rzi dalr

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Tanah Asal (tenggelamnya kapal Van Der Wijck)

Tanah Asal (tenggelamnya kapal Van Der Wijck)

Bilamana Zainuddin telah sampai ke Padang Panjang, negeri yang ditujunya, telah diteruskannya perjalanan ke Dusun Batipuh karena menurut keterangan orang tempat dia bertanya, di sanalah negeri ayahnya yang asli. Seketi ka dia mengenalkan diri kepada bakonya, orang laksana kejatuhan bintang dari langit, tidak menyangka-nyangka akan beroleh seorang anak muda yang begitu gagah dan pantas, yang menurut adat di Minangkabau dinamai "anak pisang". Maklumlah, orang di sana masyhur di dalam mene rima orang baru. Tetapi basa-basi itu lekas pula bosan. Oleh karena yang kandung tidak ada lagi, apalagi ayahnya tidak bersaudara perempuan, dia tinggal di rumah persukuan de kat dari ayahnya.Mula-mula datang, sangatlah gembira hati Zainuddin telah sampai ke negeri yang selama ini jadi kenang-kenang annya. Tetapi dari sebulan ke sebulan, kegembiraan itu hi lang sebab rupanya dikenang-kenangnya berlainan dengan yang dihadapinya. Dia tidak beroleh hati yang sebagai hati Mak Base, tidak mendapat kecintaan ayah dan bunda. Bu kan orang tak suka kepadanya, suka juga, tetapi berlain ku lit dan isi. Jiwanya sendiri mulai merasa bahwa meskipun dia anak orang Minangkabau tulen, dia masih dipandang. orang pendatang, masih dipandang orang jauh, orang Bu gis, orang Mengkasar.Untuk menghindarkan muka yang kurang jernih, maka bilamana orang ke sawah, ditolongnya ke sawah, bila orang ke ladang, dia pun ikut ke ladang. Dalam pada itu, menam bah pelajaran perkara agama tidak dilupakannya.Zainuddin seorang yang terdidik lemah lembut, didikan ahli seni, ahli syair, yang lebih suka mengalah untuk kepen tingan orang lain.Sesudah hampir enam bulan dia tinggal di Dusun Bati puh, bilamana dia pergi duduk-duduk ke lepau tempat anak muda-muda bersenda gurau, orang bawa pula dia bergu rau, tetapi pandangan orang kepadanya bukan pandangan sama rata, hanya ada juga kurangnya. Sehingga lama-lama insaflah dia perkataan Mak Base seketika dia akan berlayar, bahwa adat orang di Minangkabau lain sekali. Bangsa di ambil dari ibu. Sebab itu, walaupun seorang anak berayah orang Minangkabau sebab di negeri lain bangsa diambil dari ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain juga. Malang nasib anak yang demikian sebab dalam negeri ibunya dia dipandang orang asing dan dalam negeri ayah nya dia dipandang orang asing pula.Tak dapat Zainuddin mengatakan dia orang Padang, tak kuasa lidahnya menyebutnya dia orang Minangkabau. Dan dia tidak berhak diberi gelar pusaka sebab dia tidak bersu ku. Meskipun dia kaya raya, misalnya, boleh juga dia diberi gelar pinjaman dari bakonya, tetapi gelar itu tak boleh di turunkan pula kepada anaknya. Melekatkan gelar itu pun mesti membayar utang kepada negeri, sembelihkan kerbau dan sapi, panggil ninik mamak dan alim ulama, himbaukan di labuh nan golong, di pasar nan ramai.Pada sangkanya semula jika dia datang ke Minang kabau, dia akan bertemu dengan neneknya, ayah dari ayah nya. Di sanalah dia akan memakan harta benda neneknya dengan leluasa sebagai cucu yang menyambung turunan. Padahal seketika dia datang itu, setelah dicarinya neneknya itu, ditunjukkan orang di sebuah kampung di Ladang Lawas, bertemu seorang tua di sebuah surau kecil, gelarnya Datuk Panduka Emas, dia hanya tercengang-cengang saja sambil berkata, "Oh... rupanya si Amin ada juga meninggalkan anak di Mengkasar."Cuma sehingga itu pembicaraan orang tua itu dan tidak ada tambahnya lagi. Dia tak kuasa hendak menahan cucu nya tinggal dengan dia sebab mesti mufakat lebih dahulu dengan segenap