Aku mempunyai dua jaket kebanggaan. Satu bertuliskan Magisca’91, singkatan dari mahasiswa geografi study club angkatan 1991. Jaket ini keren, bukan karena bahannya atau mahalnya. Tetapi para pemiliknya, mereka adalah teman-temanku yang pintar-pintar, menonjol di jurusan dan angkatanku. Rata-rata IPK kami di atas 3. Ketika diajak masuk ke club ini, aku merasa bangga. Kami menjadi kelompok eksklusif. Kulihat pandang-pandang iri dari banyak orang. Satunya lagi jaket anggota Senat Mahasiswa Fakultas. Jaket yang hanya dimiliki enam belas orang di fakultasku. Ih senangnya aku.

Sudah sebulan aku tinggal di rumah kakak sulungku. Bapakku mengajukan alternatif atas kebingunganku. Ada pangilan tes kerja dari Yayasan Pertamina di Pendopo, Palembng, sementara aku baru tiga bulan kerja di Bogor. Dengan niatan mencari tempat yang lebih baik, sekaligus menemani kakak yang jauh merantau, akhirnya kuputuskan mengikuti saran bapak.

Ternyata nasifku belum berjodoh di Pendopo. Padahal aku sudah mengundurkan diri dari sekolah di Bogor. Sekarang aku mau pulang kampung, ke Jogja, menentramkan hati. Dari Sumatera, aku bersama kakak laki-lakiku, mampir dulu di asrama tempat tinggalku di Bogor. Aku harus mengemasi barang-barangku yang dulu masih tertinggal. Waktu sudah malam, kami berdua harus mengejar bus. Selesai berkemas-kemas, aku cepat-cepat pamit ke ketua Asrama. Dan langsung cabut, menuju terminal bus antar kota antar propinsi. Aku menarik nafas panjang ketika sudah duduk di bus. Tetapi kok ada yang menganjal ya, aku merenung-renung, mengingat-ingat, dannnn, “Masya Allah, jaketnya Mas!” teriakku ke kakakku. Kami berdua hanya saling memandang. Aku memakai jaket Magisca’91, sedangkan kakakku kupinjami jaket senat, dan dua-duanya ketinggalan di asrama tadi.