Rosidatul Arifah

Mahasiswi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mantra Halal 'Man Shabara Zhafira'
Resensi Film ranah 3 warna, antara religi atau fiksi remaja?

Mantra Halal 'Man Shabara Zhafira'

Film Ranah tiga warna merupakan alih wahana dari salah satu novel best seller karya A. Fuadi. Ranah tiga warna liris pada Juni 2022 lalu dan dibintangi oleh salah satu aktor ternama tanah air, Arbani Yasiz. Film berdurasi 150 menit ini disutradarai oleh Guntur Soeharjanto dan termasuk salah satu film yang meraih beberapa penghargaan di tingkat internasional, yaitu pada Festival Film Malaysia dalam kategori anugerah khas juri film antarbangsa.

Matra merupakan kata-kata atau kalimat yang dipercayai mengandung kekuatan magis atau ghaib dan hanya dapat diucapkan oleh orang-orang tertentu. Namun, mantra biasanya berkonotasi dengan hal-hal pralogis dan cenderung disejajarkan dengan hal dan kepercayaan negatif. Lantas bagaimana dengan mantra ajaib yang berhasil menjadi juru selamat dan obat penyemangat serta alasan untuk tetap bertahan ditengah berbagai persoalan dan cobaan yang silih berganti? Ranah 3 warna menjawab semua ini.

Berbekal mantra ajaib yang luar biasa manjur-nya, “Man Shabara Zhafira” menjadi cambukan juga api penyemangat bagi Alif untuk mencapai mimpinya, menapaki tiga ranah yang berbeda menyelusuri setiap jejak cita-citanya.

Film yang diadaptasi dari sebuah novel best seller karya A.Fuadi ini merupakan bagian dari kelanjutan cerita dari trilogi novel Negri lima menara yang juga sudah difilmkan. Jika pada cerita Negeri 5 Menara, Alif berbekal mantra “Man jadda wa jada” yang bermakna “Barangsiapa bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil”. Sementara dalam film Ranah tiga warna berganti menjadi “Man shabara zhafira” Yang bermakna “siapa yang bersabar akan beruntung”.

Film diawali dengan keinginan Alif mengejar mimpinya hingga ke Negri Amerika, ia melanjutkan pendidikannya di sebuah perguruan tinggi negeri ternama, universitas Padjajaran. Berbekal tekad yang kuat, Alif mulai dari mahasiswa sudah mengancang-ancang dan mempersiapkan dirinya dengan segala kelihaiannya dalam dunia jurnalis dan press. Berteman dengan randai, salah seorang sahabatnya dari ranah minang, yang berkuliah di kampus ITB yang mulanya dikira akan banyak membantunya selama di rantau, namun Alif dan randai malah terlibat beberapa konflik terlebih lagi setelah dirinya di klaim underdog dengan randai membuat Alif menjadi tidak enak untuk terus menerus menompang di tempat randai. Cobaan demi cobaan dilewati oleh Alif, mulai dari konfliknya dengan randai, hingga berita duka kematian ayahnya yang membuat Alif patah semangat untuk terus melanjutkan langkahnya. Biaya kuliah yang tersendat setelah kepergian ayah, dan gejolak batin Alif yang tidak tega meninggalkan amak dan adik-adik di kampung halaman mulanya menjadi alasan Alif untuk tidak melanjutkan perjalanan dan kuliahnya. Namun lagi-lagi, mantra “Man shabara zhafira” kembali menyihir dan menguatkan Alif yang tengah terpuruk. Tiada cobaan yang diberikan kepada seorang hamba melainkan tidak melalui batas kemampuannya. Alif kembali tersihir dan hanyut dalam mantra ajaibnya. Kembali ke kampus kemudian menjalani hari-harinya sebagai seorang mahasiswa dan mencari tambahan biaya untuk hidupnya kini dijalani oleh Alif dengan penuh semangat. Alif menjalani semua hambatan dan cobaan selalu diselesaikan dengan sihiran mantranya.

