rzi dalr

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Yatim Piatu (tenggelamnya kapal Van Der Wirjck)

Yatim Piatu (tenggelamnya kapal Van Der Wirjck)

Terangkanlah, Mak, terangkanlah kembali riwayat lama itu, sangat inginku hendak mendengarnya," ujar Zainuddin kepada Mak Base, orang tua yang telah berta hun-tahun mengasuhnya itu.

Meskipun sudah berulang-ulang dia menceritakan hal yang lama-lama itu kepada Zainuddin, dia belum juga puas. Tetapi kepuasannya kelihatan bilamana dia duduk meng hadapi tempat sirihnya, bercengkerama dengan Zainuddin menerangkan hal ihwal yang telah lama terjadi. Menerang kan cerita itulah rupanya kesukaan hatinya.

"Ketika itu engkau masih amat kecil," katanya memu lai hikayatnya. "Engkau masih merangkak-rangkak di lantai dan saya duduk di kalang hulu ibumu memasukkan obat ke dalam mulutnya. Napasnya sesak turun naik dan hatinya rupanya sangat dukacita akan meninggalkan dunia yang fana ini. Ayahmu menangkupkan kepalanya ke bantal dekat tem pat tidur ibumu. Saya sendiri berurai air mata, memikirkan bahwa engkau masih sangat kecil belum pantas menerima cobaan yang seberat itu, umurmu baru sembilan bulan.

Tiba-tiba ibumu menggamitkan tangannya kepadaku, aku pun mendekat. Kepalaku diraihnya dan dibisikkannya ke telingaku-sebab suaranya telah lama hilang-berkata, 'Mana Udin, Base!'

'Ini dia, Daeng,' ujarku, lalu engkau kuambil. Ah, Zainuddin! Engkau masih tertawa saja waktu itu, tak engkau ketahui bahwa ibumu akan berangkat meninggalkan eng kau buat selamanya, engkau tertawa dan melonjak-lonjak dalam pangkuanku. Aku bawa engkau ke mukanya. Maka dibarutnyalah seluruh badanmu dengan tangannya yang tinggal jangat pembalut tulang. Digamitnya pula ayahmu, ayahmu yang matanya telah balut itu pun mendekat pula. Dia berbisik ke telinga ayahmu, 'Jaga Zainuddin, Daeng.'

'Jangan engkau bersusah hati menempuh maut, Adin

da. Tenang dan sabarlah! Zainuddin adalah tanggunganku.' 'Asuh dia baik-baik, Daeng, jadikan manusia yang bergu na. Ah... lanjutkan pelajarannya ke negeri Datuk neneknya sendiri.'

Dua titik air mata yang panas mengalir di pipi ibumu, engkau ditengoknya juga tenang-tenang. Setelah air ma tanya diseka ayahmu, maka dia mengisyaratkan tangannya menyuruh membawa engkau agar jauh daripadanya, agar tenang hatinya menghadapi sakratulmaut.

Tidak berapa saat kemudian, ibumu pun hilanglah, kem bali ke alam baka, menemui Tuhannya, setelah berbulan bulan berjuang menghadapi maut karena enggan mening galkan dunia sebab engkau masih kecil."

Air mata Zainuddin menggelanggang mendengarkan hi kayat itu, Mak Base meneruskan pula.

"Bingung sangat ayahmu sepeninggal ibumu. Mereka belum lama bergaul, baru kira-kira empat tahun, dan sangat berkasih-kasihan. Sekarang kodrat Allah merampas ibumu dari tangannya. Hampir dia jadi gila memikirkan nasib yang menimpa dirinya. Kerap kali dia termenung seorang, kerap dia pergi berziarah di waktu matahari hendak turun ke ku buran ibumu di Kampung Jera. Yang lebih menyedihkan hatiku lagi ialah bilamana air matanya titik dan engkau se dang dalam pangkuannya dia mengeluh, 'Ah, Udin! Sekecil ini engkau sudah menanggung!'

Karena mamakmu ini sudah bertahun-tahun tinggal menjadi orang gajiannya, tetapi kemudian telah dipandang nya saudara kandung, telah berat hati mamak hendak me ninggalkan rumah ini. Mamak tidak hendak kembali lagi ke Bulukumba. Tidak sampai hati mamak meninggalkan ayah mu mengasuhmu. Takut terlambat dia pergi ke mana-mana mencari sesuap pagi sesuap petang.

