rzi dalr

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Cahaya Hidup (tenggelamnya kapal Van Der Wijck)

Cahaya Hidup (tenggelamnya kapal Van Der Wijck)

Pagi-pagi, sebelum perempuan-perempuan membawa niru dan tampian ke sawah, dan sebelum anak muda-muda menyandang bajaknya; sebelum anak-anak sekolah berang kat ke sekolah, seorang anak kecil laki-laki datang ke muka surau tempat Zainuddin tidur, membawa payung yang dipin jamkannya kemarin. Dia hampiri anak itu, dan anak itu pun berkata, "Kak Ati berkirim salam dan menyuruh mengembali kan payung ini," sambil memberikannya ke tangan Zainuddin.Payung itu disambutnya dan dengan sikap yang gugup anak itu memberikan pula sepucuk surat kecil, "Surat ini pula...," katanya.Agak tercengang Zainuddin menerima surat itu, diba wanya kembali ke surau. Kebetulan teman-temannya telah pergi ke tempat pekerjaan masing-masing, dibukanya...

Tuan Zainuddin! Bersamaan dengan anak ini saya kirimkan kembali pa yung yang telah saya pinjam kemarin. Alangkah besar terima kasih saya atas pertolongan itu, tak dapat di sini saya nya takan. Pertama, di waktu hari hujan saya tak bersedia payung, Tuan telah sudi berbasah-basah untuk memeliharakan diri seorang anak perempuan yang belum Tuan kenal. Kedua, kesyukuran saya lebih lagi dapat berkenalan dan bersahutan mulut dengan Tuan, orang yang selama ini terkenal baik budi. Sehingga bukan saja rupanya hujan mendatangkan basah, te tapi mendatangkan rahmat. Moga-moga pada suatu waktu kelak, dapatlah saya mem balas budi Tuan. Hayati Disimpannya surat itu ke dalam sakunya. Tidak dapat dia mengartikan dan menafsirkan surat itu, yang penuh berisi ketulusan dan keikhlasan. Susun katanya amat manis, tetapi bersahaja. Setelah beberapa saat kemudian pulang lah Zainuddin dari surau ke rumah bakonya. Sehabis makan dan minum, matahari telah sepenggalah naik, kira-kira pu kul 9, orang telah lengang di kampung dan ramai di sawah, rasa-rasa kehilangan semangat Zainuddin duduk di rumah. Kebetulan pada waktu itu hari sudah hampir bulan puasa, rumah-rumah pelajaran agama di kampung-kampung telah ditutup.Hatinya amat tertarik melihatkan kehijauan langit seha ri itu, apalagi kemarinnya hari hujan, puncak Gunung Merapi jelas kelihatan, Sungai Batang Gadis laksana bernyanyi de ngan airnya yang terus mengalir. Dari jauh kedengaran nya nyi anak gembala di sawah-sawah yang luas. Maka setelah meminta diri kepada mandeh-nya, turunlah dia ke halaman,menuju sawah yang banyak itu hendak melihat orang me nyabit dan mengirik, atau pun membakar jerami. Dilaluinya dari satu pematang sawah ke pematang yang lain, di mana dangau yang tak berorang, dia berhenti duduk, bermenung menentang Bukit Tui, menentang Danau Sumpur yang in dah, atau Gunung Singgalang yang dipenuhi oleh tebu, ber ombak kelihatan dari jauh dipuput angin.Tiba-tiba sampailah dia ke pinggir sawah, seorang laki laki tua sedang menyabit padi. Rupanya orang tua itu kenal akan dia."Ai, Zainuddin, sampai pula engkau kemari, pandaikah engkau menyabit?" tegur orang tua itu. "Pandai juga, Engku," jawabnya. "Banyak jugakah padi di Mengkasar?" "Di kota Mengkasar tidak ada padi, tetapi sedikit sajakeluar dari Mengkasar telah penuh oleh padi, bahkanmakanan orang Mengkasar dari padi keluaran Maros,Pangkajene, Sidenreng, dan yang lain-lain."Orang tua itu pun meneruskan pekerjaannya juga. Zainuddin bertanya kembali, "Mengapa Engku seorang saja yang menyabit padi di sini? Kuatkah Engku?""Tadi banyak anak muda-muda yang menolong, tetapi lantaran pekerjaan sudah hampir selesai, mereka telah minta izin pulang. Pekerjaan ini sudah dua hari dikerjakan, sekarang baru akan