Safrida Lubis

Seorang yang belajar dari membaca dan mendengarkan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kisah Sang Pendamping Haji Lansia #14
Peusijuk

Kisah Sang Pendamping Haji Lansia #14

Yah, sebuah wasiat, berupa catatan yang saya bukukan, setidaknya itulah usaha saya pada kisah sebelumnya. Dan lanjutannya...

14. Pesijuk dan doa pertama

Detik-detik keberangkatan rasanya semakin dekat saja. Terpekur mendengarkan takbir kemenangan bersama para jamaah shalat lebaran di pagi Idul Fitri menjadikan diri saya hanyut dalam keadaan bersyukur atas segala nikmat yang telah dilimpahkan Allah. Terlintas dalam benak saya, ‘Mungkin ini adalah lebaran Idul Fitri saya yang terakhir. Satu Syawal, setelah itu menyusul bulan Dzulqaidah dan selanjutnya Bulan Dzulhijjah, bulan untuk melaksanakan ibadah haji,’ tetesan bening kembali melintasi pipi saya dan meluncur deras pada ujung bibir kemudian berjatuhan membasahi mukena putih yang saya kenakan.

Lebaran selalu menyisakan perasaan yang tiada menentu. Terlebih lagi tahun ini, walau sebelum pulang ke Sigli selalu menyempatkan untuk mengunjungi mamak dirumahnya dan memohon doa restu, tetapi manakala gema takbir dikumandangkan, kerinduan akan orangtua menjadikan mata ini terus dalam keadaan basah.

Begitu juga halnya dengan perasaan saya kepada ayah. Oleh karena itu, setelah berziarah pada makam ibu mertua dan ayah mertua yang dikebumikan di Sigli, saya dan suami bersiap-siap untuk melakukan perjalanan ke Banda Aceh, tempat ayah saya dikebumikan.

“Berapa malam kalian akan menginap di Banda Aceh?” tanya machik-adik dari ibu mertua saya. Tempat tinggalnya yang berdampingan dengan rumah almarhumah ibu mertua saya, memudahkan saya dan suami apabila hendak pulang ke kampung. Sosok beliau yang menggantikan posisi ibu bagi suami saya juga memberikan ketenangan tersendiri di hati saya.

“Mungkin hanya semalam, lalu kami langsung kembali,” jawab suami saya.

“Jadi kapan rencana kembali ke Langsa?” machik kembali bertanya.

Suami saya memalingkan wajahnya pada saya dan berkata,”Gimana dek?” tanyanya kemudian.

“Insyaallah hari senin udah masuk kerja, kalau bisa hari minggu udah pulang ke Langsa, biar ada waktu istirahat sehari, “ jelas saya.

“Jadi, malam minggu bisa kita panggil tengku untuk pesijuk Ida?” kata machik menyakinkan.

“Sepertinya bisa, machik kasi kabar terus pada tengku, jadi beliau bisa bersiap-siap,” sambung suami saya.

Kabar keberangkatan saya untuk menunaikan ibadah haji sudah tersebar di kampung. Banyak saudara yang mengingatkan untuk melaksanakan pesijuk dahulu sebelum keberangkatan. Terlebih lagi pesijuk itu di mulai dari rumah kami di kampung, karena tidak ada waktu lagi untuk pulang kampung sekembalinya saya ke Langsa. Saya tidak banyak berkomentar dan sangat gembira dengan antusias mereka yang mengetahui kabar gembira ini, seolah-olah mereka turut bersukacita atas keberangkatan saya. Banyak diantara mereka juga berlinangan air mata saat mengingat kembali akan almarhumah mertua saya, jika beliau masih berumur panjang, beliau akan berangkat juga tahun ini, akan tetapi ketentuan Allah jua yang berlaku dan itulah yang terbaik dalam ilmuNya.

***

Seperti yang telah saya dan suami rencanakan, di hari kedua lebaran Idul Fitri, selepas melaksanakan shalat Dzuhur, kamipun melaksanakan perjalanan dari Sigli ke Banda Aceh menggunakan sepeda motor.

Menari bersama angin yang mulai menusuk kulit di puncak pegunungan Seulawah membawa kebahagiaan di hati saya. Menikmati perjalanan bersama suami dan anak dalam nuansa lebaran menambah keharuan dalam diri ini, seolah-olah ini adalah kebersamaan terakhir bagi saya dengan mereka berdua. Udara semakin dingin saat kami mendaki puncaknya. Suasana lebaran seperti ini banyak kendaraan yang memenuhi jalan lintas satu-satunya menuju kota Banda Aceh, dan terlihat beberapa kendaraan terparkir pada warung yang memenuhi pinggiran puncak Seulawah.

