rzi dalr

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Pemandangan Di Dusun (tenggelamnya kapal Van Der Wijck)

Pemandangan Di Dusun (tenggelamnya kapal Van Der Wijck)

SESUNGGUHNYA persahabatan yang rapat dan jujur di antara kedua orang muda itu, kian lama kian tersiarlah dalam dusun kecil itu. Di dusun, belumlah orang dapat memandang ke jadian ini dengan penyelidikan yang seksama dan adil. Orang belum kenal percintaan suci. Yang

terdengar sekarang, yang pindah dari mulut ke mulut, ialah bahwa Hayati, kemenakan Dt... telah ber"intaian," bermain mata, berkirim-kiriman surat dengan anak orang Mengkasar itu. Gunjing, bisik dan desus, perkataan yang tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari satu mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaraan dalam kalangan anak muda-muda yang. ducluk di pelantar lepau petang hari. Sehingga akhirnya telah menjadi rahasia umum.

Orang-orang perempuan berbisik-bisik di pancuran tempat mandi. Kelak bila kelihatan Hayati mandi ke sana, mereka pun berbisik dan menclaham, sambil melihat kepadanya dengan sudut mata. Anak-anak muda yang masih belum kawin dalam kampung itu sangat naik clarah. Bagi mereka adalah perbuatan demikian merendahkan derajat mereka seakan-akan kampung tak berpenjaga. Yang terutama sekali dihinakan orang adalah persukuan Hayati, terutama

mamaknya sendiri Dt ... yang dikatakan buta saja matanya melihat kemenekannya membuat malu, melangkahi kepala ninik-mamak.

Ibarat bergantang, hal ini telah terlalu penuh. Telinga Dt ... tidak sanggup lagi mendengarkan. Sehingga pada suatu malam dicarinya Zainuddin, dibawanya berbicara bermuka-muka.

"Zainuddin," ujarnya, "telah banyak nian pembicaraan orang yang kurang enak kudengar terhadap dirimu dan diri kemenakanku. Kata orang tua-tua telah melakukan perbuatan yang buruk rupa, salah canda, yang pantang benar di dalam negeri yang berauat ini. Diri saya percaya bahwa engkau tiada melakukan perbuatan yang dada senonoh dengan kemenakanku, yang dapat merusakkan nama Hayati selama hidupnya. Tetapi, sekarang saya temui engkau untuk memberi eugkau nasehat, lebih baik sebelum perbuatan berkelanjuran, sebelum merusakkan nama kami dalam negeri, suku sako turun temurun, yang belum lekang dipanas dan belum lapuk dihujan, supaya engkau surut."

Tercengang Zainuddin menerima pembicaraan yang ganjil itu, bagai ditembak petus tunggal rasa kepalanya. Lalu dia berkata: "Mengapa engku berbicara demikian rupa kepada diriku? Sampai membawa nama adat dan turunan?"

"Harus hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di Minangkabau ini, kemenakan di bawah lindungan mamak. Hayati orang bersuku berhindu berkaum kerabat, bukan dia sembarang orang."

"Saya akui hal demikian, engku. Tetapi itulah kemalangan nasib saya, mengapa dahulunya saya berkenalan dengan dia, mengapa maka hati saya terjatuh kepadanya, dan dia sambut

kemalangan untungkudengan segenap belas-kasihan. Cuma sehingga itu perjalanan perkenalan kami selama kami hidup, lain tidak!"

"Ya, tapi kasihan Hayati. Engku sendiri tahu bagaimana dia dipandang bunga di dalam persukuannya. Dahulu dia lurus, gembira, tetapi sekarang telah pemenung dan pehiba hati. Hatinya telah rusak binasa semenjak berkenalan dengan engkau dan kalau diperturutkan

agaknya badannya akan kurus kering, dan kalau dia terus binasa, bukankah segenap persukuan dan perlindungan di rumah gedang kehilangan mustika?

Zainuddin! Serba susah saya di dalam hal ini. Nama saya sendiri, gelar pusaka turun temurun menjadi buah mulut orang, dikatakan mamak yang tak pandai mengatur kemenakan. Dan lagi engkau sendiri, belumlah tinggi pemandangan orang kepada didikan sekolah. Kejadian ini telah mereka pertalikan dengan sekolah -- [58] itulah bahaya anak kemenakan diserahkan ke sekolah kata mereka-- sudah pandai dia berkirim-kiriman surat dengan laki-laki, padahal bukan

jodohnya. Sebab itu, sangatlah saya minta kepadamu, Zainuddin, sudilah kiranya engkau melepaskan Hayati dari dalam kenanganmu, dan berangkatlah dari negeri Batipuh yang kecil ini segera, untuk kemaslahatan Hayati."