siap...""Demikianlah Zainuddin," ujarnya pula. "Kalau kita su dah tua macam saya ini, kalau kurang kuat bekerja meno long anak cucu, dengan apa nasi mereka akan dibeli. Tulang sudah lemah, yang akan mereka harapkan dari kita tidak ada lagi. Semasa muda kita harus berusaha sepenuh tenaga, sepatutnya di hari tua kita istirahat. Akan beristirahat saja, tangan tak mau diam, dia hendak kerja juga.""Indah benar hari sehari ini, Zainuddin," ujarnya pula. "Cobalah lihat langit jernihnya, lihatlah puncak Merapi se akan-akan telah berhenti mengepulkan asapnya. Keadaan yang begini mengingatkan saya kepada zaman badan kuat, tulang kuat dan seluruhnya kuat, uang pun ada pula. Tempo itu saya keluar dari rumah dengan perasaan yang gembira, tidak memedulikan kesengsaraan dan kesusahan. Saya ge lakkan orang tua-tua yang termenung-menung. Sekarang setelah badan tua, baru kita insaf dan ingat. Ah, Zainuddin, kalau engkau rasai tua esok."Setelah itu diteruskannya juga menyabit padinya. Zainuddin mencoba hendak menolong, tetapi dilarangnya, "Duduk sajalah di tepi pematang itu, penghilangkan kesu nyianku, sebentar lagi datang kemenakanku mengantarkan makanan agak sedikit kemari, kita makan apa yang ada." "Di Mengkasar apa pencarian orang, apa yang laku di sana?" tanya orang tua itu pula. "Macam-macam, sebagai di sini juga. Cuma di sana dekat lautan, kami di sana lebih banyak mengirim barang hutan ke luar negeri." "Makanan?" "Maklumlah negeri di pinggir laut, tentu saja ikan laut." "Oh, di sini kalau ikan, lebih disukai orang yang datang dari Laut Sumpur."Tiba-tiba, sedang mereka bercengkerama demikian rupa, datanglah dengan melalui pematang sawah, seorang perempuan diiringkan oleh seorang anak kecil laki-laki. Dan... alangkah terkejut Zainuddin demi dilihatnya yang da tang itu Hayati, diiringi oleh adiknya, anak yang memulang kan payungnya dan memberikan surat tadi pagi. Dia datang ke sawah menjunjung sebuah bungkusan dan menjinjing tebung kopi daun. Dilihatnya Zainuddin ada di situ, dia pun tercengang, mukanya agak berubah merah. Zainuddin pun demikian pula. "Ai, ini dia datang, si Ati. Bukan sudah saya katakan ke padamu tadi?" kata orang tua itu. "Ya Engku," sahut Zainuddin dengan sedikit gugup. "Nama kemenakanku ini Hayati, dia sekarang sudah ta mat kelas 5 di sekolah agama, ini adiknya, si Ahmad, baru tiga tahun bersekolah." "Ya Engku, kemarin saya bertemu dengan dia di Ekor Lubuk, ketika dia kembali dari Padang Panjang, kehujanan..." "Dipinjaminya saya payung, sampai dia sendiri berbasah kuyup pulang," sela Hayati, lalu diceritakannya pertolongan itu sejak dari awal ke akhirnya. "Ah, berbudi sekali engkau Zainuddin." "Engku pun serupa pula dengan Hayati, barang yang kecil itu dibesar-besarkan. Padahal itu hanya suatu kewajiban." Hayati merasa tersindir, ia ingat suratnya. Dan Datuk... menjawab, sambil menaikkan pisang bertumbuk ke dalam mulutnya."Tidak Zainuddin, meskipun hal itu engkau pandang perkara kecil, bagi yang menerima budi, hal itu dipandang besar artinya. Apalagi engkau anak pisang kami." Demikianlah seketika lohor hampir habis, orang tua itu pun pulanglah ke rumahnya, diiringi oleh kedua cucunya. Zainuddin sendiri seketika akan bercerai-cerai, dilihatnya Hayati tenang-tenang, satu suara pun tak dapat keluar dari mulutnya.Mulut yang demikian ganjil lakunya, dia tak kuasa ber kata sepatah jua apabila berhadapan, tetapi kaya dengan perasaan apabila duduk seorang diri.Setelah itu, dia pulang, dari jauh masih dilihatnya ketiga orang itu mengayun langkah di antara pematang dan bebe rapa sawah yang belum disabit padinya.Dilihatnya sekali lagi yang sekelilingnya, tiba-tiba sedikit demi