Safrida Lubis

Seorang yang belajar dari membaca dan mendengarkan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kisah Sang Pendamping Haji Lansia #15
Para jamaah peusijuk

Kisah Sang Pendamping Haji Lansia #15

Sebelumnya saya telah menceritakan tentang prosesi peusijuk walau kejelasan keberangkatan belum ada, yah begitulah.. Ini lanjutannya...

15. Pesijuk dan doa kedua

Aktivitas saya dalam bekerja kembali terlaksana seperti biasa. Walaupun biaya untuk keberangkatan haji telah saya lunasi pada pertengahan bulan Ramadhan yang lalu serta persiapan lainnya yang telah rampung, akan tetapi ketidakpastian apakah saya dapat berangkat atau tidak masih menjadikan saya merahasiakan hal ini kepada siapapun. Walaupun demikian, seiring waktu berita keberangkatan saya untuk menunaikan haji terdengar juga.

Suatu ketika atasan saya memberikan sebuah surat undangan pesijuk untuk calon jamaah haji dalam lingkungan dinas tempat saya bekerja. Setelah menerima dan melihat hari beserta tanggal yang tertera pada surat tersebut saya terdiam, karena hari dan tanggalnya sama dengan surat undangan pemantapan bimbingan manasik haji tingkat kantor kementerian agama kota yang akan di buka oleh walikota dan selanjutnya juga akan dilaksanakan pesijuk.

Terlintas bayangan mamak dibenak saya. Saya harus pergi bersama mamak untuk mendampinginya dalam perjalanan haji ini, oleh karena itu keputusan yang pasti sudah saya ambil saat itu juga.

***

Aula tempat akan dilaksanakan acara hari ini sudah hampir terisi penuh. Sambil menggenggam jari saya, mamak terus berjalan mengikuti langkah saya memasuki aula.

“Udah banyak orang yang datang Da?” tanya mamak pada saya.

Sambil melihat kesegala arah saya kemudian menjawab, “Sudah mak.”

Peserta yang hadir lebih banyak dari peserta manasik yang biasanya saya dan mamak ikuti. Belakangan baru saya mengetahui, bahwa peserta yang hadir sudah digabung dari beberapa kelompok belajar bimbingan manasik. Saya dan mamak kemudian memilih tempat duduk pada bagian khusus yang telah dipisahkan antara laki-laki dan perempuan.

Acara demi acara berlangsung dengan lancar. Sampai pada acara pesijuk, maka seluruh petugas haji yang akan berangkat menemani jamaah dan beberapa wakil calon jamaah haji mengambil tempat pada kursi yang telah disediakan. Perasaan gembira kembali saya rasakan karena melihat Pak Nardi sebagai orang yang saya kenal dalam perjalanan panjang ini. Akan tetapi Dr. Cut Diah tidak dapat hadir karena harus berada diluar kota.

Gema salawat badar yang dilantunkan bertalu-talu mengiringi prosesi pesijuk menggetarkan hati saya dan kembali memecah butiran air mata. Sekilas saya memandang wajah mamak yang berada disamping, wajahnya terlihat teduh dan ada ketenangan yang dinampakkan disana.

***

Beberapa peserta banyak yang telah saya kenal melalui kegiatan manasik yang telah saya ikuti, apalagi ditambah dengan peserta dari kelompok bimbingan manasik lain, terdapat pula calon jamaah haji yang masih kerabat dekat suami saya, hal tersebut membuat saya lebih gembira.

“Berangkat juga ya Ida?” tanya Bang Din yang bersiap memasuki antrian dibagian laki-laki untuk mengambil jatah makan siang.

“Insyaallah iya bang!”

“Sama Zakir berangkatnya?”

“Nggak, sama mamak,” jawab saya sambil menunjuk posisi mamak yang masih duduk di kursi dan ditemani beberapa jamaah lain. Antrian yang terlalu panjang tidak akan sanggup dilakukan oleh mamak, terlebih lagi apabila harus berdiri terus menerus, sehingga saya mengambil alih jatah makanan untuk beliau, sementara beliau menunggu saja.