Film ini mengangkat suku Minangkabau sebagai latar sosial kehidupan Alif. Orang Minangkabau yang dalam pengetahuan umum seringkali di cap sebagai orang-orang yang tak senang berdiam diri, dan terkenal haus akan ilmu dan pengalaman. Film ini merealisasikan seluruh unsur tersebut dalam diri Alif yang senang merantau menimba ilmu. Tak senang berdiam sebagai mahasiswa saja. Juga seperti yang diketahui masyarakat umum, orang Padang adalah orang yang senang berniaga atau berjualan, Alif melanjutkan hidupnya di perantauan berbekal kemampuannya berniaga. Di sisi lain, Alif membuktikan bahwa ia layak menjadi tetangga Buya Hamka dengan mengikuti program pertukaran pelajar ke Kanada, meski bukan Amerika seperti tujuan awalnya, Alif merasa itu bukan masalah besar. Tidak berhenti disana, cobaan selalu melanda mereka yang berusaha agar lebih gigih memperjuangkan mimpinya.

Sesampai di Kanada, alih-alih bekerja di sebuah perusahaan atau kantor press seperti keinginan dan minatnya, Alif justru ditempatkan di sebuah peternakan sapi milik seorang pria tua. Alif dituntut bekerja mengurusi sapi-sapi seorang diri tanpa rekan kerja, mulai dari membersihkan kotorannya, memandikan, memberi makan, hingga mengembalakan sapi-sapi tersebut. Alif sangat malu dan kesal. Terlebih lagi disaat teman-temannya mendapatkan tempat bekerja yang layak di perusahaan swasta atau media massa dan berbicara banyak persoalan pekerjaan mereka. Alif merasa benar-benar terpukul. Alif teringat ibu dan adik-adiknya di rumah, ia bukan menginginkan menjadi seorang penggembala dan peternak sapi, melainkan menjadi seorang jurnalis. Alif merasa semakin tersiksa, mengingat dan mengungkit semua kejadian sebelumnya yang telah ia lalui dengan kesabaran dan keikhlasan hati. Alif merasa tiada guna lagi ia berjuang dan bertahan sejauh itu dan ber'itikad hendak menyerah. Dalam masa-masa ketepurukan ini, lagi lagi mantra “Man shabara zhafira” kembali bekerja. Alif kemudian disadarkan atas segala kekesalan dan kekecewaan yang tak seharusnya. Ia harus semakin menggiatkan sabar, dan terbukti, Alif mendapatkan predikat penghargaan ketika malam perpisahan pertukaran mahasiswa Canada. Terbukti, mantra ajaib, man shabara zhafira selalu bekerja tepat pada waktunya.

Berbicara perihal remaja adalah bicara persoalan peradaban. Film Negri Lima Menara adalah mutasi awal tonggak perkembangan berfikir bagi remaja, penyuguhan jalan cerita yang disaduri oleh kehidupan remaja dan konflik-konflik yang umum terjadi di kalangan remaja menurut saya ini menjadi kian menarik ketika diseimbangkan dan diseduh dengan nilai religi yang tergambar besar dari cerita. Penulis dan aktor sukses dalam mempertunjukkan karakter Alif sebagai urang awak yang tak kenal lelah dan menyerah serta senang berpergian jauh demi menimba ilmu pengetahuan dan pengalaman (marantau) nan tetap teguh pendiriannya dengan slogan dan mantra yang dipercayainya bukan sebagai sesuatu yang sakral lagi, melainkan menjadi juru pengingat dan penyelamat saat Alif mengalami keterpurukan.

Ranah 3 Warna merupakan ungkapan perlambangan untuk tiga ranah negara yang telah dijejali oleh sepatu kulit pemberian ayah Alif. Ketiga negara tersebut adalah Indonesia, Yordania dan Kanada. Cerita ditungkus dengan feel emosi yang selalu dituangkan dalam setiap adegan. Namun, dalam beberapa adegan, masih terlihat beberapa hal yang mengganggu stabilitas kesempurnaan film ini. Pada adegan Alif diberi medali penghargaan milik rekannya yang kemudian dipakaikan ke Alif, menurut saya kurang di dramatisir adegannya, Alif disana seakan terlihat egois ketika dengan bangganya maju ke panggung tanpa ada aba-aba dari panitia yang tidak menobatkan dirinya sebagai pemilik penghargaan secara resmi.