"Artinya engku merenggutkan jantung saya dari dada saya," jawab Zainuddin sambil menekur. "Engkau seorang laki-laki, Zainuddin. Sakitmu ini hari bolehlah engkau obat besok dan lusa. Tetapi seorang perempuan ... seorang perempuan mau binasa kalau menahan hati."

"Tidak engku ... hati laki-lakilah yang kerap remuk lama, perempuan dapat segera melupakan hidupnya di zaman muda."

"Dengan sangat saya minta engkau berangkat saja dari sini, untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai."

"Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai," perkataan ini terhunjam ke dalam jantung Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak bersuku, tak berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulupenghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu. Alangkah besamya kurban yang harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tiada. akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat.

Dia termenung mengingat untungnya, yang hanya mengecap lazat cinta laksana bayang-bayang dalam mimpi. Tetapi cinta suci bersedia menempuh kurban, bersedia hilang, kalau hilang itu untuk kemaslahatan kecintaan, bersedia menempuh maut pun, kalau maut itu perlu. Karena bagi cinta yang murni, tertinggal jauh di belakang pertemuan jasmani dengan jasmani, terlupa pergabungan badan dan badan, hanyalah keikhlasan dan kesucian jiwa yang diharapnya. [59] "Angkatlah kepalamu Zainuddin, berilah saya kata putus," ujar Dt ... pula.

Diangkatnya kepalanya, dan kelihatanlah air matanya merapi. "Berilah saya keputusan, berangkatlah!"

"Ba ... iklah, engku!"

Didekatinya Zainuddin, ditepuknya bahu anak muda itu dengan herlahan seraya berkata: "Moga-moga Allah memberimu perlindungan."

Dia pergi, dan Zainuddin ditinggalkannya masih termenung.

Hayati duduk di ruang tengah merendai sehelai sarung bantal, entah sarung bantal persiapan kawin, tidaklah kita ketahui. Tiba tiba Dt ... masuk ke rumah dan berdiri dekat Hayati sambil berkata

"Sudahkah engkau tahu, Hayati?" "Apa engku?"

"Zainuddin ..."

Zainuddin telah saya suruh pergi dari Batipuh. Kalau dia hendak menuntut ilmu juga, sebagai niatnya bermula, lebih baik dia pergi ke Padang Panjang atau Bukittinggi saja, dia telah mau." Meski pun dengan sepayah-payahnya Hayati menahan hatinya, namun mukanya nyata pucat kelihatan, terlompat juga pertanyaan dari mulutnya:

"Apa sebab engku suruh dia pergi?"

"Banyak benar fitnah-fitnah orang terhadap kepada dirinya dan dirimu sendiri."

"Tapi perhubungan kami suci, tidak bercampur dengan perbuatan yang melanggar sopan santun."

"Hai Hayati! Jangan engkau ukur keadaan kampungmu dengan kitab-kitab yang engkau baca. Percintaan hanyalah khayal dongeng dalam kitab saja. Kalau bertemu dalam pergaulan hidup, [60] cela besar namanya, merusakkan nama, merusakkan ninik-mamak, korong kampung, rumah halaman."

"Zainuddin bukan mencintai saya sebagaimana engku katakan itu, tetapi dia hendak menuruti jalan yang lurus, dia hendak mengambil saya jadi isterinya."

"Mana bisa jadi, gadis. Menyebut saja pun tidak pantas, kononlah melangsungkan." "Bagaimana tidak akan bisa jadi, bukankah Zainuddin manusia? Bukankah dia keturunan Minangkabau juga?."

"Hai upik, baru kemaren kau memakan garam dunia,kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan- angan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkaa hidup itu seorang yang tentu pencaharian tentu asal usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan engkau beroleh anak, ke manakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa

Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?"

"Oh engku, mengapa engku sampai hati membunuh Zainuddin dan membunuh kemenakan engku sendiri?"

"Tidak Hayati, kau harus tenangkan pikiranmu. Hari ini kau bersedih, karena segala sesuatu kau pandang dengan mata percintaan, bukan mata pertimbangan. Akan datang zamannya kau sadar, kau puji perbuatanku dan tidak kau sesali. Moga-moga habis cinta kau kepadanya, karena cinta demikian berarti menghabiskan umur dan perbuatan sia-sia. Mamakmu bukan membunuh, tetapi meluruskan kembali jalan kehidupanmu, pengalamanku telah banyak. Mamak tak pandai membaca yang tertulis, tetapi tahu pahit dan getirnya hidup ini."