keluarga. Padahal sedangkan pihak si Amin Pandekar Sutan, sudah jauh perhubungan keluarga, apalagi dengan anak yang datang dari "Bugis" ini.Sekali itu saja Zainuddin datang kepada neneknya sete lah itu tidak lagi. Dan neneknya pun tidak pula memesan mesankan dia.Hatinya telah mulai jemu. Maka terbayang-bayanglah kembali di ruang matanya kota Mengkasar, kota yang indah dan penuh dengan peradaban, terbayang kembali lautan dengan ombaknya yang tenang, perahu Mandar, kapal yang sedang berlabuh sehingga mau dia rasanya segera pulang, bertemu dengan Mak Basenya yang tercinta.Tetapi... ya tetapi kehendak Yang Mahakuasa atas diri manusia berbeda dengan kehendak manusia itu sendiri. Zainuddin telah jemu di Minangkabau, dan dia tidak akan jemu lagi karena tarikh penghidupan manusia bukan manusia membuatnya, dia hanya menjalani yang tertulis.Tidak berapa jauh dari rumah bakonya itu, ada pula se buah rumah adat yang indah dan kukuh, menurut bentuk adat istiadat Minangkabau, bergonjong empat, beratap ijuk, dan bertatahkan timah. Di ujung kedua pihak ada an jung peranginan, serambi muka bergonjong pula, lumbung empat buah berlerat di halaman. Halamannya luas, tempat menjemurkan padi yang akan ditumbuk. Pada buatan ru mah, pada simbol pedang bersentak yang terletak di bawah gonjong kiri kanan, menandakan bahwa orang di rumah ini amat keras memegang adat lembaga, agaknya turunan Regen atau Tuan. Gedang di Batipuh, yang terkembang di Batipuh Atas dan Batipuh Baruh.Meskipun adat masih kuat, namun gelora pelajaran dan kemajuan agama yang telah berpengaruh di Sumatra Barat, tidak juga melepaskan rumah adat yang kukuh itu dari ceng keramannya. Meskipun kehendak dari mamak yang tua-tua hendak menahan juga anak kemenakan yang perempuan menuntut ilmu, namun halangan itu sudah percuma saja. Gadis-gadis seisi rumah itu, yang selama ini turun sekali se Jum'at diiringkan dayang-dayang banyak, sekarang telah mengepit kitab, melilitkan selendang pula, pergi menuntut ilmu. Ada yang ke Ladang Lawas, ada yang ke Gunung, dan ada juga yang ke Padang Panjang.Hayati, gadis remaja putri, ciptaan keindahan alam, lam baian Gunung Merapi, yang terkumpul padanya keindahan adat istiadat yang kukuh dan keindahan model sekarang, itulah bunga di dalam rumah adat itu. Hayati adalah nama baru yang belum biasa dipakai orang selama ini. Nama gadis gadis di Minangkabau tempo dahulu hanya si Cinta Bulih, Sabai Nan Aluih, Talipuk Layur, dan lain-lain. Tetapi Hayati adalah bayangan dari perubahan baru yang melingkari alam Minangkabau yang kukuh dalam adatnya itu.Wahai, dari manakah pengarang yang lemah ini akan memulai menceritakan sebab-sebab Hayati berkenalan de ngan Zainuddin? Apakah dari sebab mereka kerap kali ber temu di bawah lindungan keindahan alam? Di sawah-sawah yang bersusun-susun? Di bunyi air mengalir di Batang Gadis menuju Sumpur? Ataukah dari dangau di tengah sawah yang luas, di waktu burung pipit terbang berbondong? Atau di waktu habis menyabit, di kala asap jerami menjulang ke udara, dan awan meliputi puncak Merapi yang indah? Atau di waktu kereta api membunyikan peluitnya di dalam kesu sahan mengharung rimba dan jembatan yang tinggi, menu ju Sawah Lunto dan melingkari Danau Singkarak?Dari manakah pengarang akan mulai menceritakan se bab-sebab mereka berkenalan?Di dalam kalangan gadis-gadis di kampung Batipuh te lah menjadi buah mulut, bahwa ada sekarang seorang anak muda "orang jauh", orang Bugis dan Mengkasar, menum pang di rumah bakonya, Mande Jamilah. Anak muda itu baik budi pekertinya, rendah hati, terpuji dalam pergaulan, disa yangi orang. Sungguh belajar karena dia berguru kepada seorang lebai yang ternama. Tetapi dia pemenung, pehiba