Rusdi El Umar

Rusdi El Umar, adalah guru pengajar IPA di SMPN 1 Masalembu Sumenep Madura. Suka menulis dan membaca serta seabrek aktifitas lainnya. Penyuka olahraga bulu tang...

Selengkapnya
Navigasi Web
Bidayatul Hidayah dan Aspek Kajian Lainnya
K. Ali Fikri A. Warits

Bidayatul Hidayah dan Aspek Kajian Lainnya

Pengajian Kitab Bidayatul Hidayah kali ini di-kabidi pada Ahad, 27 November 2022. Kitab yang diampu oleh Kiai Ali Fikri ini dihadiri oleh para alumni dari lintas generasi. Salah satu nilai Ikatan Silaturrahmi adalah mengikuti pengajian kitab ini yang dilaksanakan setiap Ahad minggu keempat setiap bulannya. Kitab yang ditulis oleh Hujjatul Islam Imam Ghazali ini (tengah) menjelaskan terkait dengan amalan-amalan setelah shalat Subuh hingga terbitnya matahari (syuruk).

Di dalam Kitab Ihya' Ulumuddin yang juga ditulis oleh Imam Ghazali menjelaskan (aspek di luar bahasan kitab ini) bahwa ada empat bagian dalam amalan waktu dhuha. 1) amalan doa, 2) amalan zikir dan tasbih, 3) amalan baca Al-Quran, dan 4) amalan tafakur (berpikir tentang ketuhanan dengan segala aspeknya).

Sedangkan di dalam kitab Bidayatul Hidayah yang sedang kami kaji kali ini adalah terkait dengan tafakur dalam hal dosa, kesalahan, kelalaian terkait dengan ibadah kepada Allah swt. Karena hal tersebut akan dihadapkan kepada sanksi atau balasan yang sangat pedih karena dosa dan kesalahan yang kita perbuat. Dengan cara tafakur diharapkan terjadi perubahan tingkah atau lelaku dari yang salah menjadi benar, dari yang tidak baik menjadi baik.

Kemudian merencanakan (list, agenda, jadwal) waktu untuk wirid ataupun zikir dalam setiap harinya. Dengan jadwal tersebut diharapkan waktu yang kita gunakan tidak sia-sia dan puncak harapannya adalah untuk bersua dengan Allah swt di hari akhir. Kita juga harus menyengaja (niat) kebaikan kepada seluruh umat Islam, memiliki kemauan yang kuat (azam) untuk taat kepada Allah swt. Selain itu, mengingat ajal (mati) juga bagian yang penting dalam hidup agar tidak merugi dan menyesal kelak ketika sampai pada waktu yang tidak akan diakhirkan juga tidak mungkin diawalkan; yaitu kematian.

Masih dalam kitab Bidayah, ada sepuluh zikir yang seharusnya menjadi dawam (kebiasaan) dalam keseharian kita sebagai umat Islam:

1. Lailaha illaha illallah wahdahu la syarika lah lahulmulku walahul hamdu yuhyi wayumitu wahuwa hayyun la yamutu biyadihi khairu wahuwa ala kulli syaiin qadir

2. La ilaha illallahul malikul haqqul mubin

3. La ilaha illallhul wahidul qahharu robbussamawati walardhi wama bainahumal azizul ghaffar

4. Shubhanallah walhamdulillah wala ilaha illallah allahu akbar walahaula wala quwwata illa billahil aliyyil adhim

5. Shubbuhun quddusun robbul malaikati warruh

6. Shubhanallahi wabihamdihi shubhanallahil azhim

7. Astaghfirullahal adhim alladzi la ialaha illa huwal hayyul qayyumu wa as'aluhuttaubata wal maghfirata

8. Allahumma la mani'a lima a'thaita wala mu'thiya lima mana'ta wala radda lima qadhaita wala yanfa'u zaljaddi minkal jadd

9. Allahumma shalli ala Muhammad wa ala ali Muhammad washahbihi wasallim

10. Bismillahillazi la yadhurru maas mihi syaiun fil ardhi wala fis sama' wahuwas sami'ul alim

Bacaan-bacaan di atas, sebagaimana dijelaskan di dalam kitab ini masing-masing diulang sebanyak 100 kali, atau 70 kali, atau kalau tidak (minimalis) 10 kali. Yang terkahir ini akan menghimpun keseluruhan dengan jumlah 100 kali. Semoga kita semua mampu membiasakan zikir ini dalam kehidupan ini. Aamiin ya Robb!