Hayati menangis, menangisi nasib sendiri dan menangisi Zainuddin, dia meniarap di ujung kaki mamaknya meminta dikasihani. Tapi percuma, percuma menanamkan padi di sawah [61] yang tak berair, percuma mendakikan akar sirih, memanjat bate Percuma, percuma meminta sisik kepada limbat ...

"Sekarang kau menangis, dan nanti kau akan insaf sendiri," ujar mamaknya pula, sambil menarikkan kakinya yang sedang dipagut oleh Hayati perlahan-lahan.

Zainuddin baru saja sampai ke rumah bakonya. Mande Jamilah telah menyambutnya dengan muka pucat pula. Belum selesai dia makan, Mande Jamilah telah berkata: Lebih baik engkau tinggalkan Batipuh ini, tinggallah di Padang Panjang. Sebab namamu disebut-sebut orang

banyak sekali. Tadi sore Mande mendengar beberapa anak muda hendak bermaksud jahat kepadamu."

8. BERANGKAT

SEMALAM-MALAMAN hari, setelah mendengarkan perkataan Mande Jamilah, dan setelah

mengingat perkataan-perkataan yang pedih-pedih, sindiran yang menyayat jantung dari Dt ... mata Zainuddin tidak hendak tertidur. Pincangnya masyarakat Minangkabau, buruk nian

nasibnya. Tak ubahnya kedatangannya ke Minangkabau, bagai musafir yang mengharapkan minuman dan melihat air di pertengahan padang pasir, demi setelah didatanginya ke sana, sebuah pun tak ada yang nampak.

Kadang-kadang disesalinya perkawinan ayahnya dengan ibunya. Kadang-kadangpuladia

menyadar untung malangnya, mengapa dia tak dilahirkan dalam kalangan orang Minangkabau! Tapi bukan itu agaknya yang menutup pintu baginya untuk bertemu dengan Hayati, agaknya lantaran dia tak berwang. Orang tak melihat, bahwa sekedar belanja menunggu dapat penghidupan tetap, dia masih menyimpan. Tetapi bukan itu yang jadi sebabnya, walau pun wang berbilang, emas bertahil, namun pemisahan adat masih tebal di negeri itu.

Ia diusir, meskipun dengan cara halus. Perbuatannya dicela, namanya dibusukkan. Seakan-akan tersuci benar negeri Minangkabau ini dari dosa.

Seorang anak muda, yang berkenalan dengan seorang anak perempuan, dengan maksud baik, maksud hendak kawin, dibusukkan, dipandang hina. Tetapi seorang yang dengan gelar

bangsawan nya, dengan titel datuk dan penghulunya mengawini anak gadis orang berapa dia suka, kawin di sana, cerai di sini, tinggalkan anak di kampung anu dan cicirkan di kampung ini, tidak tercela, tidak dihinakan. [63]

Seorang anak muda yang datang ke kampung, yang lahir dari pada perkawinan sah, dan ibunya bukan pula keturunan sembarang orang, malah Melayu pilihan dari Bugis, dipandang orang lain. Tetapi harta seorang ayah, yang sedianya akan turun kepada anaknya, dirampas, dibagi dengan nama "adat" kepada kemenakannya. Kadang-kadang pula pemberian ayah kepada anaknya semasa dia hidup, diperkarakan, dan didakwa ke muka hakim oleh pihak kemenakan, tidak tercela, bahkan terpandang baik.

"Ke dalam masyarakat apakah saya telah terdorong dan kaki saya telah terjerumus," kata Zainuddin dalam hatinya. Timbul kebencian yang sangat di dalam hatinya, tetapi kebencian itu pun sirnalah sebentar itu juga, bila diingatnya bahwa ayahnya asal dari sana, dan dia pun asal dari sana, meskipun orang lain tak mengakui. Lebih lagi, bukankah Hayati dilahirkan dalam kalangan itu?