Setelah menoleh dan mengangguk beberapa kali mendengar jawaban saya, Bang Din kemudian masuk ke dalam barisannya.

Tidak berapa lama saya kembali mendekati tempat dimana mamak duduk dan terlihat beliau sedang berbicara dengan beberapa jamaah perempuan ditambah ada Pak Nardi disana.

“Nah, ini juga ni! Sebenarnya bukan jatahnya untuk berangkat haji tahun ini. Ya sama, ini dua-dua kasusnya, sama-sama pendamping,” jelas Pak Nardi sambil menunjuk ke arah saya yang sedikit bingung atas pernyataan beliau dan seorang ibu yang saya belum mengenalinya sama sekali.

“Tapi Alhamdulillah bisa berangkat kan pak! Artinya rezeki kami masih ada,” jawab ibu itu sambil terkekeh senang.

“Ya, ya, tapi ini tinggal satu lagi yang harus ditunggu, visa untuk berangkat belum kelar, tapi insyaallah dalam dua minggu akan selesai,” jelas Pak Nardi dan segera berpaling ke arah lain dimana seseorang telah memanggilnya dengan memberi kode.

Saya melempar senyum kepada ibu tadi dan mendengarkan percakapan mereka bersama mamak sambil memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh Pak Nardi. ’Nggak ada visa, jadi gimana mau berangkat?’ tanya saya pada diri sendiri.

***

Acara hampir sepenuhnya selesai. Sebelum semua peserta meninggalkan ruangan, ternyata Pak Nardi mengambil alih situasi dibantu oleh beberapa orang panitia dan mulai mengelompokkan para peserta kedalam setiap rombongan yang terdiri atas beberapa regu sesuai dengan data keberangkatan yang sesungguhnya.

Seluruh peserta sudah masuk kedalam regunya masing-masing. Hanya tersisa beberapa orang saja diluar regu dan saya berada disana, sedangkan mamak sudah masuk kedalam regu paling akhir dari yang dibacakan oleh panitia menyangkut nama-nama anggota regu.

Rasa khawatir mulai saya rasakan. Didalam hati saya terus berucap,’Bagaimana ini ya Allah! Rasanya langkah saya untuk berangkat menemani orangtua saya tidak bisa saya harapkan sekehendak hati. Semua penuh menjadi urusanMu dalam mengatur segala sesuatunya. Ya Allah, sabarkanlah diri ini dalam menunggu apapun yang menjadi keputusanMu.’

Mamak yang telah duduk didalam barisan regunya, masih saya dampingi dengan duduk di sampingnya. “Nama Ida kok tidak ada disebutkan tadi?” tanyanya dengan wajah sedikit bingung.

Mamak memang tidak jelas lagi dalam melihat, akan tetapi telinga beliau tidaklah bermasalah dan sampai detik ini ingatan beliau boleh dikatakan cukup kuat. Saya yang tidak tau harus menjawab apa dan bagaimana menyampaikan kepada mamak. Hanya saja saya terus berusaha bersikap sewajarnya agar mamak tidak terlalu membaca rasa khawatir yang jelas-jelas telah memenuhi pikiran saya.

“Ngh, mungkin karena visa Ida belum selesai mak, makanya nama Ida belum tau masuk ke regu yang mana,” jawab saya seadanya.

“Jadi, nggak bisa berangkat?”

“Belum tau juga mak! Tapi kata Pak Nardi tadi mungkin sekitar dua minggu lagi baru selesai.”

“Kalau seperti ini hati mamak nggak bisa tenang Da?” kata mamak pelan sambil membuang tatapannya pada barisan peserta yang bergerak menyalami panitia dan keluar dari aula.

Saya hanya terdiam dan menunggu giliran untuk membawa mamak mengikuti barisan yang hampir membuat ruangan ini tidak ramai lagi.###

Terima kasih sudah membaca : )

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post