta sebagai satpam di perumahan. Itupun kalau lowongan tersebut belum diisi oleh orang lain.

“Den, kamu mau balik lagi ke Kalimantan nggak?”tanya Tino, teman sekolahku dulu di Jakarta.

Tino tahu kepulanganku awal tahun ini karena kontrak kerjaku di salah satu perusahaan kayu di pulau Borneo telah berakhir. Aku tidak memperpanjang kontrak kerjaku. Aku tidak betah tinggal di tengah hutan terlalu lama. Meskipun gaji yang kuterima agak lumayan, jauh berbeda dengan pekerjaanku yang sekarang. Bekerja sebagai tukang bangunan di proyek hanya untuk mengisi waktu sebelum aku mendapat pekerjaan di tempat yang baru. Lagipula lebaran ini aku ingin menikmatinya bersama keluargaku.

“Ada lowongan pekerjaan di sini. Perumahan di sini membutuhkan satpam. Roni, satpam lama pulang kampung dan tidak kembali lagi. Ia akan melanjutkan usaha ayahnya di kampung.” Lanjut Tino memberi informasi kepadaku setengah bulan yang lalu.

“Terima kasih, Ron. Tapi lebaran tinggal beberapa hari lagi. Beberapa tahun ini aku tidak bisa berlebaran bersama keluarga. Mungkin setelah lebaran aku bisa.” Aku membalas pesan WA Roni saat itu dan sampai hari ini aku belum terhubung lagi.

Aku membayangkan akan menikmati pekerjaan yang tidak seberat sekarang. Meskipun harus jauh dari keluarga, tetapi tenagaku tidak terlalu terkuras. Beberapa tahun sebelumnya aku bekerja sebagai satpam di beberapa perusahaan yang berbeda. Tentu pengalaman yang kudapatkan juga berbeda. Memang semua pekerjaan membutuhkan konsekuensi sendiri-sendiri. Namun demikian, seberat apapun pekerjaan yang harus aku lakukan, tidak ada kata mengeluh bagiku. Aku jalani, aku nikmati dan aku syukuri. Aku seorang kepala keluarga. Sebagai kepala keluarga aku bertanggung jawab atas keluargaku. Tidak boleh tidak. Itulah sebabnya sejak awal tahun ini aku bekerja di proyek bangunan di Jogja.

“Den, ayo berangkat!” panggilan Slamet mengagetkan aku. Aku bergegas mengendong tas punggungku dan menjinjing tas plastik berisi pakaian kotor di tangan kiriku. Tangan kananku memegang telepon gengganku yang tadi hampir ketinggalan karena masih terpasang dengan kabel cas di colokan listrik. Aku, Slamet dan empat orang lainnya termasuk bapak mertuaku masuk ke mobil juraganku yang akan mengantar sampai ke terminal.

Tidak berapa lama bus yang akan kami tumpangi sedang dipanasi mesinnya, itu pertanda bus akan segera berangkat. Kami berenam segera naik menempati jok yang masih kosong. Aku duduk bersebelahan dengan mertuaku. Alhamdulillah kami mendapat tempat duduk yang nyaman di bus. Masih ada beberapa tempat duduk yang kosong, namun lima menit kemudian semua jok telah terisi penuh. Bahkan ada beberapa penumpang yang berdiri sambil tangannya berpegangan pada sandaran jok. Ada juga yang berpegangan palang besi di atas kepala mereka.

Beberapa saat sebelum bus melewati pintu keluar terminal, sopir memperlambat laju bis, dan berhenti. Namun mesin bus tidak dimatikan. Di pintu depan dekat tempat dudukku, naiklah seorang perempuan berjilbab putih bergaun panjang. Wajahnya tertutup masker berwarna pink, senada dengan gaun yang dipakainya. Aku tertegun melihat dia masuk ke dalam bus. Aku dapat melihatnya dengan jelas karena tempat dudukku ada di dekat pintu masuk bus. Aku tidak sempat mengenali wajahnya yang tertutup masker hampir seperti cadar yang menutupi sebagian besar wajahnya. Tetapi jilbab yang dikenakan perempuan tadi, seperti tidak asing di penglihatanku.

Tiba-tiba emosiku berguncang. Jantungku berdetak kencang. Kata rindu seperti diperintahkan oleh otak untuk menguasai hatiku. Aku berharap itu adalah Maya. Maya yang sejenak terlupakan oleh kesibukanku. Kesibukanku yang tidak memungkinkan membuka telepon genggam untuk sekadar membuka pesan WA yang mungkin telah dikirimnya. Beberapa hari terakhir pekerjaanku menuntut untuk bekerja dari pagi sampai sore dan dilanjutkan lembur malam. Karena sudah kelelahan kadang aku segera tertidur tanpa sempat membuka pesan WA yang masuk. Kalaupun aku sempat membacanya, aku belum bisa membalasnya. Waktunya yang tidak memungkinkan.

“Apakah ini aku harus menjawabnya?” begitu pesan terakhir yang masuk ke telepon genggamku, beberapa hari lalu. Maya tidak menjawab pertanyaanku “Kenapa?” ketika suatu malam dia mengirim foto dengan butir air mata keluar dari kedua matanya. Dia malah balik bertanya dengan mengirim pesan terakhirnya itu.

Aku yakin dia menunggu jawabanku. Tetapi apa boleh buat, aku benar-benar tidak sempat membaca pesannya. Kembali perhatianku tertuju pada penumpang perempuan berjilbab putih di depanku. Otakku berfikir cepat. Aku segera mengambil telepon genggam yang tadi sempat aku masukkan di dompet kecil dalam tas punggung. Aku hidupkan telepon genggam dan segera buka WA. Aku ketik balasan untuk pesan Maya yang belum kutanggapi

“Aku sudah di bus jurusan Jogja Magelang. Maaf aku belum sempat membalas pesan yang kemarin.”

Aku amati penumpang di depanku. Aku berharap dia mengambil telepon genggamnya. Satu, dua, tiga. Ah! Tidak ada tanda-tanda tangannya bergerak. Tetapi telepon genggamku berbunyi. Ada pesan masuk. Aku segera membacanya.

“Ya, nggak papa. Aku tahu kamu sibuk. Hati-hati. Semoga selamat sampai di rumah. Di sana keluargamu sudah menunggu.”

Pupus sudah harapanku untuk bisa memandang wajah Maya. Ternyata perempuan berjilbab putih itu bukan Maya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bu Rom pandai memancing rasa penasaran pembaca, dari njen saya jadi belajar banyak...segera lanjutkan ya Bu?

18 Jun
Balas

alhamdulillah. wajah saya membuat penasaran nggak? he he he

18 Jun

Lanjutanya kpn bu Rom? Ceritanya bagus, aku masih ingin membacanya.

18 Jun
Balas

Okey, segera saya tulis lanjutannya. Tunggu ya... Terima kasih sudah membaca sebagai apresiasi.

18 Jun

Lanjutkan bu Rom. Menarik lho ceritanya

18 Jun
Balas

Terima kasih, tunggu ya.

18 Jun



search

New Post