Boleh dikatakan tiada terpicing matanya semalam itu. Setelah ayam berkokok tanda siang, dia telah turun membasuh mukanya ke halaman dan mengambil udhuk, terus sembahyang subuh. Tidak berapa saat kemudian, fajar pun terbitlah dari jihat Timur, kicau murai di pohon kayu, dan kokok ayam di kandang, laksana serunai nafiri mengelu-elukan kedatangan maharaja siang yang menang dalam peijuangan. Awan di Timur dan di Barat, berbagai-bagai rona nampaknya, laksana menunjukkan perayaan alam yang terjadi tiap-tiap pagi dan tiap-tiap sore. Tidak lama kemudian, sebelum tanah dan jalan raya yang meliku melekok melalui negeri-negeri kecil dari Padang Panjang ke Sumpur, ditimpa cahaya matahari, maka puncak gunung Merapi dan Singgalang telah kena cahaya lebih dahulu, amat indahnya laksana disepuh dengan emas juwita. Di waku demikian, kelihatanlah orang-orang dusun keluar dari rumahnya, berselimut

kain sarung, dan perempuan-perempuan berkain telekung dan menjinjing buli-buli. Tidak lama kemudian matahari pun terbitlah.

Semua itu dilihat oleh anak muda itu, sambil menarik nafas panjang. Dia kelihatan berjalan dengan gontainya, di halaman'yang luas dari rumah adat yang berderet-deret, setelah menjabat tangan [64] Mande Jamilah yang mengantarkannya sampai ke halaman. Semuanya dengan perasaan yang amat sayu.

Dia melangkah, langkahnya tertegun-tegun. Di tentang rumah Hayati, sengaja ditekurkannya kepalanya, karena sudah putus harapannya hendak bertemu, bunga harum berpagar duri, yang dari sana penyakitnya, tetapi di sana pula obatnya.

Meski pun rum pun bambu yang berderet di tepi jalan membawa udara dan bunyi yang menyegarkan pikiran, bagi orang sebagai Zainuddin semuanya itu hanyalah menambah

penyakit. Sebab negeri Batipuh, negeri yang ditujunya dari kampung kelahirannya, akan tinggal. Halaman tempatnya bermain, akan tinggal. Surau tempatnya bermalam, akan tinggal. Dangau tempat dia bermula menjalin janji dengan Hayati, dan ...akan tinggal Hayati sendiri.

Tiba-tiba, setelah kira-kira setengah jam dia meninggalkan kampung yang permai itu mengayun langkah yang gontai, gonjong rumah-rumah telah mulai ditimpa cahaya pagi, disuatu pendakian yang agak sunyi, di tepi jalan menuju Padang Panjang, kelihatan olehnya seorang perempuan berdiri, berbimbing tangan dengan seorang anak laki-laki. Orang itu ialah Hayati sendiri dan adiknya Ahmad, yang berdiri menunggunya.

Bergoncang sangat hatinya demi melihat anak perempuan itu. Lidahnya seakan-akan terkunci. Tapi demi dilihatnya muka anak perempuan itu tenang saja, timbullah malu dalam hatinya hendak menunjukkan kesedihan. Setelah lama dia tegak termenung menentang muka Hayati barulah dapat dia berkata

"Rupanya ada juga niat hatimu hendak menungguku di sini, Hayati!"

"Memang, tuan Zainuddin, ah ... engkau tak akan kubahasakan "tuan" lagi, memang Zainuddin, sahabatku. Sejak saya mendengar sikap yang telah diambil oleh mamakku, terancamlah perhubungan kasih sayang kita. Dan orang kampungku telah syak wasangka kepada kita yang bukan-bukan. Sebab itu, saya datang [65] kemari melepasmu pergi, dan biar engkau pergi sejauh-jauhnya pun, namun jiwamu telah dekat dengan jiwaku. Sekali seorang anak perempuan yang jujur telah memberikan bujukan kepada seorang laki-laki yang

menghamparkan sayap pengharapan, maka selama hidupnya, kematianlah yang akan menceraikan perjanjiannya itu.

Zainuddin, kekasihku, berangkatlah, biar jauh sekalipun, kulepaskan! Tapi harapanku hanya sebuah engkau sekali-kali tak boleh putus asa, jangan diberi hatimu berpintu sehingga kesedihan dan kedukaan masuk ke dalam.

Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis salisedan. Tetapicintamenghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak

dan duri penghidupan. Berangkatlah! dan biarlah Tuhan memberi perlindungan bagi kita." "Hayati," ujar Zainuddin, "amat besar harganya perkataanmu itu bagiku. Saya putus asa, atau saya timbul pengharapan dalam hidupku yang belum tentu tujuannya ini, semuanya bergantung bukan kepada diriku, bukan pula kepada orang lain, tetapi kepada engkau sendiri. Engkaulah yang sanggup menjadikan saya seorang gagah berani, tetapi engkau pula yang sanggup

menjadikan saya sengsara selamanya. Engkau boleh memutuskan harapanku, engkau pun sanggup membunuhku."

