Muridku, Inspirasiku (bagian kesatu)
Oleh: Ruba Nurzaman
Dia hanya menatap kearah saya, dan sesekali melihat buku catatan teman sebangkunya. Selama mengajar di kelas ini saya belum pernah menemukan dia sedang menatap papan tulis, ketika saya menulis soal di papan tulispun dia tidak menatap papan tulis.
Namanya Nurhasanah, siswi yang tergolong pintar di sekolah kami. Orangnya pendiam, tubuhnya tergolong tinggi dan memiliki warna kulit sawo matang. Dalam kesehariaanya tidak ada yang aneh, sama seperti siswa-siswi yang lainnya.
Saat itu kali pertama saya ditugaskan mengajar di kelas unggulan, di madrasah yang memiliki siswa sekitar 1500-an. Sebuah madrasah yang tergolong banyak diminati oleh warga diujung barat sebuah kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung. Di madrasah yang berdiri sejak tahun 1975 itulah tempat saya mengabdikan diri menjadi seorang guru. Salah satu profesi yang tidak masuk dalam list cita-cita saya sejak kecil bahkan sampai lulus kuliah dari perguruan tinggi penyelenggara LPTK.
Saya mengambil kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, karena saya sadar orangtua saya yang berprofesi sebagai guru akan merasa berat seandainya saya tetap untuk kuliah sesuai dengan keinginan saya, yaitu fakultas teknik jurusan teknologi pangan di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Saat itu biaya kuliah untuk jurusan tersebut termasuk paling tinggi, apalagi kalau dibandingkan dengan biaya di fakultas keguruan di perguruan tinggi tersebut. Itupun saya melihatnya biaya fakultas keguruan di PT tersebut masih tergolong tinggi, sehingga akhirnya saya memutuskan untuk mengambil kuliah program studi pendidikan biologi di salahsatu perguruan tinggi swasta di Tasikmalaya yang saat ini sudah menjadi satu-satunya universitas negeri di priangan timur.
Karena menjadi guru bukan cita-cita saya, maka begitu lulus kuliah, saya tidak langsung mengabdikan diri sebagai guru, bahkan sebelum saya dinyatakan lulus saya sudah bekerja di yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang saya pelajari selama kuliah, yaitu dibidang proyek pembangunan jalan di daerah Tasikmalaya bagian selatan. Begitu proyek tersebut selesaipun saya sempat berpindah-pindah profesi mulai dari kerja di perusahaan dibidang marketing sampai menjadi asisten manajer, menjadi financial advisor di perusahaan asuransi sampai menjadi pialang saham index dan forex di salah satu perusahaan future terbesar di Indonesia pada saat itu. Namun pergolakan batinlah yang mendorong saya untuk kembali ke khittah, yaitu menjadi seorang guru. Dan akhirnya saya memutuskan untuk mengabdikan diri di Almamater saya sewaktu MTs dulu (MTs Al-Mukhtariyah Rajamandala). Dalam diri ini saya memiliki keinginan yang kuat untuk bisa tumbuh bersama. Saya ingin mengembangkan diri di sekolah ini, dan diikuti dengan perkembangan almamater saya menjadi lebih baik lagi agar saya bisa bangga menjadi bagian dari sekolah ini dan tentunya semua alumni juga bisa merasakan hal yang sama. Sehingga dengan begitu anak-anaknya kelak akan disekolahkan di almamater kebanggan mereka.
Tiga tahun pertama mengajar, saya mendapat tugas mengajar yang bukan bidang saya, yaitu mata pelajaran matematika. Padahal saya lulusan pendidikan Biologi dan berharap mengajar IPA, tetapi kepala sekolah meyakinkan saya, bahwa saya bisa mengajar matematika meskipun bukan dari jurusan matematika.
Pada tahun pertama mengajar di kelas unggulan, saya mendapatkan informasi bahwa akan diadakan lomba olimpiade Matematika, IPA dan PAI bagi siswa-siswi madrasah mulai dari tingkat KKM (Kelompok Kerja Madrasah) sampai tingkat nasional. Kemudian sayapun ditugaskan untuk menyeleksi dan membimbing siswa calon peserta olimpiade untuk bidang Matematika. Sayapun langsung memilih 5 orang siswa dan siswi untuk dibimbing yang nantinya hanya diambil satu siswa terbaik yang berhak mengikuti lomba tersebut.
