Belum selesai gegap gempita Kurikulum Merdeka dengan segala pernak-perniknya, tetiba muncullah berita terbitnya Kurikulum Nasional yang akan segera menggantikan posisinya. Entah benar atau tidak berita tersebut, tapi mau tidak mau membuat kami para guru di daerah tercengang.

Jujur, belum semua sekolah di daerah kami sempat mencicipi cerita manisnya Kurikulum Merdeka. Eh, tetiba malah muncul kurikulum pengganti. Beberapa senior mengatakan bahwa hal itu hanyalah ganti cashing saja, tapi kontennya tidak jauh berbeda. Justru, hal itu yang membuat kami kebingungan. Kalau hanya sekedar cashing, mengapa harus ribet-ribet ada penggantian kurikulum.

Mungkin bagi para pejabat yang ada di atas, tidak akan ada efek signifikan. Toh mereka hanya perlu tanda tangan surat persetujuan. Namun, masyarakat kelas bawah sebagai golongan awam pasti merasakan efek tak enaknya. Tentu, mereka para pejabat tidak tahu bahwa jika terjadi pergantian kurikulum, maka seluruh perangkat ajar juga harus diganti. Belum lagi para murid yang hanya melongo diajari ini dan itu. Para wali murid yang juga kebingungan karena harus ganti buku baru. Beli lagi. Uang lagi.

Di saat harga kebutuhan pokok melambung tinggi, tentu budget pembelian buku baru juga menjadi hal lain yang mau tidak mau harus diutamakan. Entahlah. Saya juga ikut pusing mendengar obrolan para emak di tukang sayur langganan tadi pagi.