Semenjak ditinggal suamiku, aku berusaha menjadi semakin kuat. Pekerjaan-pekerjaan yang dulunya tidak pernah kupegang, sekarang mampu aku handel. Memasang selang gas, memperbaiki lampu mati, mencari bahan-bahan bangunan, termasuk mengatasi atap bocor.

Kemampuanku mengendarai motorpun, sekarang semakin berani. Aku semakin PD membawa motor ke jalan besar, bahkan memboncengkan kedua anakkupun aku sudah berani. Padahal dulu, aku super dimanjakan, kemana-mana tinggal bilang, suamiki akan selalu siap sedia.

Seperti saat ini, anakku yang kecil, minta dibelikan buku paket. Toko bukunya lumayan jauh, dan lewat jalan besar. Dengan mantap, kuiyakan permintaan Satriyo. Kukendarai motor dengan kecepatan rendah. Kubonceng Satriyo di belakang. Kuidentifikasi diriku sebagai Valentino Rossi, biar ketakutanku hilang. Motor melaju, semakin kecang. Ditikungan, badanku meliuk, miring empat puluh lima derajad, wuiiih Valentino Rossi sedang membalap..... di depan ada polisi tidur, sedikit mengerem, gigi kukurangi, dannnnn..... ndet...ndet... lhooo kok ..motor mati, kenapa ini. Aku bingung. Kutuntun motor ke tepi. Aku lihat-lihat, apa ya yang rusak, businyakah. Satriyo juga ikut jongkok, trus bertanya, kapan aku terakhir beli bensin. Alamak, aku lupa, sudah dua minggu lalu, akhirnya motor ku titipkan di warteg pinggir jalan. Aku dan Satriyo menyetop angkot, dan mencari warung bensin. “Mamak malu-maluin aja,” ucap Satriyo sambil cemberut.