Aspek lain yang dapat penulis tangkap di dalam kajian kitab kali ini adalah, bahwa Kiai Ilyas tidak memakai lafal "sayyidina" ketika membaca shalawat, khususnya di saat shalat. "Ini merupakan prinsip terhadap sebuah keyakinan, meskipun saya bukan Muhammadiyah," demikian Kiai Fikri menjelaskan karena Beliau sendiri juga tidak memakai lafal "sayyidina" saat shalat dan sedang membaca shalawat.

Lainnya lagi, pada suatu ketika Kiai Fikri nyabis (berkunjung) ke dhalem Ke Emmat (Muhammad Khidir), emba dari Kiai Qambri dan masih ada hubungan famili dengan Kiai Mahfudz Husaini Sabajarin. Kiai Fikri sampai di dhalem Kiai Emmat jam 08.00 WIB tetapi ditemui oleh Beliau pada jam 10.00 WIB. Sebuah penantian yang cukup penat dan tentu saja melelahkan, menunggu hingga dua jam lamanya. "Tetapi kita husnuzhan saja bahwa Ke Emmat tidak akan menemui tamu sebelum jam 10.00 WIB, hal ini terkait dengan kebiasaan Beliau untuk melakukan riyadhah (tafakur, doa, zikir, dll) hingga waktu yang telah ditentukan," demikian Kiai Fikri menjelaskan.

Yang terkahir, masih terkait dengan aspek lain adalah sebuah catatan sejarah religi yang datangnya dari Kiai Sarbini. Pada suatu ketika (Kiai Fikri berkisah), Kiai Sarbini diundang oleh seseorang untuk haul sesepuh dengan persiapan yang cukup matang. Salah satu yang dipersiapkan oleh tuan rumah adalah menyembelih sapi. Kiai Sarbini diundang untuk membaca tahlil dengan segala kepokokannya. Setelah Kiai Sarbini sampai di rumah shahibul hajah, Kiai Sarbini hanya berkata, "Ye, kalabân bismillah, mogâ-mogâ pangaseppo ba'na katarema'a bân esapora sareng Allah swt." Hanya itu yang disampaikan Ke Emmat, tidak sebagaimana diharapkan oleh tuan rumah dengan membaca tahlil dengan segala wiridannya.

Tentu saja tuan rumah merasa kecewa dengan apa yang dituturkan oleh Kiai Sarbini. Hingga kemudian kekecewaan tuan rumah itu didengar oleh Kiai Sarbini. Maka Beliau memerintahkan untuk menimbang bacaan "Bismillah" oleh Kiai Sarbini dengan sapi yang telah disembelih untuk haul sesepuh tersebut.

Maka disepakati oleh tuan rumah, kemudian dibuatlah alat timbangan dari pohon kelapa, karena yang akan ditimbang adalah seekor sapi. Setelah diletakkan sapi dipuncak timbangan sebelah, sedangkan Kiai Sarbini di sebelah lainnya dengan bacaan "bismillah", belum juga tuntas lafal "bismillahirrahmanirrohim" sapi yang berada di sebelah itu pun ngantol (terpental) karena tidak sebanding dengan bacaan "bismillah" oleh Kiai Sarbini.

Setelah itu baru tuan rumah percaya bahwa bacaan bismillah dari Kiai Sarbini memiliki timbangan jauh lebih besar dibandingkan dengan seekor sapi yang telah disembelih. "Ulama terdahulu jauh memiliki kualitas yang mumpuni dibanding dengan sekarang meski telah membaca tahlil dengan segala wiridannya," demikian Kiai Fikri menjelaskan di akhir kisah tersebut.

Itu saja mungkin yang dapat penulis catat dalam kegiatan kajian Kitab Bidayatul Hidayah kali ini. Dengan catatan bahwa apa yang penulis jabarkan mungkin ada terselip salah dan kekeliruan. Terutama sekali dalam penulisan 10 zikir di atas yang ditulis dengan huruf latin. Sebenarnya hp penulis kompatibel dengan huruf Arab, tetapi terlalu lama dan memakan waktu yang tidak sedikit. Maka diharapkan bagi teman-teman pembaca untuk merujuk langsung ke kitab yang dikaji setiap bulan ini. Saporana!

Wallahu A'lam bis Shawab!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post