sedikit, wajah alam itu pun bertukarlah pada pengli hatannya dari yang biasa. Air yang mengalir seakan-akan bernyanyi, bunyi puput anak gembala seakan-akan penghi bur, deru angin di telinga seakan-akan mengembuskan ha rapan baru. Orang-orang yang ditemuinya di tengah jalan, bila menyapanya, dijawabnya sapa orang itu, tetapi sete lah kira-kira sepuluh langkah orang itu pergi, baru dia ingat kembali.Dia pulang ke rumah bakonya. Setelah sore dia kembali ke suraunya. Mengapa sudah dua hari dia merasai dirinya seakan akan orang demam? Apakah penyakitnya? Bertanya di dalam hati, dimasukkannya tangannya ke dalam sakunya, tiba-tiba terasa olehnya sepucuk surat. Dadanya berdebar dia teringat isi surat itu, teringat nama yang mengirimnya... Hayati, kehidupanku! Sekarang, terbukalah rahasia dari penyakit itu. Dia bu kan kebingungan, bukan kegilaan, bukan keputusan harap an, bukan apa-apa, bukan...! Penyakit ini telah terang nama nya. Penyakit, tetapi nikmat; nikmat, tetapi penyakit. Orang ditimpanya, tetapi orang itu tidak hendak sembuh darinya ... penyakit cinta!Pertemuan di sawah itu amat besar artinya buat men ciptakan penghidupan kedua hamba Tuhan itu. Kedua per temuan itulah asal cerita yang menyedihkan ini. Sejak Zainuddin berkenalan dengan Hayati, dia tidak me rasa sunyi lagi di Tanah Minangkabau yang memandangnya orang asing itu. Minangkabau telah lain dalam pemandang annya sekarang, telah ramai, telah mengalirkan pengharap an yang baru dalam hidupnya. Di sinilah kedua makhluk itu mempersambungkan tali jiwa, sebelum mempersambung kan mulut. Keluhan dan tarikan napas yang panjang, kegu gupan menentang muka orang yang dihadapi, telah cukup menjadi lukisan dari kata-kata hati. Bilamana Zainuddin duduk dalam kesunyiannya seorang diri, bagaikan dirobeknya hari supaya lekas sore, moga moga dapat melihat Hayati pula. Tetapi setelah bertemu lidahnya kaku, tak dapat apa yang akan disebutnya. Hayati sendiri pun semenjak waktu itu kerap kali bagai orang yang keraguan. Dia berasa sebagai kehilangan, padahal bilamana dilihatnya tas tempat bukunya, tak ada alat perkakasnya yang kurang.Ada seorang sahabatnya sama bersekolah, bernama Khadijah, tinggal di Padang Panjang. Pada suatu hari diki rimnya sepucuk surat kepada Khadijah yang pada ketika membaca surat itu, dapat diketahui bagaimana perasaan hatinya. Bunyinya: Sahabatku Khadijah! Di waktu surat ini saya perbuat, langit jernih dan udara nyaman. Saya duduk dalam kesepian, perempuan-perempuan dalam rumahku tengah ke sawah. Aku teringat akan dikau sa habatku, ingin benar hatiku hendak datang ke Padang Pan jang menemuimu, tetapi kesempatanku tak ada. Ganjil benar keadaan di kampung kami sekarang. Karena pada beberapa bulan yang lalu, datang kemari seorang anak muda dari Mengkasar, tentu engkau ingat, Zainuddin nama nya. Dia tinggal tidak berapa jauh dari rumahku, dengan ba konya. Tetapi bako jauh. Tabiatnya yang halus menimbulkan kasihan kita, tetapi di dalam kampung dia tidak mendapat penghargaan yang semestinya. Sebab dia seorang anak pi sang, ayahnya seorang buangan yang telah mati di rantau.Meskipun dia dibawa orang bergaul, dia tak diberi hak duduk di kepala rumah jika terjadi peralatan beradat-adat sebab dia tidak berhak duduk di situ. Bukanlah orang mencela perangai nya, hanya yang dipandang orang kurang ialah bangsanya. Alangkah kejamnya adat negeri kita ini, sahabatku. Saya kasihan melihat nasib anak muda itu, hanya semata -mata kasihan, sahabat, lain tidak; jangan engkau salah teri ma kepadaku. Karena memang sudah terbiasa kita anak-anak gadis ini merasa kasihan kepada orang yang bernasib malang, tetapi kita tak dapat