Beberapa bulan setelah ibumu meninggal dunia, sudah mamak suruh dia kawin saja dengan perempuan lain, baik orang Mengkasar atau orang dari lain negeri. Dia hanya menggeleng saja, dia belum hendak kawin sebelum engkau besar, Udin. Pernah dia berkata, 'Separuh dari hatinya diba wa ibumu ke kuburan, dia tinggal di dunia ini dengan hati yang separuh lagi.' Betapa dia takkan begitu, ia cinta kepa da ibumu. Dia orang jauh, orang Padang, lepas dari buangan karena membunuh orang. Hidup dua belas tahun di dalam penjara telah menyebabkan budinya kasar, tidak mengenal kasihan, tak pernah kenal akan arti takut, walau kepada Tuhan sekali pun. Dia keluar dari penjara, nenekmu, Daeng Manippi menyambutnya dan dikawinkan dengan ibumu.Ibumulah yang telah melunakkan kekerasan ayahmu, ibu mulah yang telah mengajarnya menghadapkan muka ke kib lat, meminta ampun kepada Tuhan atas segenap kesalahan dan dosanya.

Ah, Zainuddin!... Ibumu, kalau engkau melihat wajah ibumu, engkau akan melihat seorang perempuan yang le mah lembut, yang di sudut matanya terletak pengharapan ayahmu. Dia adalah raja, Anak. Dia adalah bangsawan turun an tinggi, turunan Datuk ri Pandang dan Datuk ri Tirro, yang mula-mula menanam dasar keislaman di Jumpandang ini. Dan dia pun bangsawan budi, walaupun ibumu tak pernah bersekolah. Perkawinannya dengan ayahmu tidak disetujui oleh segenap keluarga sehingga nenekmu Daeng Manippi dibenci orang, dan perkawinan ini memutuskan pertalian keluarga.

Masih terasa-rasa oleh mamak, ayahmu berkata, 'Ter lalu banyak korban yang engkau tempuh lantaran dagang melarat ini, Habibah.'

Jawab ibumu hanya sedikit saja, 'Adakah hal semacam ini patut disebut korban? Ada-ada saja Daeng ini.' Cuma itu jawaban ibumu, Anak.

Demikianlah bertahun-tahun lamanya. Mamak masih tetap tinggal dalam rumah ini mengasuhmu, dan ayahmu berjalan ke mana-mana, kadang-kadang menjadi guru pen cak Padang yang masyhur itu, kadang-kadang berdukun, dan paling akhir dia suka sekali mengajarkan ilmu agama. Pakaiannya berubah benar dari semasa dia keluar dari bui. Dia tak pernah memakai destar lagi, melainkan memakai ko piah Padang yang amat disukainya, bersarung, berpakaian.

cara 'orang siak" di Padang katanya.

Benar apa yang dikatakannya, bahwa hidupnya hanya dengan hati yang separuh saja. Pernah juga dia meneri ma surat dari Padang, dari keluarganya menyuruh pulang saja ke kampung. Karena dia seorang beradat, gelar pusa ka Datuk Mantari Labih tidak ada yang akan memakai. Di Minangkabau orang merasa malu kalau dia belum beristri orang kampungnya sendiri. Berbini di rantau orang artinya hilang. Demi, setelah terdengar oleh mereka bahwa ibumu telah mati, bertubi-tubi pula datang surat menyuruh pulang. Kepada mamak kerap kali diterangkannya, bahwa hatinya rasa diiris dengan sembilu teragak pulang, seakan-akan keli hatan olehnya pelabuhan Teluk Bayur, Gunung Merapi yang hijau kelihatan dari laut. Tetapi hatinya tidak sampai hendak meninggalkan pusara ibumu, pusara gurunya, katanya. Dia tidak pula mau hendak membawamu ke Padang karena hati keluarga belum dapat diletahui, entah suka menerima anak pisang orang Mengkasar, entah tidak.

Karena kabarnya, adat di sana berlain sangat dengan adat di Mengkasar ini.