hati, suka menyisihkan diri ke sawah yang luas, suka mere nungi wajah Merapi yang diam tetapi berkata. Sayang dia orang jauh!Mula-mula Hayati berkenalan dengan dia adalah seketi ka hari hujan lebat sebab daerah Padang Panjang itu, lebih banyak hujannya daripada panasnya. Mereka akan kembali ke Batipuh, tiba-tiba hujan lebat turun seketika mereka ada di Ekor Lubuk. Zainuddin ada membawa payung dan Hayati bersama seorang temannya kebetulan tidak berpayung.Hari hujan juga. Mula-mula mereka sangka akan lekas redanya, rupanya hujan yang tak diikuti angin yang kerap kali lama sekali. Sehingga bermenunglah anak muda itu di muka lepau orang, melihatkan titik-titik air dari atas ke ta nah, menembusi pasir halaman yang terkumpul. Kebetulan bendi pun tidak ada yang lalu. Sehingga dari pukul 2 sudah hampir pukul 4 mereka berdiri.Heran dengan Zainuddin, mengapa dia tidak berangkat saja padahal dia ada berpayung?Dia tahu akan gadis-gadis itu, orang sekampungnya sama-sama orang Batipuh, dia tahu betul, meskipun belum berkenalan. Tidak sampai hatinya hendak meninggalkan mereka. Anak-anak gadis itu pun kenal akan dia, meskipun belum bertegur sapa, tetapi tak berani membuka mulut.Hari sore juga, tiba-tiba timbullah keberanian Zainuddin, meskipun keringatnya terbit di waktu hujan, dia tampil ke muka, ditegurnya Hayati, "Encik ...!"Hayati menentang mukanya tenang-tenang dan tidak menjawab, hanya seakan-akan menunggu apa yang dikata kannya."Sukakah Encik saya tolong?""Apakah gerangan pertolongan Tuan itu?" "Berangkat Encik lebih dahulu pulang ke Batipuh, marah mamak dan ibu Encik kelak jika terlambat benar akan pulang, pakailah payung ini, berangkatlah sekarang juga.""Janganlah ditolak pertolongan itu," kata orang lepau dengan tiba-tiba. "Orang hendak berbuat baik tidak boleh ditolak.""Dan Tuan sendiri bagaimana?" jawab Hayati pula, se dang temannya yang seorang lagi menekur-nekur saja ke malu-maluan."Itu tak usah Encik susahkan, orang laki-laki semuanya gampang baginya, pukul 7 atau 8 malam pun saya sanggup pulang, kalau hujan ini tak teduh juga. Berangkatlah dahu lu! "Ke mana payung ini kelak kami antarkan?" "Besok saja antarkan pun tak jadi apa, ke rumah Mande Jamilah!" "Terima kasih Tuan, atas budi yang baik itu," ujar Hayati sambil senyum, senyum bulan kehilang, entah jadi entah tidak."Ah, baru pertolongan demikian, Encik sudah hendakmengucapkan terima kasih!"Kedua gadis itu pun berangkatlah di dalam hujan, ber payung berdua berlambat-lambat. Zainuddin tegak terme nung seorang diri menunggu biar hujan itu reda. Dalam renungnya itu, berjalan pikirannya kian kemari. Ia teringat payung, teringat hujan, teringat kota Mengkasar jika musim hujan, 40 hari lamanya tidak melihat matahari. Lama-lama teringat dia kepada Hayati meminjam payungnya. Itulah ru panya Hayati, yang kerap kali jadi sebutan oleh anak muda muda temannya bermain, yang jadi buah mulut dan pujian.Ah, alangkah beruntungnya jika dia dapat berkenalan dengan gadis itu, berkenalan saja pun cukuplah. Mukanya amat jernih, matanya penuh dengan rahasia kesucian dan tabiatnya gembira. Kalau kiranya gadis demikian ada di Mengkasar... ah!Hujan pun teduh, dia pun pulanglah ke Batipuh, dengan langkah yang cepat dari biasa.Bertambah dekat kampung Batipuh, bertambah jauh dia dari kegembiraannya sebab kemanisan mulut bakonya kepadanya hanyalah lantaran belanja bulanan yang diberi kannya dengan tetap, kiriman Mak Base dari Mengkasar. Bila hari telah malam, dia pergi tidur ke surau, bersama sama dengan lain-lain anak muda karena demikian menurut adat. Semalam itu, Zainuddin dikerumuni oleh mimpi-mimpi yang indah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post