rzi dalr

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Berkirim Surat (tenggelamnya kapal Van Der Wijck)

Berkirim Surat (tenggelamnya kapal Van Der Wijck)

SEJAK dapat diketahui oleh Zainuddin bahwa suratnya diterima baik oleh Hayati, bahwasanya pengharapannya bukanlah bagai batu jatuh ke lubuk, hilang tak timbul-timbul lagi, melainkan beroleh bujukan dan pengharapan, maka kembalilah dia pulang ke rumah bakonya tempatnya menumpang dengan senyum tak jadi, senyum panas bercampur hujan. Dia melengong ke kiri dan ke kanan, menghadap ke langit yang hijau, ke bumi yang nyaman dan ke sawah yang luas, ke puncak Merapi yang permai laksana bersepuhkan mas, ke air yang mengalir dengan hebatnya di Batang Gadis. Seakan-akan dihadapinya semua alam yang permai itu, membangga menerangkan suka cita hatinya. Dia merasa bahwa keberuntungan yang demikian belum dirasainya selama hayatnya. Ini adalah sebagai ganjaran Tuhan atas kesabaran hatinya menanggung sengsara telah bertahun-tahun Bilamana dia bertemu dengan seorang temannya, mau dia rasanya menerangkan rahasianya, supaya orang itu turut tersenyum dengan. dia, jangan dia seorang saja merasai kelezatan cinta. Ber temu beberapa orang anak kecil yang sedang bermain di halaman, atau sedang bermain layang-layang di sawah yang baru disabit, mau dia rasanya mendermakan segala harta benda yang ada padanya kepada anak-anak itu, untuk memuaskan rasa gembira yang baru dikecapnya selama dia hidup.Sampai di surau tempat dia tidur, ditulisnyalah sepucuk surat kepada Hayati. Karena lebih merdeka dan lebih luas dia dapat menyusun kata menumpahkan perasaan hatinya, bila mana.

Hayati!

Meski pun mula-mula saya bertemu sesudah surat itu kukirim, tanganku gemetar, maka sambutanmu yang halus atas kecemasanku telah menghidupkan semangatku kembak Hayati, sampai sekarang, dan agaknya lama sekali baru keiadian itu akan dapat kulupakan. Karena menurut perasaan hatiku, adalah yang demikian pintu keberuntungan yang pertama bagiku. Sampai sekarang Hayati, masih kerap kali saya merasai dadaku seruliri, menjagaapakah hatiku masih tersimpan di dalamnya, entah sudah terbang ke langit biro agaknya, lantaran terlalu merasa beruntung.

Pada perkataan-perkataan yang telah kau ucapkan, ternyata bahwa kasih sayangku, bah wa cintaku telah kau terima Bahwa pengharapanku yang telah putus, kau hubungkan kembali. Tetapi Havati, ada yang perlu kuterang kan padamu, supaya jangan engkau menyesal kemudian. Orang sukai seorang pemuda, karena sesuatu yang diharapkannya dari Pada pemuda itu, misalnya dia cantik dan gagah. Aku sendiri, sebagai yang kau lihat, begitulah keadaanku, rupaku yang jelek tak pantas menjadi jodohmu, dan aku miskin. Misalnya Allah menyampatkan cita-cita hatfku, dan engkau boleh menjadi suntingku, menjadi isteri yang mengobat luka hatfku yang telah bertahun-tahun, agaknya akan malu engkau berjalan bersanding dengan daku, karena anrat buruk memperdekatkan loyang dengan mas,

mempertalikan benang dengan sutera Bagiku, Hayati, engkau sangat cantik. Kecantikanmu itu kadang-kadang yang menyebabkan daku putus asa, mengingat buruk diriku dan buruk

Tetapi pula, kalau kau hendak mendasarkan cinta itu Pada dasar keikhlasan, pada keteguhan memegang janji, pada memandang kebaikan hati dan bukan kebaikan rupa Kalau engkau bukan mengharapkan kayaku, tetapi mengharapkan pengorbanan jiwaku untukmu, kalau engkau sudi kepadaku dan tidak merasa menyesal jika kelak bertemu dengan bahaya yang ngeri dan kecimus bibir, kalau semuanya itu tidak engkau perdulikan, Hayati, sebagai kukatakan dahulu, engkau akan beroleh seorang sahabat yang teguh setia

Kalau semuanya itu telah engkau ingat benar, dan engkau sudi berenang ke dalam lautan cinta, ketahuilah bahwa saya beruntung berkenalan dengan engkau, dan raga-toga engkau pun beruntung berkenalam dengan saya

Zainuddin. [49] Surat yang Ketiga

Sahabatku Hayati!

