Sejak seminggu yang lalu saya berencana cycling ke bukit batu di daerah Ardirejo. Bukit ini dikenal dengan nama bukit Batu Gamelan karena memang berbatu-batu seperti alat musik gamelan.

Merasa bosan dengan rute yang selalu menyusuri sungai, saya memilih untuk naik ke bukit. Suami mengiyakan saja karena dia memang penyuka rute downhill.

Rutenya memang agak ekstrim. Bukan jalan aspalan. Hanya makadam dan bahkan berbatu. Beberapa kali saya harus turun, menuntun sepeda karena jalan yang berpasir dan berbatu besar, juga menanjak. 

Ketika sampai di ujung jalan tanah berbatu dan berpasir, kami pun menginjak jalan aspal. Dengan percaya diri, suami mengambil arah kiri yang memang jalur menurun. Saya dan anak2 mengikutinya dengan bahagia. Kami berpikir telah terlepas dari penderitaan jalan batu, menanjak, dan menuntun sepeda. Kami bersuka ria menuruni jalan aspal itu.

Tapi ternyata arah yang kami ambil salah. Jalan itu berakhir pada tanjakan lagi. Seharusnya sudah turun untuk ke kota. Mau kembali pun kami rasa tak sanggup. Itu berarti kami harus naik lagi. Tak mungkin juga karena bekal minum kami sudah menipis. 

Terpaksa kami mencari jalan memotong, melewati sawah dan sungai kecil. Kami mencari jalan melalui bantuan google maps. Akhirnya kami menemukan jalan aspal lagi. Kali ini agak berdebat untuk memilih arah kanan atau kiri. Apalagi persepsi kami dalam membaca peta agak berbeda. 

Akhirnya kami memilih arah kiri. Dan alhamdulillah.. kami menemukan perumahan dan warung yang artinya kami bisa mengisi bekal minum dan mengisi perut karena waktu sudah lebih dari waktu makan pagi. 

Sungguh melelahkan.. tapi dari ini kami bisa mengambil hikmah bahwa jalan turun yang melenakan tadi bisa membawa kita pada kesesatan. Jadi jangan terlena oleh kenikmatan yang sementara..

Haha.. 😁😁