"Kalau demikian, hari inilah saya terangkan di hadapanmu, di hadapan cahaya matahari yang baru naik, di hadapan roh ibu bapa yang sudah sama-sama berkalang tanah, saya katakan: Bahwa jiwaku telah diisi sepenuh-penuhnya oleh cinta kepadamu. Cintaku kepadamu telah memenuhi hatiku, telah terjadi sebagai nyawadan badan adanya. Dan selalu saya berkata, biar Tuhan mendengarkan, bahwa engkaulah yang akan jadi suamiku kelak, jika tidak sampai di dunia, biarlah di akhirat. Dan saya tiadakan khianat kepada janjiku, tidak akan berdusta di hadapan Tuhanku, dan di hadapan [66] arwah nenek moyangku," ujar Hayati.

"Berat sekali sumpahmu Hayati?"

"Tidak berat, demikianlah yang sebenarnya. Dan jika engkau, kekasihku, berjalan jauh atau dekat sekalipun, entah tidak kembali dalam masa setahun, masa dua tahun, masa sepuluh tahun, entah hitam negeri Batipuh ini baru engkau kembali ke mari, namun saya tetap menunggumu. Carilah bahagia dan keberuntungan kita kemana jua pun namun saya tetap untukmu. Jika kita bertemu pula, saya akan tetap bersih dan suci, untukmu, kekasihku, untukmu...

Allah yang tahu bagaimana beratnya perasaan hatiku hendak melepasmu berangkat pada hari ini, tapi apa yang hendak kuperbuat selain sabar. Tuhan telah memberi saya kesabaran, moga- moga kesabaran itu terns menyelimuti hatiku, menunggu di mana masanya kita menghadapi dunia ini dengan penuh kesyukuran kelak."

Baru sekarang terbuka rahasia batin yang tersembunyi di hati Hayati, yang selama ini masih dipandang oleh Zainuddin sebagai teka-teki. Sekarang, yakni seketika dia akan bercerai-cerai, dan entah akan bertemu pula entah tidak. Dan pada muka Hayati kelihatan bagaimana hebat peperangannya menahan hatinya.

"Baiklah Hayati, saya akan berangkat dengan harapan yang penuh, harapan yang tadinya sebelum kau kelihatan berdiri di sini sudah hampir hilang. Cuma masih ada permintaanku kepada engkau: Kirimi saya surat-surat, dan kalau tak berhalangan, surat-surat itu akan saya balasi pula."

"Akan saya kirimi sedapat mungkin, akan saya terangkan segala perasaan hatiku sebagaimana pepatahmu selama ini, dengan surat kita lebih bebas menerangkan perasaan."

"Mana tahu, entah lama pula kita akan bertemu. Berilah saya satu tanda mata, azimatku, dalam hidupku, dan, akan kuwasiatkan meletakkan dalam kafanku jika kumati. Berilah, meski pun suatu barang yang semurah-murahnya bagimu, bagiku mahal semua." [67]

Termenung Hayati sebentar. Tiba-tiba dibukanya selendang yang melilit kepalanya, dicabutnya beberapa helai rambutnya, diberikannya kepada Zainuddin: "Inilah, terimalah! Selamat

jalan..."

Digamitnya adiknya Ahmad itu dengan tangannya dia pun berpaling muka, berjalan dengan secepat-cepatnya menuruti jalan raya itu dan membelok ke jalan kecil yang menuju kampung halamannya, sementara Zainuddin tak dapat berkata sepatah juga lagi.

Tidak berapa menit kemudian, kelihatanlah dari jauh sebuah bendi yang sedang mendaki dan kudanya berjalan dengan gontai, muatannya kosong, bendi itulah yang mengejutkannya, sehingga terhenti dari tekurnya."Artinya engku merenggutkan jantung saya dari dada saya," jawab Zainuddin sambil menekur. "Engkau seorang laki-laki, Zainuddin. Sakitmu ini hari bolehlah engkau obat besok dan lusa. Tetapi seorang perempuan ... seorang perempuan mau binasa kalau menahan hati."

"Tidak engku ... hati laki-lakilah yang kerap remuk lama, perempuan dapat segera melupakan hidupnya di zaman muda."

"Dengan sangat saya minta engkau berangkat saja dari sini, untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai."

"Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai," perkataan ini terhunjam ke dalam jantung Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak bersuku, tak berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulupenghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu. Alangkah besamya kurban yang harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tiada. akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post