Sebagai kukatakan dahulu, lebih bebas saya menutis surat dari pada berkata-kata dengan engkau. Saya lebih pandai meratap dalam surat, menyesal dalam surat, mengupat dalam surat. Karena bilamana saya bertemu dengan engkau, maka matamu yangsebagai bintang Timur itu senantiasa menghilangkan susun kataku.

Sebelum bertemu, banyak yang teringat, setelah bertemu semuanya hilang, karena kegembiraan pertemuan itu telah menutupi akan segala ingatan.

Inilah suratku yang ketiga. Dan alangkah beruntungnya peraaan hatiku jika beroleh balasan, padahal sepucuk pun belum pernah engkau balas. Tahu saya apa jadi sebabnya Bukan lantaran engkau tak dapat mengarang surat. Sebagai engkau katakan, tetapi hanyalah lantaran engkau masih merasa sebagaimana kebanyakan perasaan umum pada hari ini, bahwasanya berkirim- kiriman surat percintaan itu adalah aib dan cela yang paling besar, cinta palsu dan bukan terbit dari hati yang mulia. Tapi, Hayati perasaansaye lain dari itu. Yaitu kalau perasaan hati itu hanya disimpan-simpan saja, tidak diutarakan dengan kejujuran, itulah yang bemama cinta palsu, cinta yang tidak percaya kepada diri sendiri.

Rasanya lebih aib dan lebih cela anak perempuan yang sengaja menekur-nekurkan kepalanya jika melihat seorang laki-taki, tetapi setelah selendangnya dibukanya, dia mengintip orang lalu lintas dari celah dinding. Dengan surat-surat kata belajar berbudi halus. Dalam susunan surat- surat dapat diketahui perkataan-perkataan yang pepat di luar, pancung di dalam. Dengan surat- surat dapat diketahui dalam dangkalnya budi pekerti manusia.

Bacalah, dan bacalah suratku ketiga-tiganya. Adakah di sana terdapat saya berminyak air, mencoba menarik-narik hati? Bagi saya meskipun perjalanan cinta yang akan kita tempuh itu takkan hasil, surat itu sudah cukuplah untuk menguji budi saya

Kirimlah surat kepadaku tanda jujurmu. Tanda benar-benar engkau hendak membela diriku. Kirimlah, dan janganlah engkau takut bahwa sum ini akan saya jadikan perkakas untuk

membukakan rahasiamu jika temyeta engkau mungkir atau tak sanggup memenuhi janji Hayati! Lapangan alam [50] ini amat luas, dan Tuhan telah memberi kita kesanggupan mengembara di

dalam lapangan yang luas itu. Maka jika kita beruntung, dan Allah memberi izin kita hidup sebagai suami dan isteri, adalah surat-surat itu untuk mematrikan cinta kita, jadi pengobat batin di dalam mendidik anak-anak. Tetapi kalau kiranya pertemuan nasib dan hidup kata tidak

beroleh keizinan Tuhan sejak darn azali-Nya, adalah pula surat-surat itu akan jadi peringatan dari dua orang bersahabat atas ketulusan mereka menghadapi cinta, tidak terlangkah kepada kejahatan dan adak melanggar peri kesopanan.

Jangan engkau berwas-was kepadaku Hayati, mengirimkan suratmu. Surat-suratmu akan kusimpan baik-baik, akan kujadikan azimat tangkal penyakit, tangkal putus pengharapan. Dan hilangkanlah sangka burukmu itu, takut suratmu jika kujadikan perkakas membusuk-busukkan namamu. Ah, mentang-mentang saya seorang anak orang terbuang, orang menumparg dinegeri ini, tidaklah sampai serendah itu benar budiku.

Suratmu, Hayati; sekali lagi suratmu.

Zainuddin. Tiba-tiba sedang Zainuddin asyik menunggu-nunggu balasan dari suratnya, datang adik Hayati, Ahmad yang masih kecil itu, membawa surat. Berdebar sangat jantung Zainuddin demi bila membuka sampul surat itu:

Tuan Zainuddin

Ketiga surat tuan telah saya baca dengan mafhum, sekali-kali bukanlah saya tak merghargai surnt-surat itu, bukan pula cemburu tuan akan merendahkan nama saya. Keterangan yang lebih panjang tak dapat saya berikan dengan surat. Sebab itu, kalau tuan tak keberatan, saya hendak bertemu sendiri dengan tuan, nanti sore di dangau di sawah tempat kita bertemu mula-mula tempo hari, Saya akan datang dengan adikku.