Waffa terlihat senang berada di depan, sesekali terdengar dia bersenandung tak menentu dan menunjuk apapun yang menarik perhatiannya. Tiba-tiba hujan turun sangat deras diikuti angin yang bertiup kencang.

“Bagaimana dek? Kita istirahat sebentar,” kata suami saya dan segera memberhentikan sepeda motor pada salah satu warung.

Saya segera turun dan memilih tempat duduk dengan pemandangan lembah dan bukit Seulawah yang berlapis-lapis di depan sana. Beberapa pengendara juga terlihat berhenti dan berteduh pada pinggiran warung yang lain.

“Brr, ada dingin nak?” tanya suami saya pada Waffa sambil memegang pundaknya dan berjalan menuju tempat dimana saya duduk.

Sambil menyapu air hujan yang membasahi wajahnya, bibir mungilnya tersenyum dan menjawab, “Nggak.”

Hujan semakin deras membasahi puncak Seulawah. Minuman kelapa muda dan hidangan pop Mie panas menemani kami menunggu redanya hujan. Waktu terus berjalan dan hujan tidak menunjukkan keadaan akan berhenti, apabila bertahan untuk menunggu hujan berhenti akan memakan waktu yang lama, maka setelah beberapa saat kami memilih melanjutkan perjalanan dan sampai pada tempat tujuan menjelang malam.

***

Jadwal saya dan suami hanya berziarah ke kuburan dimana ayah dikebumikan. Kak Asni hanya tertawa lucu melepas kami yang meminta izin untuk kembali pulang ke kampung setelah bermalam dirumahnya.

“Jadi nggak bisa nginap satu malam lagi? Besok, pagi-pagi baru berangkat,” kata kak Asni sambil menatap saya dan suami bergantian.

“Nggak bisa kak, kami harus mempersiapkan acara pesijuk Ida besok malam sebelum berangkat pulang ke Langsa,” jelas suami saya.

Akhirnya kak Asni dengan berat hati melepas kepergian kami dan mendoakan keselamatan dalam perjalanan.

Perjalanan kembali ke Sigli saat kami berada di pegunungan Seulawah tidak diwarnai dengan hujan, dan sebelum sampai terbenamnya matahari kami telah berada di kampung dengan selamat.

***

Suasana ruang tamu sudah dihadiri oleh para tamu dari keluarga dekat saja. Ummi—adek dari almarhum ayah suami saya juga ada diantara mereka yang hadir. Sebuah nampan berisikan bahan pesijuk telah tersedia di depan sebuah tilam yang disediakan machik sebagai tempat akan dilaksanakan pesijuk malam ini.

Terlihat hanya dua orang lelaki yang ada diantara para tamu yaitu suami saya dan seorang tengku yang sangat bersahaja.

“Kita mulai saja!” katanya pada suami saya.

Sambil melihat suami saya yang memberi kode agar saya segera beranjak menuju tilam tempat dimana saya akan dipesijuk, perlahan saya mempersiapkan diri untuk menerima dengan tulus dan ikhlas serta berharap kepada Allah agar mengabulkan segala doa yang akan mereka panjatkan terkhusus untuk saya pada malam ini.

Saya mengaminkan setiap doa-doa yang dipanjatkan dengan linangan air mata, terlebih lagi untuk doa yang mengharapkan agar perjalanan ibadah haji saya ini mendapatkan pahala sebagai haji yang mabrur, dalam hati saya berdoa kepada Allah agar apa yang dipinta tengku ini dikabulkan dan sayapun mendoakan agar tengku beserta orang-orang yang hadir pada malam ini diberikan kemuliaan oleh Allah untuk menjadi tamu Allah pada musim haji yang akan datang.

Setelah tengku selesai melaksanakan pesijuk, maka dilanjutkan oleh Ummi dan beberapa orang lagi yang di anggap lebih tua diantara keluarga dekat. Pesijuk dalam arti kata adalah memberikan doa agar apapun pekerjaan yang akan dilaksanakan mendapatkan keberkahan di dalamnya, dan malam ini saya benar-benar merasakan kesejukan didalam diri setelah mendengar dan mendapatkan doa-doa dari mereka semua.###

Terima kasih sudah membaca : )

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post