memberikan pertolongan apa-apa kare na kita hanya bangsa perempuan yang tidak mempunyai hak apa-apa di dalam adat pergaulan. Terlalu banyak saya membicarakan orang lain dalam surat kepadamu, padahal apalah perhubungan kehidupan Zainuddin orang Mengkasar itu dengan kehidupan kita ... Renda yang engkau serahkan ketika akan pakansi seko lah telah hampir selesai kukerjakan. Sedianya kalau bukan lantaran pikiranku kusut saja dalam sebulan ini, renda itu telah lama selesainya. Tetapi apalah hendak dikata, kerap kali, rancangan yang telah kita kerjakan, terhenti di tengah tengah karena sepanjang hari hanya habis dalam keluhan, ke luh mengingat teman dan sahabat, mengingat hari kemudian yang masih gelap. Bila engkau sempat, sahabat, datanglah ke Batipuh, bermalam di sini agak semalam. Tentu saja mamak dan bun damu akan memberimu izin sebab hanya ke rumahku. Hayati Dalam surat itu tampak isi perasaan Hayati, perasaan yang belum pernah diterangkannya kepada orang lain. Sebenarnya, dia amat kasihan melihat nasib Zainuddin orang jauh itu. Di sini tak mempunyai kerabat yang karib dan ayahnya pun telah meninggal pula. Akan pulang ke Meng kasar, hanya pusaka ayah bunda yang akan ditepati. Sikap Zainuddin yang lemah lembut, matanya penuh dengan ca haya yang muram, cahaya dari tanggungan batin yang begi tu hebat sejak kecil, telah menimbulkan kasihan yang amat dalam di hati Hayati. Dan cinta adalah melalui beberapa pin tu. Ada dari pintu sayang, ada dari pintu kasih, ada dari pin tu rindu, tetapi yang paling aman dan kekal ialah cinta yang melalui pintu kasihan itu. Sudah lama dia menunggu-nunggu suatu kalimat saja pun cukuplah, keluar dari mulut Zainuddin, baik tepat mau pun sindiran, yang dapat dipegangnya, cukuplah satu kali mat itu baginya. Tetapi cinta pertama adalah langkah ber mula dari penghidupan. Orang hanya pintar jika duduk seorang dan bingung jika telah berhadapan. Yang menda lamkan luka hati adalah perasaan yang selalu terkurung, tak ada sahabat karib yang dapat dipercayai untuk menum pahkan perasaan itu. Tiba-tiba, pada suatu hari, di waktu matahari hendak terbenam ke barat, di waktu perempuan-perempuan telah pulang dari pancuran mengisi parian betungnya, Hayati ber temu dengan Zainuddin di liku jalan. "Ai... Tuan Zainuddin di sini." "Ya, di sini, menunggumu!" "Menunggu saya?" tanya Hayati, sedang dadanya mulai berdebar. "Apakah maksudnya, lekaslah terangkan supaya saya segera pulang." "Saya pun takut pula akan mengganggu perjalananmu. Engkau saya tunggu hanya sekadar hendak memberikan ini." Lalu dikeluarkannya sepucuk surat dari sakunya, diberi kannya ke tangan Hayati. Ketika memberikan itu jari-jarinya kelihatan gemetar.Tengah Hayati masih bingung sendiri, memegang buli buli yang ada dalam tangannya, Zainuddin berangkat dari tempat itu secepat-cepatnya. Hayati segera pulang. Sehabis sembahyang dan makan malam, segera dia naik ke atas anjung ketidurannya, mem baca di dekat sebuah lampu dinding! Sahabatku Hayati Gemetar, Encik! Gemetar tanganku ketika mula-mula me nulis surat ini. Hatiku memaksaku menulis, banyak yang tera sa, tetapi setelah kucecahkan penaku ke dawat, hilang akalku, tak tentu dari mana harus kumulai. Sudah hampir setahun saya tinggal di negeri tumpah darah nenek moyangku ini. Oh, Hayati, saya telah dibuai kan oleh mimpi dahulunya, oleh kuatnya bekas dendang dan nyanyian ayahku seketika saya masih dalam pangkuannya. Tanahmu yang indah, bahkan tanahku juga, Minangkabau, senantiasa berdiri dalam semangatku. Sehingga sejak saya tahu menyebut nama negeri Padang, tanah ini telah terbayang dalam khayalku. Angan-angan dan khayal yang demikianlah yang