Kerap kali dia menengadahkan matanya ke langit sambil membuaikan engkau di waktu engkau kecil. Dibuaikannya dengan lagu Buai Anak cara serantih, yang meskipun mamak tak pandai bahasa Padang, bulu roma mamak sendiri berdiri mendengarnya.

'Hanya dua untuk mengobat-obat hati, Base,' katanya kepada mamak. 'Pertama membaca Al-Qur'an tengah ma lam, kedua membuaikan si Udin dengan nyanyian negeri sendiri, negeri Padang yang kucinta. Amat indah negeri Pa dang, Base, pelabuhannya terliku bikinan Tuhan sendiri, ditengah-tengah tampak Pulau Pandan, hijau dilamun alun, yaitu di balik Pulau Angsa Dua. Itulah yang dipantunkan ne nek moyangku, dan bila menyebut pantun itu saya teringat kepada Habibah.'

Pulau Pandan jauh di tengah, di balik Pulau Angsa Dua. Hancur adik dikandung tanah, rupa adik terkenang jua.

Rupanya kodrat Ilahi tidak mengizinkan ayahmu me nunggumu sampai besar. Karena di waktu engkau sedang cepat bermain, di waktu sedang enak mengecap nikmat kecintaan ayah dan kecintaan ibu, terkumpul ke dirimu dari ayahmu seorang, ayahmu meninggal dunia. Meninggalnya seakan-akan terbang ke langit saja, dengan tidak tersangka sangka. Pada suatu malam, petang Kamis malam Jum'at, sedang dia duduk di atas tikar sembahyangnya, bertekun sebagai kebiasaannya, meminta tobat dari segenap dosa, dia meninggal. Ketika itu engkau telah pandai menangis dan bersedih, engkau meratap memanggil-manggil dia.

Rupanya beberapa bulan sebelum mati, sudah ada juga gerak dalam hatinya bahwa dia takkan lama hidup lagi. Sehingga dia pernah berkata, 'Kalau saya mati pula, ba

Bagaimana Zainuddin, Base?' 'Saya yang akan mengasuhnya, Daeng,' jawabku.

Ya, tapi harta peninggalanku agaknya tidak banyak, tentu Udin memberati engkau.'

'Jangan bicara demikian, Daeng. Apa yang aku makan, itulah yang akan dimakan Zainuddin.'

Pada suatu hari, dipanggilnya mamak dan diserahkan nya serencengan anak kunci seraya berkata, 'Mulai seka rang engkaulah yang berkuasa di sini, Base. Kunci ini engkau yang memegang. Kunci putih ini ialah kunci almari. Sebuah peti kecil ada dalam almari itu. Peti itu tak boleh engkau buka, kecuali kalau saya mati.'

Petaruhnya itu mamak pegang baik-baik dan teguh. Se telah dia wafat barulah peti itu mamak buka, di sana ada sehelai surat kecil dengan tulisan huruf Arab, 'Pengasuh Zainuddin sampai dia besar'. Itulah bunyi tulisan itu.

Di dekat surat tersebut ada segulung uang kertas dari Rp1.000,00. Itulah yang mamak pergunakan untuk menga suhmu, menyampaikan sekolahmu sehingga sekarang eng kau berkeadaan begini..."

Setelah itu Base pergi ke dalam, maksudnya ialah hen dak membuka peti itu. Tapi bukanya tidak sembarang buka rupanya. Dia se

orang perempuan tua yang penuh takhayul, sebelum di buka dibakarnya dahulu kemenyan bercampur dengan se tanggi Mengkasar. Setelah dibukanya, dikembangkannya beberapa helai uang kertas di muka Zainuddin. Zainuddin heran karena uang itu tidak seribu lagi, tetapi sudah hampir dua ribu rupiah.

"Mengapa jadi sebanyak ini, Mak Base?"

"Mamak perniagakan dan beruntung. Cuma dari keun tungan itulah membayari uang sekolahmu."

"Ah, dengan apakah jasa Mamak kubalas," ujar Zainuddin. "Balasnya hanya satu, bacakan surah Yaasiin tiap tiap malam Jum'at kalau mamak meninggal dunia pula."

Zainuddin mendekat kepada orang tua itu, diciumnya keningnya, "Perempuan yang bahagia, moga-moga Allah melindungimu!" katanya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post