Kemudian saya juga salfok dengan adegan di awal-awal film yang memperlihatkan Alif sedang berteduh menuju kosannya namun tiba-tiba ia menemukan mushalla dan tiba-tiba pula ia menjadi guru ngaji di mushalla itu. Menurut saya adegan dalam bagian ini kurang matang dan malah terkesan freak, dan sangat tiba-tiba, sehingga penonton dibuat bingung olehnya, mungkin karena merupakan alih wahana dari novel, beberapa adegan terlihat agak kaku dan tampak tidak jelas pergantian scene nya. Kritik saya juga terfokus kepada bagian ending dari film ini yang menggambarkan Alif bersama istrinya yang belum diketahui identitasnya berada di sebuah tempat yang tengah turun salju, namun editing dan background latarnya kurang mendukung sehingga terlihat jelas bahwa latar tempat hanyalah editan semata.

Mungkin sebab pada dasarnya film ini diadaptasi dari novel, jadi plot-plot ceritanya mengikuti asal novel tersebut. Pertarungan pada film ini yang terasa kurang memuaskan yaitu terletak pada soundnya. Banyak sekali karakter di film ini ketika pemeran berbicara suaranya seperti tempelan atau di dubbing sehingga akibatnya terdengar aneh. Selain itu, sound-sound yang sama di film ini tak jarang dimunculkan. Pemeran yang seharusnya sedih secara natural malah seakan tampak dipaksa sebab penempatan music yang kurang tidak tepat, seperti pada scene setelah Alif dirampok oleh preman di angkot. Akting nya seakan tampak sangat disengaja karena ketidaksesuaian sound. Pada film ini juga mestinya ada adegan yang harusnya jadul, karena latar waktu yang ditampilkan adalah keadaan tempo dulu, tetapi dalam film tidak terlihat jadul namun malah terlihat terkini. Perpindahan scene-scene pada film ini pula terasa selalu tiba-tiba. Alur pada film ini terasa relatif cepat sebagai akibatnya terkesan buru-buru padahal durasi film ini sangat panjang.

Akting pemeran utama bagus, terutama ketika membawakan 4 ragam bahasa tentu aktor sangat tentu bekerja keras dalam melafalkan berbagai macam bahasa agar terlihat se-natural mungkin, namun sebagai orang Minangkabau asli saya masih menangkap beberapa kejanggalan bahasa Minangkabau yang dibawakan Alif, terutama dalam logatnya, juga logika bahasa yang saya rasa kurang pantas, pemakaian kata “ang, den” biasanya hanya lumrah di kalangan remaja seusia saja, bukan wajar dan malah tergitung kasar, ketika seorang ayah memanggil anaknya dengan sebutan “ang” dan dirinya sendiri dalam sebutan “den”. Mungkin kedepannya, tim produksi lebih jeli dan riset lagi terlebih ketika mengangkat dan membawakan unsur kebudayaan, terutama dari ranah Minangkabau yang notabene harus relevan dengan keadaan masyarakat disana, agar tidak terjadi kesalah pahaman.

Terlepas dari sana, Ranah tiga warna tidak hanya terfokus tentang buah dari kesabaran dan usaha, namun juga mengandung unsur komedi yang sukses membuat penonton menjadi campur aduk, antara sedih yang dialami tokoh dan hiburan yang menggelitik dan kocak yang dibangun sehingga terkesan tidak monoton dan membosankan. Film ini juga mampu menungkus beberapa nilai-nilai penting dalam falsafah kehidupan, Ranah 3 warna sukses mengangkat nilai kebudayaan, religi dan kekeluargaan dengan porsi yang amat seimbang sehingga tidak ada yang nampak terlalu ditonjolkan. Mantra-mantra ajaib yang selalu dibawa Alif dari pondok pesantren merupakan salah satu perlambangan dari mengangkat isu religi dalam film ini, Alif mengelilingi dunia berbekal dengan kesabaran seperti yang tertuang dalam Man shabara Zhafira.

Sebaik-baiknya kendaraan hidup adalah kesabaran.

-Alif Fikri

Penulis :

Rosidatul Arifah, mahasiswi aktif Sastra Indonesia, FIB Unand dan tengah aktif berkegiatan di LPK (labor penulisan kreatif) FIB UNAND.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post