rzi dalr

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Menuju Negri Nenek Moyang (tenggelamnya kapal Van Der Wijck)

Menuju Negri Nenek Moyang (tenggelamnya kapal Van Der Wijck)

"Sempit rasanya alam saya, Mak Base, jika saya masih tetap juga di Mengkasar ini. Ilmu apakah yang akan saya dapat di sini, negeri begini sempit, dunia terbang, akhirat pergi. Biarlah kita sempurnakan juga cita-cita ayah bunda ku. Lepaslah saya berangkat ke Padang. Kabarnya konon, di sana hari ini telah ada sekolah-sekolah agama. Pelajaran akhirat telah diatur dengan sebagus-bagusnya. Apalagi, puncak Singgalang dan Merapi sangat keras seruannya ke padaku rasanya. Saya hendak melihat tanah asalku, tanah tempat ayahku dilahirkan dahulunya. Mak Base, banyak orang memuji-muji negeri Padang, banyak orang berkata bahwa agama Islam masuk kemari pun dari sana. Lepaslah saya berangkat ke sana."Lama Mak Base termenung mendengarkan perkataan anak angkatnya itu."Lepaslah Mak, jangan Mamak bermenung juga.""Bagaimana mamak tidakkan bermenung, bagaimana hati mamak tidakkan berat. Dari kecil engkau kubesarkan, hidup dalam pangkuanku. Rasanya hidup mamak pun tak dapat diceraikan lagi dari hidupmu. Begitu jauh negeri yang akan engkau jelang, belum tentu dan belum pernah ditu rut. Ah Anak... ibumu saudaraku, ayahmu tuanku. Mamak orang miskin, Anak, tetapi telah sangat merasa beruntung lantaran bercampur gaul dengan ayah bundamu sekian la manya. Sekarang jika engkau pergi, siapakah lagi yang akan kutimang-timang, yang akan mamak junjung tinggi? Dan tentu bila sampai ke sana, Tanah Mengkasar hilang buat selama-lamanya. Itulah Anak, itulah yang mamak rusuh kan. Kalau bukan hendak mencukupkan wasiat ibumu dan cita-cita ayahmu, mamak larang engkau berangkat ke sana, mamak suruh bersekolah atau menuntut ilmu di Mengkasar saja.""Lebih baik kita tekankan perasaan hati, Mak Base. Ka rena tidak akan terdapat selama-lamanya di dunia ini orang yang tiada bersedih hati akan berpisah-pisah, kalau mereka telah dipertalikan dengan budi bahasa. Sedangkan berang kat ke Mekah lagi ditangisi orang juga. Tetapi akan dapatkah lantaran kesedihan dan tangis itu perjalanan diundurkan?""Tentu tidak," jawab Mak Base...Maka putuslah mufakat mereka bahwa Zainuddin per lu berangkat ke Padang mencari keluarga ayahnya, melihat tanah nenek moyangnya, menambah ilmunya dunia dan akhirat. Dan kelak, dia pun akan kembali juga ke Mengkasar kalau keadaan mengizinkan.Segala yang perlu disiapkan oleh Mak Base buat mele pas anaknya: sebuah kasur, sebuah peti kayu, dan tempat tidur di kapal. Waktu sore pukul 5 kapal akan berlayar. Pukul 9 pagi ia pergi dahulu ke pusara ayah bundanya di Kampung Jera bersama Mak Base sendiri, laksana meminta izin. Se telah itu mereka kembali pulang ke rumah. Sehabis makan Johor, Mak Base mengeluarkan peti kecil simpanan uang itu dari dalam almari, seraya berkata kepada Zainuddin, "Te rimalah uang ini semuanya, inilah hakmu, usaha dari ayah mu.""Ai, mengapa Mak Base ini? Uang itu mesti Mamak per niagakan sebagai biasa. Yang akan saya bawa hanyalah se kadar ongkos kapal ke Padang. Perniagakan uang itu, ambil untungnya tiap-tiap bulan buat belanja Mamak dan belanja saya di Padang. Kirimi barang Rp20,00 atau Rp15,00 sebu lan. Rumah dan pekarangan yang kecil ini jagalah baik-baik. Pandanglah sebagai hak milik kita berdua. Mana di antara kita yang dahulu menutup