Hayati. Ah, mengapa sedingin ini saja isi surat Hayati, kata Zainuddin dalam hatinya. Dingin benar, apakah saya telah terlalu terdorong? [51]

Orang tentu maklum bahwasanya orang yang sedang dimabuk cinta itu, penuh hatinya dengan cemburu. Kadang-kadang cinta bersipat tamak dan loba, kadang-kadang was-was dan kadang- kadang putus asa.

Ditunggunya hari sampai sore, di waktu orang-orang di sawah telah berangsur pulang dan anak gembala telah menghalau temaknya ke kandang. Maka Zainuddinlah yang telah berdiri lebih dahulu menunggu Hayati di dangau tersebut. Tidak berapa saat kemudian, Hayati datang pula diiringkan oleh adiknya.

"Sudah lama agaknya tuan menunggu saya di sini?" kata Hayati.

"Biar sampai matahari terbenam dan cahaya diberikan oleh bintang-bintang, saya akan menunggu kedatanganmu. Karena orang yang sebagai kau, tidaklah akan sudi memungkiri janjinya."

Maka duduklah mereka berhampir-hampiran. Hayati termenung dan kepalanya tertekur ke bumi, sepatah perkataan pun belum dimulainya.

"Mengapa saya dengan suratku, Hayati? Besarkah kesalahan saya, makanya kau tak sudi membalasnya, sehingga perlu pula memberi keterangan kemari dahulu? Hayati, ini hati yang tersimpan dalam dadaku, ini nyawa yang memberikan keizinan tubuhku tinggal hidup, ini semuanya telah lama mati pada hakikatnya. Bujukan kau saja, hanya semata-mata itulah lagi pengharapanku menempuh hayat. Mengapa engkau masih mundur maju?"

Hayati menangis, dua tetes air mata mengalir di pipinya.

"Kau menangis Hayati? Apakah tidak terlalu berlebih-lebihan jika kau akan menanggung rugi lantaran diriku? Bukankah air matamu dan nafasmu yang turun naik, lebih berharga dari pada diriku ini? Jangan kau menangis, kau boleh menentukan ponis, mengambil keputusan terhadap diriku. Nyatakan bahwa cintaku kau balas, kalau memang kau ada mempunyai itu. Itulah kelak akan jadi modal hidup kita berdua. Asal saja tahu kau cinta, saya tak harapkan apa-apa sesudah itu, kata tak akan [52] melanggar perintah Ilahi. Tetapi kalau kau memang tak merasa terhadap diriku sebagai yang kurasa, kau tak cinta kepadaku, nyatakanlah itu dengan terus terang, sebagai pernyataan seorang sahabat kepada sahabatnya. Kalau keputusan itu yang kau berikan walau pun mukaku akan hitam menghadapimu di sini, lantaran malu, saya akan tahankan, saya sudah biasa talian tergiling dari kecilku."

"Bukan begitu, tuan Zainuddin. Bukan saya benci kepada tuan; karena saya kenal budi baik tuan. Saya merasa kasihan di atas segala penanggungan yang menimpa pundak tuan. Tapi tuan, sebuah yang saya takutkan, yaitu saya takut akan bercinta-cintaan."

"Kau takut?"

"Ya, sebab pepatah telah pemali menyebut, bahwasanya seorang memburu cinta, adalah laksana memburu kijang di rimba belantara. Bertambah diburu bertambah jauh dia lari. Akhirnya tersesat dalam rimba, tak bisa pulang lagi. Saya takut akan terikat oleh percintaan, karena saya seorang gadis kampung yang telah lama kematian ibu. Harta benda yang banyak itu bukanlah kepunyaanku tetapi di bawah kuasa suku. Saya miskin dan papa. Saya tak ada ibu yang mengasuh, tak mempunyai saudara yang akan membela."

"Tapi percayakah engkau bahwa hatimu suci?"

"Cuma itulah pedomanku, tuan; saya percaya hatiku suci dan tiada bermaksud jahat kepada sesama manusia."