Salah satu dari lima orang tersebut, saya memasukkan Nurhasanah untuk bisa mengikuti bimbingan untuk olimpiade Matematika ini. Adapun alasan saya untuk memilih dia, karena anak itu sedikit unik dan berbeda dengan yang lainnya. Dia sering mengerjakan soal-soal yang saya berikan dengan caranya sendiri, tidak sama dengan apa yang saya ajarkan, tetapi jawabannya selalu benar. Dan gara-gara anak ini membuat saya dituntut untuk belajar lebih ekstra lagi dan termotivasi dalam mempelajari matematika. Salah satu mata pelajaran yang paling lemah saya kuasai sejak SMA. Hal ini disebabkan saya terlalu aktif berorganisasi dan sering tertinggal pelajaran.
Setelah beberapa minggu memberikan bimbingan akhirnya saya memilih anak itu untuk diikutsertakan dalam perlombaan. Karena dia memiliki progress yang paling baik selama mengikuti bimbingan. Akhirnya tibalah waktunya lomba olimpiade Matematika, IPA dan PAI tingkat MTs se-KKM V Cikalongwetan (meliputi MTs yang berada di wilayah kecamatan Cikalongwetan, Cipeundeuy dan Cipatat) dimulai. Anak-anak terlihat tenang, malah kami selaku pembimbing yang terlihat panik, karena ini adalah kali pertama saya membimbing siswa untuk mengikuti sebuah perlombaan.
Alhamdulillah...perasaan cemas itu berubah menjadi perasaan haru dan bahagia, saat mendengar pengumuman, bahwasannya siswa yang selama ini saya bimbing, keluar sebagai juara pertama pada olimpiade bidang Matematika dan bidang IPA pun dimenangkan oleh siswa kami. Dan madrasah tempat saya mengabdikan diri akhirnya menjadi juara umum. Sejak saat itu, sekolah kami selalu langganan juara olimpiade baik Matematika maupun IPA yang saat ini sudah dipecah menjadi Fisika dan Biologi, paling tidak kami selalu masuk ke tingkat provinsi.
Setelah menjuarai lomba olimpiade di tingkat KKM, kami memiliki waktu dua minggu untuk membimbing kembali mempersiapkan diri mengikuti lomba olimpiade ke tingkat Kabupaten Bandung Barat. Waktu dua minggu kami manfaatkan sebaik mungkin. Untuk olimpiade tingkat Kabupaten pun alhamdulillah kembali keluar sebagai pemenang juara pertama dan berhak maju ke tingkat provinsi. Pada saat akan mengikuti olimpiade ke tingkat provinsi ada sesuatu yang membuat saya tercengang. Nurhasanah, siswa yang selama ini saya bimbing ternyata didiagnosa memiliki penyakit mata yang mengakibatkan kemampuan untuk melihatnya terbatas setelah ada salah seorang guru yang membawanya untuk cek kesehatan sebelum mengikuti lomba.
Jadi, selama ini mengapa dia jarang melihat ke papan tulis dan lebih banyak melihat buku temannya itu diakibatkan oleh keterbatasannya dalam melihat. Hal inilah yang membuat saya semakin mantap untuk tetap mengambil profesi yang tadinya sama sekali tidak pernah terpikirkan dalam benak saya. Saya semakin termotivasi untuk terus belajar. Bagaimana tidak, orang yang memiliki keterbatasan saja masih bisa berprestasi apalagi saya.
Ketika ada anak didik kita yang berprestasi, disitu ada rasa bangga yang muncul dalam jiwa ini. Hal itulah yang semakin meneguhkan diri saya untuk tetap menjadi seorang guru. Agar rasa bangga ini selalu ada, maka saya harus senantiasa bisa memberikan yang terbaik bagi almamater saya ini.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
:Mantap...