mata, itulah yang memberikan waris kepada yang tinggal. Mamak tetap tinggal di Mengka sar sebab akan kembali ke Bulukumba terlalu sia-sia."Heran tercengang pula Mak Base mendengarkan putus an Zainuddin atas harta benda itu. Tidak disangkanya akan sampai demikian baik budinya. Dari bermula dia telah ber maksud hendak menyerahkan segala harta benda itu. Hari mudanya dibawanya ke Mengkasar dan dengan uban yang telah tumbuh dia hendak pulang ke Bulukumba menemui keluarga yang masih ada, dalam keadaan miskin pula. Tetapi putusan Zainuddin keras dan tak dapat dibantah.Pukul 5 sore, kapal akan berlayar menuju Surabaya, Semarang, Jakarta, Bengkulu, dan Padang. Seketika akan berlayar, Mak Base mengantar sampai ke kapal. Mereka bertangis-tangisan karena berat sangka Mak Base bahwa Zainuddin tidak akan bertemu dengan dia lagi."Berhentilah menangis, Mamak, jangan sampai tangis Mamak meragukan saya menempuh lautan yang begini luas. Ingatlah bahwa maksudku amat besar." "Saya orang tua, Udin, hatiku tak dapat kutahan. Apakah derma seorang perempuan selain dari tangis? Apalagi kerap kali hati mamak berkata, agaknya kita tidak akan ber temu lagi. Cobalah lihat punggungku yang telah bungkuk. Mamak takut, kalau-kalau keluarga di Padang tak sudi me nyambutmu dengan baik.""Ah, masa ... Itu cuma was-was Mamak saja. Bukankah saya anak Pandekar Sutan yang sah?""Ya, tapi kata orang adat Padang lain." "Mamak jangan panjang was-was. Pepatah orang Mengkasar sudah cukup: anak laki-laki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluanpu lang."Peluit kapal berbunyi, pengantar turun, air mata Mak Base masih membasahi pipinya. Dan tidak berapa lama ke mudian, rengganglah kapal dari pelabuhan Mengkasar, ha nya lenso (saputangan) saja yang tak berhenti dikibarkan orang, baik dari darat maupun dari laut. Meskipun kapal renggang, Zainuddin masih berdiri melihat pelabuhan, me lihat pengasuhnya yang telah membesarkannya bertahun tahun, tegak sebagai batu di tepi anggar, walaupun orang lain telah berangsur pulang. Lama-lama hilanglah Pulau Laya-Laya, ditengoknya ke tepi, jelas nian olehnya rumah tempat dia dilahirkan, sunyi dan sepi, di tepi laut dekat Kam pung Baru. Kemudian itu hilang Galesong, hilang Gunung Bawa Kara Eng, hilang puncak Lompo Batang, dan Malino telah dilingkungi kabut. Dia pergi ke buritan sebelah lagi, dilihatnya matahari telah turun ke barat, menyelam ke balik lautan, dan mega merah telah mulai berarak bertatah ratna mutu manikam layaknya di tepi langit di timur dan di barat.Sebentar lagi, warna merah itu dikalahkan oleh bala tentara malam. Dari jauh masih kelihatan lampu-lampu di pelabuhan Mengkasar, di antara ada dengan tidak, laksana perayaan anak bidadari, bayangannya memukul ke atas permukaan laut.Hilang kebesaran sang surya, maka dari balik puncak Lompo Batang yang antara ada dengan tidak itu terbitlah bulan lima belas hari menerangi seluruh alam, memberikan cahaya bagi kota Mengkasar yang indah, kota yang penuh dengan riwayat dan sejarah. Tempat kebesaran Maharaja Hasanuddin Awwalul Islam, Mantiro ri Agamanna, raja yang mula-mula menyiarkan kalimat syahadat di buta Jumpa ndang (Tanah Mengkasar), menerima pusaka dari Datuk Tirro, Datuk ri Bandang, dan Datuk Pa Timan...

Ombak putih-puth,

Ombak datang dari laut. Kipas lenso putih, Tanah Mengkasar sudah jauh...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post