"Kalau ada kepercayaanmu demikian, maka Tuhan tidaklah akan menyia-nyiakan engkau. Sembahlah Dia dengan khusyu', ingat Dia di waktu kita senang, supaya Dia ingat pitta kepada kita di waktu kita sengsara. Dialah yang akan membimbing tanganmu. Dialah yang akan menunjukkan haluan hidup kepadamu. Dialah yang akan menerangi jalan yang gelap. Jangan takut menghadapi cinta. Ketahuilah bahwa Allah yang menjadikan matahari dan memberinya cahaya. Allah yang menjadikan bunga dan memberinya wangi. Allah yang menjadikan tubuh dan memberinya nyawa. Allah [53] yang menjadikan mata dan memberinya penglihatan. Maka Allah pulalah yang menjadikan hati dan memberinya cinta. Jika hatikau diberi-Nya nikmat pula dengan cinta sebagaimana hatiku, marilah kita pelihara nikmat itu sebaik-baiknya, kita jaga dan kata pupuk, kita pelihara supaya jangan dicabut Tuhan kembali. Cinta adalah iradat Tuhan, dikirimnya ke dunia supaya tumbuh. Kalau dia terletak di atas tanah yang lekang dan tandus, tumbuhnya akan menyiksa orang lain. Kalau dia datang kepada hati yang keruh dan kepada

budi yang rendah, dia akan membawa kerusakan. Tetapi jika dia hinggap kepada hati yang suci, dia akan mewariskan kemuliaan, keikhlasan dan tha'at kepada Ilahi."

Sedang Zainuddin berkata-kata demikian, Hayati masih tetap menekurkan kepalanya, air matanya ... lebih banyak jatuh dari yang tadi.

"Mengapa kau masih menangis, Hayati?"

"Segala perkataan tuan itu benar, tidak ada yang salah. Tapi peredaran masa dan zaman senantiasa berlain dengan kehendak manusia, di dalam kita tertarik dengan tertawanya, tiba- tiba kita diberinya tangis. Saya ingat kekerasan adat di sini, saya ingat kecenderungan mata orang banyak, akan banyak halangannya jika kita bercinta-cintaan. Saya takut bahaya dan kesukaran yang akan kita temui, jika jalan ini kita tempuh."

"Jadi ...?"

"Lebih baik kita tinggal bersahabat saja."

"Kita bersahabat dan kita bercinta, Hayati. Karena kalau kau tak cinta kepadaku, artinya kau bukan bersahabat."

"Habisi sajalah hingga ini, tuan."

"Oh, jadi, kau telah mengambil keputusan yang tetap?" "...Ya!"

Lama Zainuddin termenung mendengar kalimat itu, beberapa saat lamanya dia tak dapat berkata-kata. Setelah itu dengan suara lemah dia berkata:

"Baiklah, Hayati! Besar salahku memaksa hati yang tak mau. Baiklah, marilah kita tinggal bersahabat, saya takkan mengganggirm [54] lagi. Pulanglah ke rumah, tidak ada keizinan Tuhan atas pertemuan dua orang muda yang sebagai kita ini kalau memang tak ada perkenalan bathin..."

Maka turunlah Zainuddin dari tempat duduknya, lalu pergi. Berkunang-kunang dilihatnya alam lebar ini. Dia melangkah perlahan sekali, karena badannya rasa bayang-bayang. Dan baru diseberangi bandar kecil dekat sawah itu, langkahnya tak kuat lagi, dia terjatuh ...

Hayati takut akan keria cinta. Takut menghadapi cinta, itulah cinta yang sejati. Dia memberi ponis "tidak cinta" kepada Zainuddin, artinya dia memberikan ponis kematian kepada dirinya sendiri. Setelah agak jauh Zainuddin berjalan, dia pun tak tahan pula lagi, dia meniarap ke lantai di dangau itu menahan hatinya, dan hati tidak juga tertahan.

"Ahmad," katanya kepada adiknya dengan tiba-tiba yang berdiri di samping dangau itu, dan matanya pun turut balut menangis.

"Ini saya, kak!"

"Panggil tuan Zainuddin kembali!"

Maka berlari-larilah Ahmad mengejar Zainuddin, didapatinya Zainuddin tengah duduk tersimpuh di tepi bandar air yang akan dialirkan orang ke sawah. Dibimbingnya pulang ke dangau itu kembali.

"Apa, Hayati?"

"Saya cinta akan dikau, biarlah hati kita sama-sama dirahmati Tuhan. Dan saya bersedia menempuh segala bahaya yang akan menimpa dan sengsara yang mengancam."

"Hayati ... kau kembalikan jiwaku! Kau izinkan aku hidup. Ulurkanlah tanganmu, marilah kita berjanji bahwa hidupku bergantung kepada hidupmu, dan hidupmu bergantung kepada hidupku. Yangmenceraikan hati kita, meskipun badan tak bertemu, ialah bila nyawa bercerai dengan badan."

Matahari pun mulailah bersembunyi ke balik gunung Singgalang. Dan dari sebuah surau di kampung yang jauh kedengaran bunyi tabuh, diiringkan oleh suara aman:... Hayya alal falaaah!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post