menyampaikan langkahku kemari. Sebab di negeri Mengka sar sendiri saya dipandang orang Padang, bukan orang asli Bugis atau Mengkasar. Sebab itu di sana saya rasa senanti asa dalam kesepian. Sekarang saya datang kemari, Hayati. Tak ubahnya de ngan seorang musafir di tengah gurun yang luas keputusan air; tiap-tiap langkah dilangkahkannya tampak juga olehnya danau yang luas di mukanya. Demi, setelah sampai kepada yang kelihatan itu, danau itu pun hilanglah, berganti dengan pasir semata-mata, hening dan panas! Hayati, berulang saya menanggung perasaan begini, se orang pun tidak ada tempat saya mengadu. Saya tidur di surau bersama-sama teman. Mereka ketawa, bersenda gurau, tetapi bilamana kuhening kupikirkan, emas tidak juga dapat dicampurkan dengan loyang, sutra tersisih dari benang. Saya telah mengerti segera bahasa Minangkabau meskipun dekat mereka saya seakan-akan tak paham. Dari isyarat dan susun kata, dapat juga kuketahui, bahwa derajatku kurang adanya. Bakoku sendiri tidak mengaku saya anak pisangnya sebab ru panya ayahku tak mempunyai saudara yang karib. Mereka bawa saya menumpang selama ini karena dipertalikan bukan oleh budi bahasa, tetapi oleh uang; sekali lagi Hayati, oleh uang! Mengapa hal ini saya adukan kepadamu, Hayati? Itu pun saya sendiri tak tahu, cuma hati saya berkata, bahwa engkaulah tempat saya mengadu ... Hayati! Terimalah pengaduanku ini, terimalah berita dan untung malangku ini. Terimalah ini, perkenankanlah seruan dari hati yang daif, seorang makhluk yang dari masa dalam kandungan ibu hati telah ditunggu oleh rantai yang bertali-tali dari kemalangan. Ayahku telah mati dan ibuku demikian pula. Bakoku tak mengakui aku keluarganya. Di Mengkasar hanya tinggal seorang ibu angkat. Dalam pergaulan, saya disisihkan orang. Saya tak hendak membunuh diri karena masih ada pergan tungan iman dengan Yang Mahakuasa dan Gaib, bahwa di balik kesukaran ada menunggu kemudahan. Di dalam kha yalku dan dalam kegelapgulitaan malam, tersimbahlah awan, cerahlah langit dan kelihatanlah satu bintang, bintang dari pengharapan untuk menunjukkan jalan. Bintang itu .... kau sendiri, Hayati! ialah Bagaimana maka hati saya berkata begitu? Itu pun saya tak tahu. Lantaran tak tahu sebabnya itu, timbul kepercayaan kepada kuasa gaib yang lebih dari kuasa manusia, kuasa gaib itulah yang menitahkan ... Saya tahu juga sedikit-sedikit adat negerimu yang ku kuh. Agaknya buruk saya berkirim surat ini dalam pandangan umum. Tapi, saya tak akan mengganggu adatmu, tak akan mengganggu dirimu sendiri, tak akan menyentuh kebesaran dan susunan rasam basi orang Minangkabau. Saya tahu dan insaf siapa saya. Saya kirimkan surat ini tidaklah minta di balas, hanyalah semata-mata mengadukan hal. Nyampangku mati, janganlah kumati dalam penyesalan. Dan saya pun ya kin, tangan yang begitu halus, mata yang penuh dengan ke jujuran itu, tidak akan sampai mengecewakan hati. yang telah penuh dengan kecewa sejak sejengkal dari tanah. Terimalah saya menjadi sahabatmu yang baik, Hayati. Supaya dapat saya mengadukan hal-halku, untuk mengurangi tanggungan hati. Sebab memang sudah biasa kegembiraan dapat ditelan sendiri-sendiri dan kemalangan menjadi kurang, bila dikata kan pada orang lain. Sudikah engkau jadi sahabatku Hayati? Saya akui saya orang dagang melarat dan anak orang terbuang yang datang dari negeri jauh, yatim dan piatu. Saya akui kerendahan. saya, itu agaknya yang akan menangguhkan hatimu bersahabat de ngan daku. Tapi Hayati, meskipun bagaimana, percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau akan bertemu dengan hati yang begini, yang bersih lantaran senantiasa dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnya ke dunia! Zainuddin Surat itu rupanya diperbuat dengan jiwa, bukan dengan tangan. Apa yang bergelora di dalam sanubari, ditumpah kan di kertas. Dan bagi yang membaca, tentu jiwanya pula yang kena.Gemetar kedua belah tangan Hayati membaca surat yang demikian. Dibacanya, tiba-tiba dengan tidak disadari nya, air mata telah mengalir di atas pipinya yang montok membasahi bantal kalanghulunya. Terbayanglah di hadap annya wajah Zainuddin yang muram, keluh yang senantiasa mengandung rahasia dalam. Yakinlah dia bahwa gerak dan bisik jantungnya bilamana melihat Zainuddin selama ini rupanya bukanlah gerak sembarang, tetapi adalah gerak il ham, gerak jiwa yang bertali dengan jiwa, gerak batin yang bertali dengan batin. Disekanya air mata yang mengganggu kemontokan pipi itu, dia kembali duduk di pinggir pembaringan, ditengadah kannya mukanya ke langit, sambil berseru seorang dirinya, yang hanya didengar oleh malaikat penjaga malam, "Ya Ilahi, berilah perlindungan kepada hamba-Mu! Perasaan apakah namanya ini, ya Tuhanku, tunjukkan ya Tuhan, dan nyatalah sudah kelemahan diriku! Apalah pertolongan yang akan dapat kuberikan. Dia meminta budi kepadaku, aku hanya Tuhan takdirkan menjadi perempuan, jenis yang le mah. Tidak ada kepandaianku, hanyalah menangis! Tuhanku, benar sebenar-benarnya hamba-Mu ini ka sihan kepada makhluk yang malang itu, dan oh Tuhanku! Hamba sayang akan dia, hamba ... cinta dia! Jika cinta itu satu dosa, ampunilah dan maafkanlah! Hamba akan turut perintah-Mu, hamba tak akan melang gar larangan, tak akan menghentikan suruhan. Akan hamba simpan, biarlah orang lain tak tahu, tetapi izinkan hamba ya Tuhan."Demikianlah, hampir seluruh malam Hayati karam di da lam permohonannya kepada Tuhan supaya Tuhan memberi perlindungan dan tujuan di dalam hidupnya sebab sangat sekali surat Zainuddin memengaruhi jiwanya.rinya dalam gelap, dia meminta cahaya. Bermacam-macam perasaan yang bergelora hebat semalam itu dalam jiwanya, ganjil, beraneka warna; bercampur di antara cinta dan ta kut, kesenangan pikiran dan kesedihan, bertempur di antara pengharapan yang besar dan cita-cita yang rasakan patah. Dalam dia menangis, tiba-tiba berganti dengan tersenyum. Dalam senyum dia kembali mengeluh panjang. Mengapa dia menangis? Entahlah, dia sendiri pun masih ragu. Apa se bab dia tersenyum? Padahal biasanya senyuman dengan air mata itu adalah dua yang bermusuh yang tak mau berda mai. Mengapa sekali ini dia damai?Jam di ruang tengah telah berbunyi dua kali, hanya de tiknya dan bunyi jangkrik di sudut rumah yang memecahkan kesunyian malam. Dalam keadaan yang demikan, Hayati ter tidur.Adapun yang berkirim surat, Zainuddin, lain pula hal nya. Meskipun anak-anak muda di surau tempatnya tidur te lah berlayar dalam lautan mimpi yang enak, bahkan kadang kadang kesepian itu dipecahkan oleh dengkur dua atau tiga orang anak-anak, dia masih bermenung melihatkan bulan terang benderang, bulan di antara tanggal 15 dengan 16, muram dan damai. Bermenung di beranda surau seorang dirinya, tidak merasai takut dan gentar. Diperhatikannya langit yang jernih itu, seakan-akan dia mengajak bulan ber cakap, mengajak bintang bercengkerama. Dia ajak alam be sar itu bertutur, percakapan jiwanya sendiri, seakan-akan mengadukan nasibnya yang malang, yang patut alam itu ikut meratapinya, atau seakan-akan memberitakan bahwa hatinya tidak sesedih dahulu lagi sebab Tuhan telah mem berinya nikmat yang paling besar, yaitu nikmat cinta. Berta hun-tahun dia laksana seorang yang kehilangan, sekarang barang yang dicari itu telah dapat kembali.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post